Tanah untuk Korban Lumpur Lapindo


Oleh: Mohammad Na’iem

Sampai hari ini nasib korban lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, masih belum menentu. Penyelesaian tuntas dan bermartabat–tidak hanya bagi korban, tapi juga bagi pemerintah dan pengusaha–belum ditemukan. Korban lumpur masih bertahan dalam derita di tengah sisa kesabaran. Sementara itu, pemerintah dan Kelompok Bakri sebagai pengusaha tetap tersandera oleh janji menyelesaikan masalah.

Bagi pemerintah, tidaklah mudah menyelesaikan persoalan ganti rugi, karena constraint anggaran dalam skema tight money policy, sesuai dengan arahan IMF-World Bank, tak mudah dilanggar. Dalam praktek anggaran, semua dana sudah ada posnya masing-masing dan dijaga, dengan peraturan untuk mencegah korupsi, tapi ini berimplikasi pada tiadanya dana untuk keperluan mendadak, khususnya jika ada bencana.

Sementara itu, di pihak pengusaha, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo tidaklah bisa diharapkan berpikir sebagai pihak penyelesai tunggal. Bagaimanapun, namanya pengusaha, pemilik Lapindo tetaplah sebuah badan usaha yang menghitung untung-rugi. Jika pengeluaran untuk biaya sosial mencapai batas yang bisa mereka terima, hitung-hitungan yang kemudian dilakukan adalah kembali ke soal menang-kalah, untung atau buntung, sedangkan ukuran moralitas dalam kaitan dengan korban Lapindo akan diabaikan.

Adapun bagi rakyat yang menjadi korban, tanpa turunnya keputusan pemerintah yang tepat dan bantuan dari Lapindo tidak ada jalan keluar dari nasib buruk yang tiba-tiba terjadi. Jika tuntutan tidak dipenuhi, radikalisme yang terjadi mungkin akan menghasilkan kerusakan yang lebih parah lagi. Pada tiga kepentingan itu tarik-menarik terjadi dan dengan perhitungan itu pula skema penyelesaian ini disusun.

Hal penting yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana perkembangan paling mutakhir di lapangan. Kini, akibat tidak adanya penyelesaian yang relatif tuntas atas masalah, konflik terjadi antar dan inter-tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan warga masyarakat yang didampingi NGO atau dipimpin para tokohnya) ibarat benang kusut yang sulit diurai.

Apakah memang tidak ada penyelesaian rasional dan bermartabat untuk kasus lumpur ini? Tentu saja ada. Rasional yang dimaksud adalah penyelesaian yang masuk akal bagi tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan rakyat sekaligus) praktis karena bisa dilaksanakan dengan ketersediaan sumber daya dan dana yang ada.

Penyelesaian juga harus bermartabat, maksudnya adalah bermartabat tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi pengusaha, terlebih bagi korban lumpur Lapindo. Pemerintah dianggap bermartabat jika ia tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Pengusaha dianggap bermartabat jika memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Jalan itu ada dan dapat dilakukan segera. Pihak-pihak di atas rakyat (pengusaha dan pemerintah) tidak perlu mencari cara menghindar, apalagi lari, dari tuntutan menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.

Lahan bagi korban

Problem pokok yang harus dipecahkan bagi korban lumpur Lapindo adalah tiadanya lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Tiadanya lahan kemudian merembet ke tiadanya kepastian usaha, bahkan tiadanya kepastian hidup dalam waktu yang tidak terprediksi sampai berapa lama akan berlangsung.

Namun, penyelesaian menyeluruh bisa dimulai jika pemerintah segera menyediakan lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Caranya, dengan pengalihfungsian, sebagian kecil saja, lahan hutan jati yang ada di Jawa, yang pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani, untuk dijadikan kawasan permukiman korban Lapindo. Luas hutan di Jawa, total jika dihitung, kurang-lebih mencapai 2 juta hektare. Kalau Presiden memanggil Direktur Utama Perum Perhutani dan meminta persetujuannya untuk alih fungsi lahan itu tentu Direktur Utama Perum Perhutani tidak akan dapat menolak karena sifatnya sangat emergency. Lahan yang akan digunakan dapat dipilih lahan-lahan hutan yang kondisinya marginal atau kurang produktif untuk kepentingan produktivitas hutan. Jumlah lahan bisa dihitung sesuai dengan kebutuhan, misalnya 2.000-5.000 hektare. Sejak awal data statistik menyangkut siapa saja korban, berapa jumlah kerugian menjadi amat penting, dan dari statistik itu dibangun satu pola baku bagaimana lahan eks Perhutani tersebut bisa dibagi.

Lalu lahan manakah yang akan diberikan kepada para korban lumpur Lapindo itu? Memenuhi permintaan para korban yang ingin tetap tinggal dekat tanah warisan leluhur, maka lahan Perhutani yang dipilih adalah yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan, KPH Probolinggo, atau KPH Malang, Jawa Timur. Jumlah 2.000-5.000 hektare lahan marginal Perhutani di tiga tempat itu kami kira sudah dapat mencukupi kebutuhan tempat tinggal dan tempat usaha para korban.

Ketika keputusan mengalihfungsikan lahan Perum Perhutani menjadi lahan permukiman dan usaha itu dibuat, langkah yang harus dilakukan kemudian adalah langkah teknis berikutnya. Tapi paling tidak sudah ada keputusan paling pokok bahwa korban lumpur sudah akan mendapatkan tanah untuk tempat tinggal dan usaha. Langkah berikutnya melibatkan Kelompok Bakri sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab dan sejauh ini tidak ingin disebut tidak bertanggung jawab sebagai pemicu atas seluruh masalah yang muncul, yakni dengan memberikan dana untuk pembangunan perumahan dan tempat usaha bagi para korban. Pada saat bersamaan dibuka pula peluang pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk membangun sarana lain, seperti masjid dan taman. Untuk mencegah terjadinya konflik yang tidak perlu, soal-soal SARA harus diperhatikan. Bantuan kepada warga beragama hendaknya yang sifatnya substantif agama, dan bukan bangunan formal agama.

Langkah lebih lanjut sudah barang tentu memulihkan kehidupan mereka agar normal kembali, dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Dana yang mungkin dianggarkan oleh pemerintah adalah dana subsidi untuk hidup, misalnya selama setahun, sampai masyarakat bisa dilepas ke pekerjaan semula. Akan lebih baik lagi kalau kemudian pemerintah memberikan fasilitas penunjang yang memungkinkan terbukanya kembali peluang kerja bagi mereka, misalnya menanam dengan pola penanaman secara tumpang sari, seperti dimungkinkan menanam tanaman jambu mete di antara tanaman kayu jati (seperti contoh di Vietnam). Alternatif lain dari jambu mete adalah mangga Probolinggo, jambu Madura, atau kelengkeng dataran rendah. Pihak perusahaan makanan juga bisa ikut membantu memulihkan kehidupan ekonomi warga dengan menampung hasil produk kedelai dan kacang tanah untuk industri kecap atau makanan ringan. Demikian juga produk yang lain, sehingga selain ekonomi segera pulih, ada nilai tambah dari hasil produk pertanian warga.

Tentu di lahan eks Perhutani tersebut dimungkinkan pula tersedia lahan pengganti untuk industri-industri yang ikut tenggelam oleh lumpur. Dengan begitu, penyerapan tenaga kerja terjadi dan secara umum ekonomi Jawa Timur bisa segera dipulihkan.

Menyangkut pengelolaan lahan seluas 2.000-5.000 hektare lahan eks Perum Perhutani tersebut, tentulah harus dilakukan dengan cara yang benar. Cara pengelolaan yang bisa dipilih di antaranya dengan pendekatan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lahan tersebut sejak awal tetap harus diarahkan sebagai hutan dengan tempat tinggal, dengan fokus produk lahan tidak hanya kayu, tapi juga tanaman musiman komersial.

Warga masyarakat harus dipandu sehingga dapat melakukan penanaman yang sejak dalam rencana sudah menggunakan bibit tanaman, pola tanam, dan jenis tanaman terpilih terseleksi dalam satu sistem silvikultur (budi daya) secara intensif. Bibit tanaman diupayakan dari bibit yang unggul, terseleksi, ditanam di lingkungan yang optimal, dan dijaga keberadaannya dalam kondisi sehat hingga akhir daur. Para aktivis kehutanan bisa masuk dalam kerja besar ini. Terkait dengan apa yang dihasilkan dari hutan rakyat dengan sistem pengelolaan yang intensif ini, akan muncul pula industri kecil rakyat, berbagai produk buah-buahan, home industry, dan banyak pula peluang usaha memanfaatkan produk hasil hutan. Dengan demikian, mereka tidak hanya diberi ikan, tapi diberi pancing untuk berkembang lebih optimal dalam kehidupan mereka.

Bagaimana dengan lahan eks lumpur Lapindo jika di masa depan bisa digunakan lagi. Sejak awal harus ada keputusan bahwa lahan tersebut adalah lahan negara, yang peruntukannya, jika kondisi sudah memungkinkan, akan dihutankan kembali. Pengelolaan diserahkan kepada Perhutani. Maka Perhutani pun tidak begitu dirugikan. Potensi konflik jangka pendek (penjarahan dan sejenisnya) ataupun potensi konflik jangka panjang pun bisa diminimalisasi.

Bagaimana dengan Kelompok Bakri yang sudah menderita kerugian secara ekonomi, dan dalam kacamata bisnis, tentu tidak dianggap tidak ada? Pemerintah bisa memutuskan satu langkah khusus, misalnya memberi Kelompok Bakri lahan tambang senilai Lapindo di tempat yang lain, sebagai ganti kerugian atas eksplorasi Lapindo, tapi dengan catatan bahwa pihak Lapindo memang melaksanakan tugas sebagaimana yang dibebankan kepadanya. Namun, apabila pemilik Lapindo tidak menuntut ganti rugi di kemudian hari, itu tentu akan lebih baik.

Hal yang mesti diatur dan harus terselesaikan juga adalah bagaimana agar berbagai pihak yang kini berkonflik akibat lumpur Lapindo (rakyat, pengusaha, dan pemerintah) bisa menyepakati penyelesaian ini dengan kepala dingin. Penyelesaian yang diusulkan itu tentulah bukan penyelesaian yang sempurna bagi semua pihak (first best solution), melainkan pilihan cara yang paling mungkin (second best solution) dilakukan, hingga semua pihak (rakyat, pemerintah, dan penguasa) tetap duduk sebagai pihak-pihak yang bermartabat. Rakyat korban tidak menjadi pengemis. Pemerintah tetap dapat disebut sebagai yang bertanggung jawab. Sementara itu, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo akan tercatat sebagai kelompok usaha yang bertanggung jawab kepada masyarakat korban eksplorasi. Dalam hal ini, peran NGO yang terlibat dalam pendampingan warga masyarakat amatlah penting. (***)

Sumber: Koran Tempo, 15 Agustus 2007

Translate »