Blog

  • Sudah 14 Tahun Lumpur Lapindo, Pulihkah?

    Bambang Catur Nusantara

    Dewan Nasional WALHI dan Koordinator Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (POSKOKKLuLa).

    Selama empat belas tahun, terhitung sejak 29 Mei 2006, lumpur Lapindo telah mengakibatkan terusir sedikitnya 20 ribu keluarga dari tempat tinggal mereka. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menangani masalah ini melalui beberapa Peraturan Presiden yang terus mengalami revisi sebagai akibat terus meluasnya dampak semburan. Selain mengatur dampak sosial ekonomi warga dengan skema penggantian jual beli, salah satu yang masih dilakukan hingga saat ini adalah pembuangan lumpur di sungai Porong.

    Sungai Porong merupakan sungai yang penting bagi kehidupan warga di Sidoarjo sejak dari masa lampau. Air sungai digunakan untuk sumber air irigasi pertanian dan budidaya perikanan. Sejak pembuangan lumpur ke sungai Porong pada 2007, ditemukan kandungan logam berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada air, sedimen, dan biota. Penelitian awal yang dilakukan WALHI Jawa Timur pada tahun 2008, menemukan setidaknya dua jenis logam berat Pb dan Cd, yang melampaui ambang batas aman. Penelitian itu dilakukan pada area di sekitar semburan lumpur dan air sungai Porong. Pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari UNESA, menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan, ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Pada tahun 2010, JATAM dan PoskoKKLuLa memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan. Dalam pemeriksaan diketahui, hasil Haematologi lengkap menunjukkan 75% dari 20 terperiksa, ternyata dalam kondisi tidak normal. Sepuluh tahun kemudian, pemeriksaan kesehatan umum (MCU) Maret tahun 2020, kepada sejumlah 25 warga korban lumpur yang tinggal di sekitar semburan, menunjukkan mayoritas mengalami infeksi saluran kemih (ISK). Sejumlah 16 warga dari 25 terperiksa mengalami infeksi ini. Ahli kesehatan yang dimintai pendapat terkait infeksi saluran kemih menyatakan ada tiga faktor utama penyebab infeksi: kualitas air minum, pola hidup, dan stress. Dalam situasi di wilayah lumpur Lapindo, tiga faktor ini bisa saling bertautan pada hidup warga.   

    Hasil pemeriksaan logam berat pada air dan sedimen yang dilakukan PoskoKKLuLa pada tahun 2018 dan 2019 juga tetap menunjukkan temuan kontaminasi Pb dan Cd. Pada sembilan lokasi yang diperiksa, menunjukkan ada lokasi yang meski airnya tidak mengandung kedua jenis logam berat, namun pada kompositnya ditemukan logam berat. Jika menggunakan rujukan KemenLH No 51/2004 yang menetapkan baku mutu air untuk pelabuhan Pb 0.05 mg/L dan Cd 0.01 mg/L dan untuk wisata bahari Pb 0.005 mg/L dan Cd 0.002 mg/L, maka hanya lokasi di Tanjungsari, Desa Kupang, yang memenuhi syarat untuk area budidaya dan pelabuhan. lokasi lain tak layak.

    Hasil pemeriksaan pada biota Kupang menunjukkan Cd sejumlah 20.68 mg/kg dan Pd sejumlah 17.36 mg/kg. Batas aman konsumsi untuk Kupang hanya 1,5mg/kg. Sedangkan Cd batas aman 1 mg/kg. Kupang yang diperiksa puluhan kali melebihi ambang batas aman dikonsumsi. Pada pemeriksaan sebelumnya oleh Walhi Jatim dan PoskoKKLula (2017), jenis udang, ikan, dan rumput laut hampir seluruhnya mengandung Pb dan Cd melebihi baku mutu SNI 7387:2009.

    Gambar1. Peta lokasi titik pemeriksaan logam berat

    Jika diperbandingkan dengan temuan hasil biomonitoring maka kondisi logam berat ini berkesesuaian dengan hasil amatan dengan indikator biota tidak bertulang belakang (makroinvertebrata) pada empat lokasi sungai Brantas Porong yang di tiga lokasi menunjukkan tercemar berat, hanya di wilayah Tanjungsari Desa Kupang, yang wilayahnya tercemar ringan.

    Sementara wilayah irigasi di Kedungcangkring, pemeriksaan laboratorium tidak menemukan kandungan logam berat Pb, dalam pemeriksaan biomonitoring juga menunjukkan level tercemar ringan. Di lokasi Keboguyang dan lokasi Gempolsari, kondisinya tercemar sedang. Pada dua lokasi lain, Tambak Kalisogo dan Glagaharum menunjukkan tercemar berat. Dua lokasi terakhir merupakan saluran irigasi aktif untuk sawah, kolam, dan juga perikanan tambak di sisi paling timur.

    LokasiKondisi Badan SungaiKondisi Air Sungai
    Titik 1: Sungai Brantas, GempolTidak SehatTercemar Berat
    Titik 2: Sungai Brantas, BesukiTidak SehatTercemar Berat
    Titik 3: Sungai Brantas, TanjungsariKurang SehatTercemar Berat
    Titik 4: Sungai Brantas, TlocorTidak SehatTercemar Berat
    Titik 5: Irigasi BesukiKurang SehatTercemar Berat
    Titik 6: Irigasi BuaranTidak SehatTercemar Berat
    Titik 7: Irigasi PermisanTidak SehatTercemar Berat
    Titik 8: Irigasi GlagaharumTidak SehatTercemar Berat
    Titik 9: Irigasi PologuntingTidak SehatTercemar Berat
    Tabel 1. Hasil pantau biomonitoring.

    Pemeriksaan melalui biomonitoring ini mempermudah penilaian awal kualitas air sungai. Pemeriksaan yang dilakukan Agustus 2019 pada lokasi titik sampel Gempol, Tanjungsari, dan Tlocor, menunjukkan bagian Sungai Porong dekat pembuangan lumpur Lapindo(Gempol dan Besuki) tercemar berat, di wilayah tengah (Tanjungsari) tercemar ringan, dan wilayah hilir (Tlocor) tercemar berat. Sementara sungai irigasi bagian timur tanggul lumpur Lapindo menunjukkan satu lokasi tercemar ringan(Besuki), dua lokasi tercemar sedang(Buaran dan Pologunting), dan dua lokasi tercemar berat(Glagaharum dan Permisan).

    Sejak awal hingga saat ini, informasi terkait situasi sosial, lingkungan, kesehatan, maupun dampak lainnya pada area-area terdampak belum sepenuhnya bisa diketahui oleh masyarakat yang tinggal disana. Hampir tidak ada informasi yang berkaitan dengan lingkungan yang bisa menggambarkan buruknya wilayah semburan lumpur Lapindo ini.

    Kondisi ini juga kemudian diperparah dengan belum jelasnya pemulihan hak-hak korban Lapindo. Degradasi kualitas lingkungan seharusnya disandingkan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Hasil penelusuran rekam tren penyakit di Puskesmas sekitar semburan lumpur Lapindo, menunjukkan adanya dampak kesehatan yang serius pada warga. Jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong, Tanggulangin, dan Jabon mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2007. Di Puskesmas Porong paring tinggi peningkatannya. Dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Catatan tren penyakit pada tahun 2019 juga menunjukkan ISPA masih yang teratas. Rata-rata di masing-masing puskesmas masih diatas 15 ribu. Hasil medical check up (diinisiasi PoskoKKLuLa dan JATAM, 2019) pada 25 warga menunjukkan 7 warga mengalami restriksi ringan pada paru-paru, dua diantaranya menunjukkan indikasi pneumonia. 

    Tabel 2. Tren ISPA di Puskesmas Porong 

    Pemantauan secara periodik kualitas udara dilakukan setiap musim sejak 2017 oleh PoskoKKLuLa dengan menggunakan ecochecker, lempeng perak. Seluruhnya konsisten menunjukkan paparan hidrogen sulfida (H2S). Lempeng perak yang terpasang selama satu bulan, telah mengubah warna perak menjadi gelap. Paparan H2S ini terkonfirmasi dengan gas detector. Penggunaan lempeng tembaga untuk mengidentifikasi paparan klorin digunakan pada musm kemarau dan hujan tahun 2019, menunjukkan perubahan warna yang sama. Yang terakhir, pemeriksaan menggunakan gas detector pada bulan Maret 2020 menunjukkan adanya PAH di udara sekitar area semburan lumpur Lapindo.   

    Gambar 3. Hasil olah pemantauan udara dengan lempeng perak (Desember 2017 – Januari 2018), warna merah menunjukkan perubahan paparan H2S yang tinggi

    Pada akhir 2019, tiga puskesmas di sekitar area semburan tetap mencatat ISPA sebagai penyakit dengan penderita paling banyak. Jika dibandingkan tren ISPA tahun 2016 dan 2017, jumlah ini naik beberapa ribu warga. Tren ini menunjukkan persoalan pernafasan menjadi yang paling utama diantara kasus kesehatan yang lain, pada situasi wabah Covid 19 saat ini, warga dalam posisi sangat rentan.

    Wabah Covid 19 telah membatasi ruang gerak korban Lapindo. Pengojek di atas tanggul terpukul paling awal. Tidak ada pegunjung di area semburan. Sebagian warga korban Lapindo yang masih menggantungkan penghasilan dari jasa ojek mengantarkan pengunjung lokasi semburan. Alternatif pendapatan lain juga tidak ada, wilayah Sidoarjo menerapkan pembatasan sosial berskala besar sejak April. Saat ini diperpanjang untuk ketiga kali.

    Dengan situasi seperti ini, pengurus negara seharusnya melakukan mitigasi perluasan dampak lumpur lapindo dengan melakukan serangkaian tindakan: pertama, memeriksa kualitas lingkungan hidup di sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Setidaknya logam berat harus diperiksa pada air, sedimen, tanah di sekitar lumpur Lapindo sepanjang sungai Porong, sungai irigasi, dan sumur warga di sekitar semburan. Pemeriksaan juga sangat perlu dilakukan pada biota air dan laut yang menjadi bahan konsumsi, seperti Kupang, kerang, dan ikan; kedua: melakukan pemantauan kesehatan warga dengan melakukan pemeriksaan kesehatan (MCU) untuk mendapatkan gambaran utuh kondisi kesehatan dan perubahan-perubahannya, lalu melakukan upaya pencegahan pemburukannya; ketiga, melakukan pendampingan untuk pemulihan ekonomi warga melalui serangkaian program penguatan ketrampilan, permodalan, dan akses pasar. Ketergantungan korban Lapindo pada pihak lain sebagai satu-satunya sumber pendapatan, seperti saat Covid 19 ini, akan selalu menjadikan warga dalam posisi rentan; keempat, pengetatatan ijin ekstraksi sumber daya alam pada wilayah kelola rakyat dengan mengutamakan hak rakyat untuk menolak kegiatan yang merugikan penghidupan mereka. Penghentian ijin pengeboran migas di Sidoarjo menjadi salah satu kebijakan mencegah risiko bencana yang berulang; kelima, ketiadaan panduan pengelolaan menangani bencana industri membuat situasi lumpur Lapindo tidak mendapatkan penanganan komprehensif. Sudah seharusnya disusun panduan khusus memitigasi bencana industri dan mengelola risiko bencana industri. BNPB perlu prioritaskan penyusunan panduan ini. Jika tidak segera dilakukan, niscaya kegagapan dalam mengelola risiko bencana industri seperti pada kasus lumpur Lapindo masih akan terus dijumpai. Risiko bencananya tak mampu dicegah, lingkungan tak bisa diperbaiki, dan hidup warga tak bisa dipulihkan. Rakyat yang akan terus diminta mensubsidi, menjadi korban, lagi dan lagi.     

  • Warga Peringati 12 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Porong, 29 Mei 2018 – Pagi sekitar jam delapan (29/5) terasa terik di atas tanggul lumpur Lapindo. Musim kemarau sudah dirasakan sejak akhir April. Hujan tak lagi ada. Panas terik disertai bau menyengat lumpur ditengah suasana bulan ramadhan tak menyurutkan puluhan warga korban Lapindo dari berbagai wilayah untuk memperingati 12 tahun tragedi semburan ini. Untuk diketahui, pada 29 Mei 2006 lumpur Lapindo untuk pertama kalinya diketahui menyembur. Ia menjadi bencana yang luar biasa menghancurkan saat dampaknya tak ditangani dengan baik. Desa-desa terdekat dengan semburan merasakan ganasnya lumpur. Rumah, sawah, pabrik-pabrik, dan sekolah terkubur lumpur. Hingga hari ini, semburan lumpur masih terus berlangsung.

    Pengurus negara masih dipandang tak menangani lumpur Lapindo dengan baik hingga kini. Penyelesaian dampak lumpur dengan hanya memberikan ganti kerugian tanah dan bangunan milik warga berujung pada tak terpulihkannya hak-hak warga korban. Lumpur Lapindo membuat kerusakan lingkungan bagi wilayah sekitarnya. Tanah, sungai, kolam, tambak, dan sumur-sumur warga tidak bisa lagi digunakan seperti sebelumnya. Berbagai jenis logam berat ditemukan oleh banyak penelitian. Udara juga tak kalah buruknya. Akibatnya kesehatan warga menurun. Redaksi Kanal merekam beberapa temuan peneliti dan lembaga: kandungan logam berat Pb, Cr, Cd, Arsen dan Hg ditemukan tinggi oleh DR Ir Dwi Andreas Santosa(Antara 14 Desember 2016). Timbal(Pb) dan Kadmium (Cd) jauh melebihi ambang batas aman bagi lingkungan dan manusia (Walhi Jatim, 2008). Tarzan Purnomo 92014) menemukan Cd di air >0.01 ppm, Pb >0.03 ppm. Cadmium dalam tubuh ikan 0.037- 1.542 ppm dan Timbal 0.179-1.367 ppm (>0.008 ppm). Ditemukan 8 jenis logam berat di lumpur Lapindo: tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), kobalt (Co), seng(Zn), kadmium (Cd), molibdenum (Mo) dan boron(Bo) oleh Dagdag, dkk (2015).

    Pada lima tahun awal periode semburan, infeksi pernapasan warga meningkat tajam.  Puskesmas Porong mencatat sekitar 24 ribu warga yang menderita ISPA pada 2005, tahun berikutnya meningkat hingga lebih dari 28 ribu. Jumlah tertinggi mencapai 63 ribu warga pada 2010. Tidak ada jaminan khusus yang diterima korban Lapindo untuk bisa mendapat layanan kesehatan. Mereka harus mengurus surat keterangan miskin jika tak mampu berobat. Untuk mendapat jaminan negara melalui Jamkesda, mereka juga mesti bersusah payah agar bisa masuk daftar penerima jaminan. Saat sistem jaminan kesehatan nasional berlaku, warga juga tak mendapat kekhususan jaminan pelayanan seperti korban bencana. Mereka harus berusaha masuk dalam daftar penerima, atau menjadi peserta JKN secara mandiri.

    “Ide bahwa seolah-olah kasus lumpur Lapindo sudah selesai hanya karena pembayaran kompensasi jual beli tanah bangunan sudah selesai, padahal masih banyak perihal kasus-kasus lain yang belum terselesaikan yang harus dialami warga korban Lumpur akibat semburan,” ujar Rere Christanto, direktur Walhi Jawa Timur. Ia lebih lanjut menjelaskan seharusnya taggung jawab pemerintah adalah mengembalikan hak korban. Salah satu yang paling menonjol adalah kesehatan warga.  Material lumpur Lapindo yang keluar berupa air, lumpur, sedimen, maupun gas semuanya mengandung bahan racun. Dari banyak penelitian diketahui berbagai jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) tersebar di sekitar area semburan lumpur. Walhi Jatim pernah menemukan adanya jenis poliaromatik hidrokarbon (PAH) yang cukup tinggi. Munculnya berbagai jenis penyakit dan memburuknya kesehatan warga patut diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan yang sangat buruk.

    Harwati, korban Lapindo dari Siring menuturkan hal yang sama. Ia merasakan benar bagaimana dampak lumpur Lapindo tidak hanya pada hilangnya harta bendanya tetapi juga anggota keluarganya yang meninggal karena sakit. Penyakit-penyakit semacam kanker banyak dijumpai.  Orang mati mendadak banyak diketahui, namun tidak ada yang melihat ada hubungan dengan lingkungan yang buruk. Ia berharap agar pemerintah melakukan tindakan-tindakan guna memulihkan kondisi yang ada. “Kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang saat ini diharapkan warga,” kata Harwati. Ia berharap pemerintah turun lapangan dan memeriksa dengan baik kondisi yang ada agar didapatkan pemahaman situasi dengan baik. “Jangan hanya bertanya saja, turun lapangan dan benar-benar lakukan,” pesan Harwati.

    Hal senada disampaikan Rere,”Pemerintahan harus memikirkan ada sebuah jaminan kesehatan ke seluruh masyarakat yang terdampak karena lingkungannya sudah rusak. Bukan mereka yang merusak tetapi akibat bencana lumpur Lapindo. Pemerintah seharusnya merespon dengan cepat karena kalau tidak, lama kelamaan makin banyak orang sakit, makin banyak orang menderita. Kalau tidak ada tanggung jawab pemerintah, ini sama saja membiarkan orang mati perlahan-lahan.”

    Ada dua langkah cepat yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah. Pertama, membuat peta kerawanan bencana untuk menunjukan seberapa luas racun dari lumpur Lapindo ini menyebar baik melalui air, melalui sedimen, maupun melalui udara. Kedua, memberikan jamian kesehatan kepada warga agar mereka tidak harus mengeluarkan biaya pengobatan. (Fika_C)

  • Penolakan Warga atas Rencana Pengeboran Lapindo di Jombang: Sebuah Reportase Singkat dan Komentar

    Penolakan Warga atas Rencana Pengeboran Lapindo di Jombang: Sebuah Reportase Singkat dan Komentar

    Oleh: Lutfi Amiruddin

    Pada 7 April 2018 lalu, saya menyempatkan diri datang ke Desa Blimbing, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Kunjungan ini dilandasi oleh salah satu berita daring berjudul “Diduga Proyek PT Lapindo, Warga Kesamben Tolak Pengeboran” (3 April 2018).

    Saya tiba di desa itu menjelang maghrib dan mengambil beberapa foto. Saya hanya bisa memotret jalan tol dan spanduk penolakan pengeboran Lapindo yang masih terpasang di depan langgar Al-Amin.

    Spanduk Protes Warga Blimbing, Jombang

    Saya masuk ke langgar untuk sholat maghrib berjamaah dan kesempatan ini saya manfaatkan untuk berkenalan dengan beberapa warga. Seorang jamaah menanyakan identitas saya, keperluan saya datang ke tempat itu, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Di akhir obrolan singkat itu, dia menyarankan agar saya tidak perlu menanyakan hal-hal terkait rencana pengeboran Lapindo. (more…)

  • KOMNAS HAM Rekomendasikan Pemulihan Hak Korban Lapindo

     

    Korbanlumpur.info – Sidoarjo, 21 Juli 2017

    Emir Firdaus selaku wakil ketua DPRD Kabuoaten Sidoarjo memberikan sambutan mengawali dialog hasil audit HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM. Ia berharap hasil audit HAM dalam kasus Lapindo bisa memberikan gambaran yang jelas atas persoalan Lapindo karena sampai saat ini masih banyak persoalan yang belum diselesaikan. Ia juga mengharap terjadi dialog antara warga, baik dalam peta terdampak maupun di luar peta, yang sudah selesai pemenuhan ganti rugi maupun yang belum.

    Nur Khoiron, wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berterimakasih atas fasilitasi DPRD Kabupaten Sidoarjo sehingga Komnas HAM bisa melakukan dialog dengan warga korban lumpur Lapindo. Ia dan tim diberi mandat oleh sidang paripurna Komnas HAM untuk melakukan kajian atau audit atas pengelolaan permasalahan lumpur Lapindo sejak 2006 hingga 2017. Melalui surat mandat paripurna 2015 ia diberi tugas memeriksa semua model kehadiran negara dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Apapun bentuk bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam maupun hal lainnya, ada situasi hilang atau terganggunya hak korban. Dalam kasus lumpur Lapindo juga terjadi hal yang sama dan itu perlu dipulihkan atau reparasi. Ia berharap tim Komnas HAM saat ini adalah tim terakhir untuk merespon pengaduan kasus Lapindo. Sebelumnya telah banyak tim-tim yang dibentuk guna merespon pengaduan warga korban.

    “Setiap korban berhak diberi upaya pemulihan, dalam HAM, upaya ini dikenal sebagai reparasi. Modelnya bisa rehabilitasi, ganti rugi, dan sebagainya,” kata Khoiron.

    Komnas HAM Ham diberi mandat oleh undang-undang sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam kelembagaan eksekutif maupun yudikatif, namun ia bisa berdiri pada keduanya untuk pemenuhan hak asasi manusia.

    Pembelajaran selama selama tahun dalam pengelolaan lumpur Lapindo bisa menjadi rujukan agar tidak membuat kesalahan yang sama dalam pengelolaan bencana serupa. Ia berharap ada masukan dari warga atas bagian rekomendasi laporan agar bisa lebih kuat.

    Hasil Audit HAM
    Dalam penyampaian isi laporan, Khoiron memaparkan bahwa Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk memantau pemenuhan HAM di Indonesia. Ia juga bertugas memberikan penyuluhan HAM. Kewenangan lain adalah melakukan mediasi atas kasus-kasus yang menimbulkan dampak terhadap terpenuhinya HAM masyarakat.

    Ia dan tim diberi tugas sidang paripurna untuk memeriksa kehadiran negara dan perusahaan dalam melakukan pemulihan korban. Ia mengulangi dan menegaskan,”kejadian bencana selalu memberi dampak mengurangi atau menghilangkan hak-hak warga”.

    Saat ini laporan akhir masih dalam proses penyempurnaan sehingga belum bisa dibagikan. Ia kemudian menyampaikan ringkasan lima bab laporan yang terdiri: pertama, latar belakang kenapa ada tugas memeriksa pemenuhan HAM dalam kasus Lapindo oleh Komnas saat ini maupun tim-tim sebelumnya.

    Komnas pernah memeriksa kasus Lapindo sesuai UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berkaitan kemungkinan terjadinya pelanggaran berat HAM. Komnas melakukan penyelidikan dan hasilnya disampaikan dalam sidang paripurna. Sayangnya dugaan pelanggaran berat HAM yang disampaikan oleh tim penyelidik belum bisa diterima dalam sidang paripurna Komnas HAM.

    Namun, setelah keputusan sidang paripurna ternyata masih ada pengaduan-pengaduan warga. Komnas kemudian melakukan pemeriksaan sehingga bisa merumuskan pembelajaran penting agar tidak terjadi pengulangan tindakan pelanggaran HAM yang sama dalam kasus serupa dimasa mendatang.

    Pada bab dua, ia paparkan prinsip-prinsip HAM yang mrndasari mengapa negara wajib melakukan pemulihan dan pemenuhan HAM korban bencana. Bab ini juga memaparkan kenapa perusahaan juga punya kewajiban dalam perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan HAM karena dalam UU biasanya hanya menyebutkan aktor utama hanya negara. Dalam perkembangannya, norma HAM secara internasional telah mewajibkan perusahaan untuk melakukan perlindungan HAM.

    Dalam praktiknya memang didapati kesulitan jika aktor pelanggar HAM bukan negara, namun Komnas HAM telah menemukan landasan-landasan agar perusahaan juga berkewajiban melakukan pemenuhan HAM seperti negara.

    Bab tiga memaparkan bagaimana tanggjawab negara dan perusahaan dalam pemenuhan HAM korban Lapindo secara runut sejak awal dibentuk Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo hingga dana talangan di era presdien Joko Widodo. Pada beberapa bagian disebutkan masih belum jelasnya status penyebab semburan lumpur dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini cukup menyulitkan pemulihan korban.

    Badan ad hoc BPLS dibentuk melalui perpres sejak 2007. Mekanisme yang dijalankan dalam penanganan korban yang diatur dalam kebijakan publik ternyata menggunakan landasan hukum perdata melalui mekanisme jual beli. Ini menjadi problem dalam pemulihan HAM korban hingga saat ini.

    Ada temuan-temuan proses pemulihan yang tidak dilakukan oleh negara maupun perusahaan. Misalnya ada banyak hak-hak korban Lapindo yang belum berkaitan dengan pulihnya lingkungan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainny . Dalam ranah HAM meski telah dilakukan pemulihan-pun ada hal yang masih perlu diukur yang dalam HAM dikenal sebagai satisfaction. Istilah ini berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya kepuasan korban atas pulih atau tidaknya hak mereka.

    BPLS memang membuat definisi kasus lumpur Lapindo sebagai bencana geologi, namun definisi ini tidak ada landasan hukum dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tanpa landasan regulasi dalam pengelolaan bencana, pemenuhan HAM ternyata dilakukan melalui asset based, sehingga korban yang diidentifikasi hanya berdasar kepemilikan aset dan bukan individual yang memiliki hak dasar melekat sebagai manusia. Dalam kasus Lapindo, warga yang tidak memiliki aset tidak bisa ditangani pemulihan HAM-nya. Bahkan jika memeriksa kasus Lapindo lebih mendalam, pemulihan hak-hak dasar seperti lingkungan yang baik, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tidak bisa diperoleh oleh korban.

    Pada bab empat, Komnas HAM telah menganalisis, tidak ada mekanisme landasan hukum yang digunakan menjadi rujukan dalam penegakan hukum terhadap usaha bisnis yang telah membawa dampak pelanggaran HAM. Dalam kasus Lapindo, negara juga tidak melakukan seruan untuk upaya-upaya bantuan kemanusiaan selama sebelas tahun semburan lumpur. Dalam kasus lapindo, negara dan perusahaan tidak memiliki data persebaran korban. Ini menjadi indikator tidak dilakukannya upaya pemulihan HAM korban Lapindo.Pemerintah dan perusahaan dinilai gagal menghentikan semburan lumpur. Tidak ada data terkini karena tidak dilakukan upaya penghentian maupun pencari-tahuan informasi mengenai lumpur Lapindo, dampak, dan para korbannya. Sehingga nampak bahwa korban Lapindo belum pulih hak-haknya sebagai manusia.

    Bab terakhir yang dipaparkan berkaitan dengan rekomendasi. Rangkuman rekomendasi terdiri kepada presiden, menteri pu, bnpb, pemerintah daerah, penegak hukum, legislatif.

    Salah satu rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden republik Indonesia adalah untuk mengevaluasi model pemulihan hak korban melalui mekanisme jual beli karena ada dampak-dampak lanjutan bagi korban Lapindo.

    UUPLH 32/2009 bisa menjadi landasan dalam pembangunan yang berdampak pada lingkungan yang bisa memberikan ruang bagi negara untuk melindungi HAM warga sejak masa awal perencanaan kegiatan usaha. UU No 39/1999 tentang HAM juga menjadi landasan bagi pemenuhan hak anak, hak perempuan, dan hak atas lingkungan yang baik sehingga komnas merekomendasi agar dilakukan inventarisasi data terhadap korban bencana.

    Rekomendasi kepada pemerintahan daerah salah satunya adalah merumuskan rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar pengelolaan wilayah bencana kedepan bisa lebih jelas. Yang lain, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar proses ganti rugi fasilitas sosial dan fasilitas umum bisa dilakukan agar korban bisa memulihkan kehidupan sosial mereka.

    Sebagi penutup pemaparan, Khoiron meminta masukan dan komentar atas rekomendasi yang dibuat agar lebih mengena dan bisa ditindaklanjuti dalam pemulihan HAM korban lapindo oleh para pihak.

    Dialog
    Dimoderasi oleh ketua pansus lumpur lapindo, Mahmud, dialog dimulai dengan penyampaian Sungkono, korban Lapindo dan juga anggota DPR RI. Ia menyampaikan ada dinamika Perpres yang semakin tidak menguntungkan posisi warga. Misalnya penggantian kerugian warga didasarkan peta terdampak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Penanganan sangat lambat terhadap korban yang sejak masa awal menjadi korban, salah satunya adalah para warga yang memiliki usaha di dekat lokasi semburan dan lahannya terbenam lumpur. Padahal dalam Perpres warga korban disebutkan secara jelas sebagai warga yang memiliki aset tanah dan bangunan di lokasi terdampak. Untuk itu ia meminta agar proses pemulihan awal bisa disegerakan penggantian aset warga korban Lapindo. Keputusan MK seharusnya bisa menjadi landasan pemenuhan hak-hak semua warga korban Lapindo. Rapat komisi DPR selalu merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan itu, namun tidak pernah terealisasi.

    Ketua Pusat Penanganan Lumpur Sidoarjo (PPLS) Dwi Sugiyanto menyampaikan perlu ada penajaman rekomendasi terutama penanganan dalam PAT. Misal kepada presiden bisa direkomendasi dilakukan pemenuhan ganti rugi kepada keseluruhan korban, termasuk kepada pengusaha yang menjadi korban. Memang negara sudah berusaha dengan mengalokasikan dana antisipasi 773M pada tahun 2015, namun ini belum semua korban bisa terpenuhi.

    Ia juga menyampaikan, pendanaan akan sangat mempengaruhi proses pengelolaan lumpur Lapindo dalam PAT terutama berkaitan dengan pemulihan infrastruktur. Untuk memudahkan PPLS menjalankan tugasnya, maka persoalan ganti rugi mestinya sudah diselesaikan.

    Seismik 3 Dimensi sudah diupayakan dilakukan, namun ini belum disetujui kementerian keuangan karena dilihat sebagai upaya mencari tahu potensi migas saja, padahal seismik ditujukan untuk mitigasi bencana.

    Dalam upaya meningkatkan kenyamanan warga maka pemulihan infrastruktur perlu dilakukan serius. Upaya konkrit pengendalian lumpur adalah dengan pengelolaan volume lumpur dengan pengendalian infrastruktur yang terstruktur. Elevasi lumpur terus menurun menandakan adanya penurunan muka tanah secara m=enyeluruh di kawasan sekitar semburan.

    Untuk fasos dan fasum, PPLS memprioritaskan penggantian tanah-tanah waqaf yang landasan aturannya bisa menggunakan peraturan yang sudah ada. Pengamanan aset bisa dilakukan melalui upaya penyelesaian administratif aset warga, misalnya memfasilitasi proses sertifikasi aset warga.

    Sungkono menyela, ia menyampaikan agar ada rekomendasi yang lebih konkrit pada penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo keseluruhan warga tanpa membedakan status sebagai pengusaha atau bukan karena sudah ada putusan MK yang menjadi landasan.

    Anggota DPRD lain yang juga menjadi korban Lapindo dari Desa Jatirejo, H Maksum memberikan masukan agar komnas HAM bisa lebih memerinci dan medetailkan model penyelesaian pemenuhan ham korban lapindo, naik korban dalam PAT dan diluar PAT. Ia menceritakan pada saat awal memang ada opsi ganti rugi, ada opsi cash and carry (tunai), resettlement (relokasi), dan juga ada yang tidak jual aset. Di desa Jatirejo misalnya warga tidak tahu apa dasar keputusan harga lahan yang diputuskan pemerintah dan perusahaan. Padahal sebelum ada semburan lumpur harga tanah di Jatirejo sudah lebih dari harga yang ditentukan dalam ganti rugi yang hanya sebesar 120 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Banyak juga aset-aset tanah waqaf yang digunakan kegiatan pendidikan yang belum terealisasi ganti rugi hingga saat ini.

    Ritonga, ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo(GPKLL) merekomendasi agar komnas merekomendasi pemerintah tidak melakukan dikotomi warga pengusaha dalam mendapatkan ganti rugi. Ia mengusulkan agar DPR RI tidak mengesahkan APBN jika masih terjadi dikotomi pemberian ganti rugi. Demikian juga kepada DPRD Sidoarjo agar tidak mengesahkan APBD Sidoarjo.

    Sementara itu perwakilan nadhir musholla dan masjid di Porong menyampaikan bahwa baru dalam kasus penanganan Lapindo ada istilah tanah banci. Misalnya ada yang secara sertifikat tanah kering namun dalam realisasinya digunakan utk pertanian karen BPLS melandasakan pada peruntukan aktual, sehingga ini menjadi sengketa bertahun-tahun. Sebisa mungkin penanganan pemulihan aset-aset tanah kolektif warga bisa dikembalikan kepada warga secepatnya. Ini berkaitan dengan kepercayaan iman bahwa pemulihan tanah waqaf adalah kewajiban penerima waqaf agar tidak berdosa.

    Korban Lapindo lainnya, Supari menceritakan, ada banyak yang tidak bisa memulihkan diri paska semburan Lapindo meski telah menerima ganti rugi. Ini seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar bisa ditangani karena penggantian aset tidak bisa seluruhnya bisa menjadi dasar penilaian pemulihan korban. Masih ada banyak warga yang tidak bisa membangun kembali rumah, tidak mendapat pekerjaan, pendidikan dan juga berkaitan dengan kesehatan. Tidak banyak pihak yang memiliki kepedulian untuk melihat hal-hal seperti ini. Yang selalu dilihat oleh publik adalah warga korban sudah menerima ganti rugi dan masalahnya selesai.

    Djuwito, dari Renokenongo juga menyampaikan memang ada banyak korban Lapindo yang belum pulih dan ketinggalan dalam penyelesaian ganti rugi. Keputusan MK bisa mejadi dasar pelaksanaan ganti rugi terhadap warga yang belum diganti.

    Yang menarik ada pernyataan Jon Subianto, dari Gedang, yang mengharap Komnas HAM bekerja karena panggilan dan rasa kemanusiaan. Ia mencontohkan dirinya yaang istrinya sakit-sakitan sehingga ia sampai disarankan untuk kawin lagi. Penting disampaikan kepada Presiden agar penanganan korban lapindo harus konprehensif seperti masalah kesehatan dan lingkungan. Hal serupa disampaikan pula oleh Ikhwan dari Glagaharum. Ia pernah mendapati di desa Glagaharum terjadi warga meninggal dalam jumlah banyak dan beruntun. Perlu ada jaminan kesehatan yang diprioritaskan bagi korban lumpur Lapindo sehingga bisa berobat diwilayah manapun dan mendapat jaminan pembiayaan dan penanganan medis.

    Kepala BPBD Sidoarjo, Dwijo, menyampaikan agar rekomendasi Komnas HAM ditajamkan mengenai penyelesaian fasum dan fasos sehingga lebih ada landasan bagi para pihak untuk menyelesaikannya. Sementara ketua Pansus lumpur Lapindo, Mahmud, mengharap rekomendasi terkait tata ruang bisa ditajamkan karena belum ada rekomendasi berdasar geologi sejauh mana radius aman bagi kegiatan pembangunan. Ini penting untuk pengelolaan pembangunan kedepan.

    Khoiron menyambut baik kesluruhan masukan para pihak. Laporan akhir akan dilakukan paling akhir Agustus yang hasilnya bisa diunduh pada website Komnas HAM dan untuk korban lapindo jika menginginkan bentuk cetak bisa diupayakan untuk mendapatkannya.

    Pertemuan Warga
    Sehari sebelumnya (20/7) tim Komnas HAM juga melakukan dialog dengan korban Lapindo di Pasuruan. Mereka mendapat banyak masukan terkait situasi pemulihan hak-hak korban Lapindo. Irsyad menyampaikan setidaknya rekomendasi Komnas HAM agar tidak terjadi hal serupa lumpur Lapindo dikemudian hari bisa dibuat rekomendasi tegas yang melarang kegiatan industri migas di dekat permukiman warga.

    Dewan Nasional Walhi, B Catur Nusantara yang juga hadir dalam dialog memberikan masukan kepada Komnas HAM agar merekomendasi pemulihan lingkungan kepada para pihak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Ia juga berharap rekomendasi Komnas HAM kepada seluruh jajaran pemerintah daerah untuk segera melakukan segala upaya untuk proses pemulihan korban Lapindo. Upaya ini bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi sebaran seluruh korban dan status pemulihan kehidupan mereka saat ini.

    “Upaya pemulihan lingkungan harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan dan pemenuhan hak korban Lapindo dan warga yang tinggal di sekitar area semburan.  Dalam berbagai penelitian telah diketahui sebagian wilayah ini mengandung logam berat timbal dan kadmium dalam jumlah tinggi yang bisa mempengaruhi kesehatan warga. Lingkungan yang pulih bisa menjadi faktor utama untuk memulihkan kesehatan dan perekonomian warga,” terangnya. (c)

  • Warga Tanggulangin Kompak Tolak Pengeboran Sumur Baru Lapindo

    MINGGU, 17 JANUARI 2016 | 04:09 WIB

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Penolakan warga terhadap rencana pengeboran perusahaan minyak dan gas, Lapindo Brantas Inc, di Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, ternyata bukan hanya pernah dilakukan warga Desa Kedungbanteng dan Banjarasri. Warga Desa Kalidawir juga sebelumnya pernah melakukan hal sama.

    “Sejak 2012, semua warga Desa Kalidawir menolak pengeboran yang dilakukan Lapindo,” kata warga Kalidawir yang dikenal getol melakukan penolakan, Mochamad Arifin, 60 tahun, saat ditemui Tempo di kediamannya, Sabtu, 16 Januari 2016. Desa Kalidawir bersebelahan dengan dua desa itu.

    Menurut Arifin, Lapindo Brantas memiliki dua sumur di Desa Kalidawir. Keduanya dibor sebelum terjadinya semburan lumpur di Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. “Sejak terjadi semburan, setiap kali mau ngebor lagi, kami larang,” ucapnya.

    Terakhir, ujar dia, warga melakukan demo penolakan pada 2014, saat Lapindo berencana melakukan pengeboran di salah satu sumur. “Warga saat itu menutup akses jalan menuju lokasi pengeboran,” tuturnya. Selain menjalankan aksi, warga berkirim surat ke pemerintah pusat.

    Bersama warga lain, Arifin mengaku juga pernah melakukan demo di lokasi pengeboran di Desa Kedungbanteng. “Sekitar tahun 2012, kami dulu juga ikut demo ke sana bersama warga Kedungbanteng dan Banjarasri. Saat itu Desa Banjarasri masih dipimpin kades lama.”

    Menurut dia, warga menolak pengeboran, antara lain, karena masih trauma oleh semburan lumpur akibat pengeboran oleh Lapindo beberapa tahun lalu yang menenggelamkan ribuan rumah. Selain itu, Lapindo tidak bermanfaat bagi warga. “Lapindo hanya menyengsarakan dan meresahkan warga,” katanya. Karena itu, Arifin menilai sikap yang diambil warga Desa Kedungbanteng dan Banjarasri sangat tepat.

    Di Kedungbanteng, rencananya Lapindo bakal mengebor dua sumur baru. Sebelumnya, sudah ada lima sumur yang telah dibor. Secara keseluruhan, sumur yang dimiliki Lapindo di Sidoarjo sebanyak 30 yang tersebar di Kecamatan Porong dan Tanggulangin.

    NUR HADI

  • Dikunjungi Komisi Energi, Warga Demo Tolak Pengeboran Lapindo

    JUM’AT, 22 JANUARI 2016 | 21:21 WIB

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Ratusan warga dari dua desa yang berada dekat dengan sumur pengeboran baru Lapindo Brantas Inc di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, berunjuk rasa saat Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat berkunjung ke lokasi pengeboran, Jumat, 22 Januari 2015.

    Warga dua desa tersebut menyatakan menolak rencana pengeboran sumur baru Lapindo. Mereka membentangkan satu spanduk besar dan sejumlah poster berisi penolakan persis di depan pintu masuk pengeboran. Aksi tersebut sontak mendapat perhatian dari sejumlah anggota Komisi VII DPR.

    Di hadapan sejumlah anggota Komisi VII, ratusan warga dari Desa Kedungbanten dan Banjarsari meminta rencana pengeboran Lapindo dihentikan. “Tolak pengeboran. Kami trauma dengan semburan lumpur di Porong,” kata mereka.

    Kasmuni, 55 tahun, warga RT 4 RW 1, Desa Banjarsari, berharap pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, mendengarkan suara penolakan warga. “Pemerintah tolong dengarkan hak suara kami. Kami tidak ingin nasib kami sama dengan warga porong,” katanya.

    Hal yang sama diungkapkan Seger, 48 tahun, warga RT 5 RW 2, Desa Kedungbanteng. “Kalau Lapindo mau ngebor jangan di desa kami. Tolong cari tempat yang lain. Jarak sumur dengan rumah kami terlalu fatal. Radiusnya tidak aman,” tuturnya.

    Menurut Seger, keberadaan Lapindo di desanya tidak ada manfaat bagi warga. Dia tak peduli dengan kompensasi yang dijanjikan Lapindo. “Mending warga tidak mendapat apa-apa daripada nanti harus menanggung penderitaan seperti warga Porong,” katanya.

    Syaikhul Islam Ali, salah satu anggota Komisi VII, berjanji akan menyampaikan aspirasi penolakan warga ke pemerintah pusat. “Saya akan kirim surat resmi ke Kementerian ESDM dan Ditjen kalau warga menolak,” kata Syaikhul yang juga anggota DPR daerah pemilihan Jawa Timur 1 (Surabaya-Sidoarjo).

    NUR HADI

    sumber: www.tempo.co

  • Desa Hendak Dihapus, Korban Lapindo Menolak

    Selasa, 02 Februari 2016

    Korban Lapindo berdialog dengan pegawai Kelurahan Siring (foto: Eko W)

    Porong – Pembayaran ganti rugi 80% korban Lapindo yang tergabung dalam peta 22 Maret 2007 silam secara keseluruhan sudah terealisasi pada September 2015 lalu. Namun hal ini bukan menjadi akhir dari permasalahan yang dihadapi oleh para korban Lapindo terutama yang berasal dari desa Siring Timur. Wacana pengahapusan desa mereka telah disosialisasikan oleh Pemkab Sidoarjo pada November 2015 di Kecamatan Porong. Desa-desa yang akan dihapus dalam peta administrasi kecamatan Porong yakni Siring, Jatirejo, dan Renokenongo.

    Sejumlah delapan warga korban Lapindo mendatangi kantor kelurahan Siring untuk menanyakan hasil dari sosialisasi penghapusan desa oleh DPR Komisi 10 pada bulan Januari 2016. Harwati (39) salah satu warga desa Siring Timur ikut mendatangi kantor kelurahan Siring yang berada di Kelurahan Gedang. Ia menanyakan apa saja yang dibahas dalam sosialisasi tersebut kepada pemerintahan kelurahan. Selain itu, ia juga menanyakan apakah aset desa juga dibahas dalam sosialisasi tersebut.

    Inisiatif penghapusan desa dan kelurahan oleh pemerintah kabupaten Sidoarjo tidak bisa diterima oleh Korban Lapindo dari desa Siring. Mereka memandang penghapusan desa dan kelurahan seharusnya mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya terkait kejelasan aset-aset desa yang menjadi bagian yang terdampak lumpur Lapindo. Warga melihat, ada beberapa aset desa dan kelurahan yang masih luput dari pendataan. Di Kelurahan Siring saja sudah ditemukan persoalan demikian. “Iya ada dua aset yag belum disebutkan yaitu lumbung dan bangunan NU yang sampai sekarang masih dipertanyakan oleh warga,” terang Harwati.

    Kedua aset yang diterangkan Harwati, pernah dilakukan pembayaran 20% dan diambil oleh salah satu tokoh masyarakat. Sementara pembayaran 80% tidak diambil. Dana ganti rugi lumbung dan bangunan NU tidak jelas kemana, awalnya dipercayakan kepada ketua RT namun sampai sekarang tidak ada informasi status dana pengganti tersebut.

    Harwati menerangkan, selain aset desa itu, masih ada bangunan publik yang seharusnya diperjelas statusnya. Bangunan sekolah SD 1 Siring, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya selayaknya juga diurus karena menjadi aset kolektif warga.

    Korban Lapindo dari desa Siring sepakat akan menindaklanjuti masalah rencana pengahapusan desa dengan mengumpulkan lebih banyak lagi korban Lapindo yang kini tinggal di berbagai wilayah. Mereka berencana mengumpulkan bukti data aset desa yang dimiliki Siring saat masih berstatus desa hingga menjadi kelurahan.

    Dalam waktu dekat, mereka berencana menindaklanjuti menyikapi rencana ini dengan mendatangi berbagai pihak. “Saya dan kawan-kawan sudah sepakat akan meneruskan masalah ini, bahkan nanti kita juga akan mengirimkan surat keberatan serta audiensi ke DPRD,” tutur Harwati. (Eko W)

     

  • Ternyata Ganti Rugi Lapindo Cair setelah Lebaran

    SIDOARJO – Perjanjian pinjaman dana talangan untuk pelunasan sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo memang telah diteken pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tapi, itu tidak berarti mimpi korban lumpur untuk segera terlunasi sisa ganti ruginya sebelum Lebaran bisa terwujud. Sebaliknya, jalan mereka untuk mendapatkan pelunasan masih panjang dan berliku.

    Betapa tidak, proses validasi belum juga separo jalan. Hingga Senin (13/7) proses validasi baru mencapai 1.175 berkas. Padahal, berkas korban lumpur yang belum lunas ada 3.337. Di sisi lain, Lebaran sudah berada di depan mata.

    Memang hari ini (14/7) ada secuil kabar gembira. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono direncanakan hadir di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo. Hanya, mereka hadir bukan untuk mencairkan dana sisa ganti rugi ke korban lumpur.

    ”Besok (hari ini, Red) memang ada agenda di pendapa. Tapi, itu bukan untuk pencairan, melainkan penyerahan berkas perjanjian yang ditandatangani pemerintah dan PT MLJ kepada BPLS,” kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo kemarin.

    Jumat malam (10/7) pemerintah memang telah menekan perjanjian dengan PT MLJ. Pemerintah diwakili menteri keuangan, sedangkan Lapindo diwakili Presiden Lapindo Brantas Setia Sutrisna dan Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla.

    Dengan penandatanganan itu, pemerintah secara resmi memberikan pinjaman Rp 781,6 miliar kepada Lapindo. Dana itulah yang bakal dikucurkan kepada korban lumpur yang sudah menanti pelunasan sembilan tahun. Tapi, dana tersebut belum bisa dicairkan dalam waktu dua hari ke depan sebelum Idul Fitri tiba.

    Menurut Dwinanto, seusai penyerahan berkas perjanjian antara pemerintah dan MLJ, BPLS tidak langsung bekerja mengucurkan dananya. Mereka akan melakukan pengumpulan berkas yang telah divalidasi untuk dikirim ke Jakarta. ”Rencananya, pada 22 Juli kami mengumumkan nama-nama yang validasinya sudah tuntas dan dananya bisa segera dicairkan,” terangnya.

    Seusai pengumuman tersebut, BPLS memberikan waktu hingga tujuh hari untuk proses klarifikasi jika ada data yang tidak tepat. Baru setelah itu dana bisa dicairkan. ”Mengacu proses pembayaran korban di luar peta area terdampak, pencairan akan dilakukan dalam waktu 14 hari kerja setelah pengumuman. Paling cepat akhir Juli sudah cair,” jelas Dwinanto.

    Jika dihitung dari tanggal pengumuman nominasi nama-nama yang validasinya sudah komplet pada 22 Juli nanti, pencairan paling cepat dilakukan pada 31 Juli. Waktu yang tentu tidak pendek bagi korban lumpur yang sudah bertahun-tahun menunggu. Sebab, mereka harus bersabar dan bersabar lagi. Padahal, sebelumnya mereka sangat berharap pelunasan sudah terealisasi sebelum Lebaran (17 Juli).

    ”Kenapa masih susah seperti ini? Terus terang kami ingin masalah ini segera selesai. Sebab, jika semakin berlarut, kami tidak bisa segera melunasi utang,” ungkap Maria Ulfa, korban lumpur asal Kedungbendo, Tanggulangin.

    Harapan untuk segera tuntas juga diungkapkan Kusumawati. Perempuan 45 tahun asal Jatirejo, Porong, tersebut berharap waktu pelunasan tidak diulur-ulur. ”Keinginan kami sederhana, kami ingin segala urusan kami dipermudah dan segera cair pelunasannya,” harap perempuan yang kini tinggal di Gempol, Pasuruan, itu.

    Keinginan korban lumpur tersebut mendapat dukungan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo. Mereka memberikan penegasan agar pemerintah dan BPLS bisa mempercepat proses pencairan. Termasuk menyangkut validasi.

    Pansus lumpur menilai proses validasi berjalan sangat lambat. Padahal, proses tersebut bisa dijalankan lebih cepat kalau BPLS dan MLJ bersinergi lebih baik. Tidak saling menunggu. ”Proses ini seharusnya dipercepat lagi. Jangan lagi ada komunikasi yang tersumbat antara BPLS dan MLJ. Jika tidak dipercepat, bisa-bisa pelunasan semakin molor lagi,” desak Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPDR Sidoarjo Jauhari.

    Legislator asal Partai Amanat Nasional tersebut memang tidak memungkiri bahwa pencairan sulit dilakukan sebelum Lebaran. Sebab, waktunya sudah sangat mepet. Tapi, menurut dia, pencairan bisa dilakukan sesaat setelah libur Lebaran. ”Perjanjian sudah ditandatangani. Uang juga sudah ada. Jadi, pencairan seharusnya sudah bisa dilakukan secepatnya. Paling cepat sepekan setelah Lebaran lah,” tegasnya. (fim/c9/end)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20300/Ternyata-Ganti-Rugi-Lapindo-Cair-setelah-Lebaran

  • Ganti Rugi Warga, Perjanjian Sudah Diteken Menkeu-Presdir Lapindo

    JAKARTA – Pemerintah bersama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan PT Lapindo Brantas akhirnya menandatangani perjanjian peminjaman dana talangan untuk warga terdampak kemarin (10/7). Dengan proses final tersebut, pembayaran ganti rugi segera dilakukan. Namun, belum ada keterangan tentang tanggal pasti pembayaran kepada warga.

    Pembubuhan tinta perjanjian peminjaman dana talangan dilakukan kemarin di kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Penandatanganan dilakukan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro sebagai wakil pemerintah dan Presiden PT Lapindo Brantas Inc Tri Setia Sutisna bersama Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam. Hadir pula Menteri PU-Pera Basuki Hadimuldjono, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, serta Nirwan Bakrie yang mewakili Grup Bakrie.

    Basuki menyatakan, penandatanganan perjanjian tersebut merupakan tindak lanjut peraturan presiden soal dana antisipasi yang ditandatangani 26 Juni 2015. Hal itu sekaligus menjadi pelengkap persyaratan pencairan dana talangan Lapindo selain perpres dan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) yang telah disiapkan.

    Sayang, proses itu tidak sesuai dengan janji pemerintah. Sebab, seharusnya dana Rp 781 miliar tersebut sudah cair untuk tahap awal pada tanggal ditekennya perpres. ’’Ini memang perjalanan cukup panjang. Mulai verifikasi oleh BPKP soal tanah yang dibeli Lapindo hingga perjanjian antara pemerintah dan Lapindo,’’ jelasnya.

    Basuki melanjutkan, ada empat poin penting dalam surat perjanjian tersebut. Yakni, pertama, pembayaran ganti rugi yang akan langsung dilakukan kepada warga. Maksudnya, dana pinjaman tidak akan masuk ke rekening dari PT MLJ sebelum dibayarkan kepada masyarakat.

    Kedua, besaran bunga yang harus ditanggung PT MLJ selama pinjaman bergulir. Sebagaimana diketahui, bunga yang telah disepakati adalah 4,8 persen per tahun dari besaran yang dipinjamkan. ’’Ketiga, jaminan aset Lapindo senilai Rp 2,7 triliun. Kalau mereka tidak dapat mengembalikan dana pinjaman selama empat tahun, aset akan disita,’’ tegasnya.

    Dia melanjutkan, dalam pengembalian dana pinjaman, Lapindo diizinkan untuk mengangsur. ’’Yang penting batas waktunya empat tahun itu,’’ ujarnya.

    Sementara itu, Menkeu Bambang Brodjonegoro menyatakan, berdasar pertimbangan jaksa agung, pihak yang berhak meneken surat perjanjian tersebut adalah Menkeu selaku bendahara negara. ’’Jadi, akhirnya saya yang teken perjanjian itu,’’ katanya saat ditemui di gedung Kementerian PU-Pera kemarin.

    Sebagai informasi, pencairan dana talangan Lapindo molor dari jadwal 26 Juni lalu. Salah satu penyebabnya, surat perjanjian kontrak tidak kunjung diteken. Menurut Bambang, saat itu Kementrian PU-Pera merasa perlu meminta pertimbangan jaksa agung soal pihak yang berhak meneken surat tersebut. Proses di kejaksaan ternyata tidak singkat hingga akhirnya surat perjanjian tersebut baru diteken kemarin.

    Bambang melanjutkan, sebenarnya sejak 26 Juni lalu syarat-syarat pencairan dana ganti rugi tersebut hampir lengkap, yakni perpres dan DIPA. Tinggal surat kontrak yang belum diteken karena menunggu hasil pertimbangan presiden. Karena itu, kata dia, setelah semua persyaratan lengkap, dana bisa segera dicairkan.

    Dia menguraikan, Selasa pekan depan (14/7) pihaknya bersama Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono menyerahkan surat perjanjian kontrak tersebut kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ’’Selasa kami ke BPLS untuk menyerahkan surat perjanjian. Sebab, ini menjadi dasar bagi BPLS untuk mencairkan anggaran,’’ ujarnya.

    Mengenai pembayaran dana talangan oleh Lapindo, Bambang menekankan bahwa pemerintah telah menetapkan bunga 4,8 persen dan waktu pelunasan selama empat tahun. Pemerintah juga siap mengambil aset berupa tanah 641 hektare senilai Rp 2,7 triliun jika Lapindo gagal melunasi utang saat jatuh tempo.

    ’’Pembayaran talangan Lapindo itu bisa dicicil. Bisa juga pembayaran di ujung. Yang penting, ada batas waktu empat tahun. Batas waktu pembayarannya mulai hari ini. Jika tidak (tidak bisa membayar), kan ada jaminan (tanah),’’ tegasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam menuturkan, saat ini verifikasi terus berjalan. Di antara 3.300 berkas warga, yang rampung sudah 1.200 berkas. ’’Sebanyak 3.300 berkas itu adalah milik sekitar 2.000 kepala keluarga (KK),’’ ujarnya.

    Andi melanjutkan, untuk skema pembayaran tahap awal, semua telah diserahkan kepada BPLS. Pihaknya akan menyerahkan hasil verifikasi kepada BPLS. Kemudian, BPLS memvalidasi untuk diserahkan kepada bendahara negara, dalam hal ini Kemenkeu. ’’Jadi, uang akan langsung dari pusat ke masyarakat,’’ tegasnya.

    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Hardi Prasetyo menyatakan sudah membuat skema tersebut. Namun, dia enggan memaparkan detail. Dia akan menjelaskan secara terperinci saat pemerintah pusat menyerahkan berkas perjanjian kepada pihaknya di Sidoarjo, Selasa pekan depan.

    ’’Yang jelas, nanti sistemnya ditransfer melalui rekening BRI yang telah dibuka untuk masing-masing KK. Besarannya pun sesuai dengan aset mereka,’’ ungkapnya. (mia/ken/c5/kim)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20193/Ganti-Rugi-Warga-Perjanjian-Sudah-Diteken-Menkeu-Presdir-Lapindo

  • Ada Kendala di Lapindo

    Perjanjian Dana Pinjaman Harus Segera Ditandatangani

    SIDOARJO, KOMPAS — Perjanjian dana pinjaman untuk menalangi pembayaran ganti rugi bagi warga korban semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, harus segera ditandatangani oleh pemerintah dan perusahaan. Akta perjanjian itu menjadi dasar untuk mencairkan anggaran Rp 781 miliar dan pijakan melakukan validasi berkas sebagai syarat pembayaran kepada korban.

    “Hingga saat ini, perjanjian dana pinjaman belum ditandatangani, walau peraturan presiden (perpres) tentang pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo dengan dana pinjaman pemerintah, sudah disahkan. Masih ada sejumlah hal yang menjadi kendala,” ujar Dwinanto Hesti Prasetyo, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (1/7), di Sidoarjo.

    Dwinanto tidak menyebutkan kendala itu. Namun, BPLS akan mematangkan persiapan kapan pun perjanjian itu ditandatangani. Oleh karena itu, BPLS melakukan pencocokkan data warga korban lumpur sebagai langkah persiapan menuju validasi berkas pemberian ganti rugi.

    Pengamatan di Pendopo Delta Wibawa, Sidoarjo, tim verifikasi BPLS memanggil sekitar 300 masyarakat korban semburan lumpur di tiga kecamatan, yakni Jabon, Tanggulangin, dan Porong. Mereka diminta membawa kartu identitas, buku rekening, dan kuitansi pembayaran ganti rugi yang sudah diterima.

    Data bermasalah

    Sebelumnya, Jumat pekan lalu, BPLS memanggil 44 pemilik berkas untuk mengikuti verifikasi. Namun, karena banyak ditemukan data bermasalah, dan pasokan data masyarakat korban lumpur dari Lapindo kurang lancar, verifikasi dihentikan dan baru dibuka lagi Rabu.

    Dari 300 berkas itu, sebanyak 193 berkas dinyatakan cocok secara administrasi. Sisanya, 107 berkas, belum bisa diproses karena berbagai sebab. Sebanyak 90 berkas, pemiliknya tidak hadir.

    Adapun 17 berkas tidak bisa diproses, sebab bermasalah. Permasalahannya beragam, tetapi kebanyakan karena ketidaksesuaian data. Misalnya, nama pemilik berkas dan pemilik rekening berbeda. Selain itu, nama sama, tetapi alamat yang tertera pada berkas tidak sama dengan yang tertera di buku rekening.

    “Kami berharap Kamis besok bisa membereskan yang 107 berkas. Pemilik yang belum hadir diharapkan segera hadir. Data yang tidak sama akan diperbaiki. Termasuk tadi ada persoalan ahli waris yang belum bisa menunjukkan surat keterangannya,” kata Dwinanto.

    Saat ini BPLS baru melakukan pendataan administrasi. Adapun verifikasi terkait dengan nilai pembayaran ganti rugi akan dilakukan pada tahap berikutnya, setelah perjanjian pinjaman antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas atau Minarak Lapindo Jaya, ditandatangani.

    Informasi lain yang diperoleh Kompas, salah satu faktor penghambat karena adanya perubahan pihak yang harusnya melakukan penandatanganan dana pinjaman. Bila sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, diubah menjadi Menteri Keuangan. Hal itu sesuai arahan dari Jaksa Agung.

    Seorang warga korban lumpur Lapindo dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Hartini, mengatakan, ia mendapat panggilan mengikuti pencocokan data di Pendopo Delta Wibawa secara mendadak. Ia bingung, karena tidak disebutkan secara rinci berkas mana yang dimaksud.

    Selain itu, korban lumpur mengeluhkan tak ada pengumuman nilai nominal sisa ganti rugi yang akan mereka terima. Jika nilai ganti rugi ditentukan perusahaan, hal itu bisa merugikan warga korban lumpur. (nik)

    Harian Kompas, 2 Juli 2015, h. 24.

  • Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Sidoarjo, Tempo.co – Sejumlah korban lumpur Lapindo yang mendapatkan ganti rugi sebuah rumah di perumahan yang dibuat Lapindo di Kahuripan Nirwana Village (KNV), Sidoarjo, mengaku hingga kini belum mendapatkan sertifikat tanah. “Dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli pun belum. Padahal tetangga dan saudara-saudara saya sudah menerima,” kata Bakrie, 40 tahun, warga Desa Kedengbendo, Porong, Rabu, 24 Juni 2015.

    Hal senada diungkapkan Wartik. Sejak mendapatkan rumah pada 2010, dia juga belum mendapatkan sertifikat. “Sertifikat untuk mendapatkan kunci rumah pun baru dikasih setahun kemudian.”

    Suaidi, 59 tahun, warga korban lumpur lainnya, juga bernasib sama. Namun Suaidi lebih beruntung. Ia sudah dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli empat bulan lalu. “Tinggal tunggu waktu keluar sertifikatnya.”

    Bakrie, Watik, dan Suaidi menempati rumah tipe 70 di KNV. Selain rumah tipe 70, korban lumpur Lapindo juga menempati rumah tipe 32 dan 54. Selain belum menerima sertifikat tanah, mereka juga mengaku belum mendapatkan sisa ganti rugi. Menurut Bakrie, Lapindo masih harus membayar Rp 76 juta. Sedangkan Watik dan Suaidi masing-masing kurang Rp 600 juta dan Rp 1,3 miliar.

    Mereka adalah tiga dari ribuan warga korban semburan lumpur Lapindo yang mengikuti skema ganti rugi sistem cash and resettlement. Skema itu berupa pemberian uang muka 20 persen, dan sisanya 80 persen berupa sebuah rumah di KNV.

    Sampai berita ini ditulis, pihak KNV belum bisa diminta keterangan penyebab warga korban lumpur belum menerima sertifikat serta jumlah persis warga yang belum menerima sertifikat. Perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya juga tidak tahu-menahu saat menghadiri sosialisasi pembayaran ganti rugi di Pendapa Delta Wibawa, Kabupaten Sidoarjo, Rabu, 24 Juni 2015. “Bukan bagian saya,” ujarnya.

    NUR HADI

    http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/24/173678019/korban-lumpur-lapindo-belum-terima-sertifikat-tanah

  • Dana Talangan bukan Pintu Keluar dari Jebakan Lumpur (Lapindo)!

    Dana Talangan bukan Pintu Keluar dari Jebakan Lumpur (Lapindo)!

    Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] bersama dengan Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] dan masyarakat sipil lainnya menilai bahwa kebijakan pemerintah untuk mengucurkan dana talangan senilai Rp 781 miliar kepada pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), guna pelunasan dan pembayaran ganti rugi lahan serta bangunan akibat semburan lumpur Lapindo, dengan jangka waktu 4 tahun dengan jaminan aset tanah korban yang sudah diganti rugi oleh pihak perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun, tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lumpur Lapindo itu sendiri.

    Pada tanggal 29 Mei 2007, setahun setelah bencana semburan lumpur Lapindo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga telah mengeluarkan hasil pemeriksaan terkait Penanganan Atas Bencana Lumpur Lapindo. Dimana berdasarkan temuan hasil pemeriksan tersebut ditemukan sejumlah pelanggaran tekait perijinan dan pengawasan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, pelaksanaan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, hingga ketiadaan pengawasan eksplorasi migas oleh Pemerintah (BP Migas dan Departemen ESDM), yang mengindikasikan terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.

    Fakta lain yang kami temukan juga menunjukan bahwa kebijakan pemerintah melalui dana talangan tersebut juga akan membawa beberapa permasalahan mendasar lainnya, mulai dari potensi berlawanan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, hingga mengabaikan aspek perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia bagi korban lumpur Lapindo itu sendiri. Beberapa permasalahan tersebut, antara lain:

    • Memiliki potensi berlawanan dengan konstitusi. Sebagaimana yang diatur melalui pasal 33 ayat (4) UUD 1945, konstitusi Indonesia menekankan konsepsi demokrasi ekonomi, yang oleh karnanya kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, serta harus dihindari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, kelompok atau perusahaan. Dalam hal ini, dengan pemeberian dana talangan untuk PT MLJ, patut dicurigai bahwa hanya akan menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial, Grup Bakrie, sehingga terjadi penumpukan aset dan pemusatan ekonomi, serta tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
    • Transaksi jual-beli yang batal demi hukum. Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960 tersebut, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali sementara status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).
    • Pinjaman dengan jaminan aset tanah negara. MLJ sendiri hanya bisa memiliki hak tanah dalam bentuk: Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang diatur berdasarkan undang-undang, serta memiliki jangka waktu yang terbatas, dan akan kembali menjadi tanah negara setelah batas waktu tersebut habis. Maka patut dipertanyakan bagaimana mungkin negara akan memberikan dana talangan kepada PT. MLJ dengan jaminan aset yang statusnya sudah pasti akan berubah menjadi ‘tanah negara’ dikemudian hari.
    • Ketidakjelasan mekanisme pemberian dana talangan kepada PT MLJ. Apabila merujuk pada UU No. 37/2004 dan UU No. 17/2003, PT. MLJ seharusnya berstatus pailit terlebih dahulu sebelum mendapat kucuran pinjaman atau dana talangan dari pemerintah yang dapat digunakan guna melakukan pelunasan pembayaran ganti rugi tanah yang terendam lumpur akibat aktivitas penambangan, yang juga mengingatkan bahwa jika kebijakan itu tak diberlakukan akan menjadi preseden kekacauan sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia.
    • Hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Sementara di sisi lain, masih ada kelompok korban yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Hal ini mengingat pihak PT MLJ, akibat ketidakmampuannya untuk menepati jangka waktu ganti rugi sebagaimana yang diperintahkan oleh Perpres 14/2007, kemudian menawarkan berbagai model penyelesaian proses ganti rugi, yang dalam kenyataannya juga tidak kunjung dituntaskan hingga hari ini.
    • Pengabaian praktik pelanggaran HAM. Dalam laporan penyelidikannya Komnas HAM, pada 25 Oktober 2012, menyebutkan bahwa adanya praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas. Dimana sekurang-kurangnya 15 (lima belas) pelanggaran HAM yang terjadi akibat semburan lumpur Lapindo: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (penyandang cacat, orang berusia lanjut, anak dan perempuan).
    • Mengabaikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UU No. 32/2009, PT MLJ seharusnya diwajibkan untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan semburan lumpur Lapindo, berdasarkan konsep tanggung jawab mutlak (strict liability), akibat pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan usahanya (polluter pay principles), yang mengakibatkan kerugian bagi warga, secara mutlak, dan tanpa perlu ada pembuktian terhadap unsur kesalahan yang dilakukan oleh PT MLJ tersebut.

    Sudah seharusnya pemerintah menafsirkan upaya penyelesaian dampak dari semburan lumpur Lapindo secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai aspek permasalahan yang ada, agar tidak terjebak lebih jauh dalam semburan lumpur Lapindo itu sendiri. Terlebih, tidak ada upaya penegakkan hukum bagi PT MLJ sebagai pihak yang semestinya bertanggung jawab atas semburan lumpur Lapindo hingga hari ini juga semakin mempersulit posisi korban untuk menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang terjadi terhadap mereka.

    Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

    Pertama, Polri untuk menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya guna melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM dan BPK serta membuka perkara pidana yang telah di-SP3 oleh Polda Jatim.

    Kedua, BPK segera melakukan koordinasi kepada kementerian terkait, utamanya Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non-procedural pengeboran di Sidoarjo yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian, serta memastikan upaya tindak lanjut dari laporan BPK pada tahun 2007.

    Ketiga, BPN beserta Kementerian Agraria untuk memastikan status hukum yang timbul akibat kegiatan jual-beli lahan antara korban luapan lumpur Lapindo, serta memberikan masukan kepada Pemerintah terkait penyelesaian permasalah dana talangan dan upaya ganti rugi lahan dan bangunan akibat semburan lumpur Lapindo.

    Keempat, Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa penggunaan uang negara, melalui rencana pemberian dana talangan, kemudian tidak bertentangan dengan Konstitusi Indonesia, serta memastikan status hukum PT MLJ sebelum menerima dana bantuan dalam bentuk talangan dan kebijakan penundaan kewajiban pembayara utang, dan meberikan masukan kepada pemerintah terkait penyelesaian permasalahan dana talangan.

    Kelima, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, dan sejumlah kementerian terkait untuk menagih kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo, guna mencegah potensi kerugian negara akibat peristiwa tersebut.

    Keenam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan audit lingkungan hidup atas peristiwa semburan Lapindo di Sidoarjo yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta memastikan pertanggungjawaban PT MLJ atas kerugian yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut berdasarkan prinsip polluter pay principles dan konsep strict liability.

    Ketujuh, Komnas HAM untuk memastikan dan menjamin tersedianya akses terhadap upaya pemulihan yang efektif bagi korban perlanggaran HAM akibat semburan lumpur Lapindo, serta mendorong pemeritah dan instansi-instansi terkait untuk menindak-lanjuti laporan Komnas HAM atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi akibat terjadinya semburan lumpur Lapindo.

    Kedelapan, Ombudsman RI untuk melakukan penyelidikan terkait temuan adanya dugaan praktik mal-administrasi yang terjadi dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo, sebagaimana yang disebutkan laporan BPK pada 29 Mei 2007 lalu.

    Kesembilan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Polri untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No. 26/2007 dan RTRW Sidoarjo 2003-2013.

    Kesepuluh, Menkoinfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.

    Jakarta, 24 Juni 2015

    Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    DANA TALANGAN BUKAN PINTU KELUAR DARI JEBAKAN LUMPUR (LAPINDO)!

  • Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    JAKARTA – Pemerintah mewajibkan PT Minarak Lapindo membayar bunga dana talangan untuk membayar ganti rugi warga korban luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Minarak Lapindo sebagai pelaksana pembayaran ganti rugi pun sepakat membayar bunga 4,8 persen untuk dana talangan sebesar Rp 827,1 miliar yang statusnya pinjaman dari pemerintah itu.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono mengaku sudah memanggil pemilik PT Minarak Lapindo, Nirwan Bakrie terkait pengenaan bunga untuk dana pinjaman dari pemerintah itu. “Saya sudah undang Pak Nirwan bahwa dari sidang kabinet ini dana antisipasi ini dikenai bunga 4,8 persen, dan beliau (Nirwan, red) menerima,” kata Basuki  di kantor kepresidenan, Jakarta, Senin (22/6).

    Karenanya Basuki juga mengharapkan peraturan presiden (perpres) tentang dana talangan untuk Minarak Lapindo itu segera ditandangtangani Presiden Joko Widodo. Nantinya, perpres itu akan ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kementerian PUPR dengan Minarak Lapindo.

    Basuki menambahkan, draf perjanjian kerja sama saat itu sudah diedarkan kepada seluruh tim percepatan untuk dikoreksi. “Mudah-mudahan Rabu (24/6) saya bisa menandatangani perjanjiannya dengan Minarak Lapindo Jaya,” imbuhnya.

    Basuki menegaskan, jumlah dana talangan dari pemerintah untuk Minarak Lapindo itu sudah sesuai hasil verifikasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dari Rp 827 miliar yang disediakan, Rp 781 miliar di antaranya akan dibagikan kepada warga.

    Basuki menjelaskan, pembayaran ganti rugi akan dilakukan melalui transfer ke rekening warga di bank. “Mereka sudah siap dengan rekening-rekening BNI,” kata Basuki.

    Warga penerima ganti rugi tidak akan dikenai bunga. Sedangkan Minarak Lapindo harus melunasi dana pinjaman itu ke pemerintah itu dalam kurun waktu 4 tahun.

    FLO

    http://www.jpnn.com/read/2015/06/22/311078/Pemerintah-Paksa-Minarak-Lapindo-Bayar-Bunga-Dana-Talangan

  • BNBR Suntik USD150 Juta untuk Bangun Coating Plant

    BNBR Suntik USD150 Juta untuk Bangun Coating Plant

    Jakarta, Metrotvnews.com — PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) mengalokasikan dana investasi sebesar USD150 juta melalui anak usahanya, PT Bakrie Pipe Industries (BPI). Dana tersebut akan disalurkan secara bertahap untuk membangun pelapisan pipa baja (coating plant).

    “Ekspansi kami guna menjaga pertumbuhan di tengah lesunya perekonomian saat ini yang diperkirakan masih akan diliputi ketidakpastian atau krisis belum akan selesai,” ujar Direktur Utama Bakrie & Brothers Bobby Gafur Umar, ketika ditemui usai RUPST, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (18/6/2015).

    Dampak pelemahan rupiah terhadap dolar AS (USD) juga membuat perseroan lebih fokus untuk menjalankan usaha dengan efisiensi di segala bidang. Sehingga perseroan dapat meraih kinerja positif yang telah berhasil diraih pada tahun lalu.

    Sejumlah inisiatif strategis telah dilakukan perseroan dalam mengembangkan usaha, salah satunya mendorong pengembangan bisnis anak-anak usaha nonpublik yang bergerak di sektor manufaktur.

    “Peresmian coating plant menjadi momentum penting bagi industri baja nasional dan industri pipa baja khususnya. Ini merupakan tahap pertama, dari rencana investasi kami senilai USD150 juta, untuk mengembangkan industri pipa dan produk pendukung milik Bakrie,” ungkapnya.

    Pengerjaan coating plant, menurut Bobby, diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pipa bagi pengguna di daratan (on shore) dan bawah laut. Fungsi lainnya bisa mendukung rencana pemerintah membangun jaringan pipa dalam program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke Gas.

    “Anak usaha lain yang bergerak di bidang industri metal, dan bahan bangunan juga prospektif, seiring gencarnya pemerintah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur,” tutur Bobby.

    Sementara di sektor manufaktur, tambah dia, diklaim memiliki kemampuan kuat untuk menjadi motor utama. karena masih memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan bagi perusahaan.

    “Tiga anak usaha dibidang manufaktur yang menjadi motor utama itu meliputi PT Bakrie Metal Industries, PT Bakrie Autoparts dan PT Bakrie Building Industries,” tukasnya.

    Dian Ihsan Siregar

    http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/06/18/138045/bnbr-suntik-usd150-juta-untuk-bangun-coating-plant

  • Perusahaan Migas Grup Bakrie Cari Utang US$ 200 Juta

    Perusahaan Migas Grup Bakrie Cari Utang US$ 200 Juta

    Jakarta, CNN Indonesia — Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) melansir tengah mencari pinjaman senilai US$ 200 juta yang rencananya bakal digunakan untuk merestrukturisasi utang jangka pendek perseroan (refinancing) sebesar US$ 134 juta.

    Presiden Direktur Energi Mega Persada, Imam P Agustino mengatakan selain untuk menutupi utang jangka pendek, sisa pinjaman sindikasi atau berkisar US$ 64 juta juga akan dipakai untuk menggenapi angka belanja modal (capital expenditure/capex) perseroan tahun ini yang mencapai US$ 218 juta.

    Sementara sisa capex sebesar US$ 154 juta akan ditutupi dari kas perseroan. “Kami pastikan kalau bunga pinjaman tersebut tidak akan lebih besar daripada yang (pinjaman) sebelumnya. Karena pada dasarnya pinjaman ini untuk refinancing,” ujar Imam di Jakarta, Rabu (17/6).

    Sebagaimana diketahui, dalam laporan keuangan perseroan 2014 Energi Mega Persada memiliki total liabilitas sebesar US$ 1,29 miliar yang terdiri dari kewajiban jangka panjang senilai US$ 581 juta, dan kewajiban jangka pendek mencapai US$ 715 juta.

    Dari liabilitas jangka pendeknya, Imam bilang tercatat utang yang memasuki jatuh tempo tahun ini mencapai US$ 102 juta.

    Lebih lanjut, untuk memperoleh pinjaman, manajemen perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Bakrie itu telah mengantongi restu dari mayoritas pemegang saham guna menjaminkan aset perseroan dan anak usahanya.

    “Ini hal yang biasa kami lakukan. Sedangkan sindikasi kredit tadi dari beberapa bank asing tapi kita tidak bisa sebut namanya,” tuturnya.

    Dari catatan CNN Indonesia, selain dari perbankan sumber pinjaman Energi Mega Persada juga akan berasal dari satu lembaga pendanaan yakni Farallon Capital dengan besaran bunga London Inter-bank Offer Rate (LIBOR) mencapai 18 persen per tahun. Dimana angka ini diketahui lebih rendah dari pinjaman sindikasi sebelumnya yang memiliki bunga mencapai 20 persen.

    Serapan Belanja Modal

    Sementara untuk pemanfaatan belanja modal tahun ini, tambah Imam, hingga akhir Mei 2015 kemarin serapan belanja modal perseroan telah menyentuh angka 40 persen. Adapun penggunaan capex tersebut digunakan untuk perawatan production facilities, hingga kegiatan pemboran sumur-sumur migas yang dikelola perseroan dan anak usahanya.

    “Tahun ini kami hanya akan berfokus pada pengembangan blok-blok migas yang sudah perseroan miliki. Jadi capex hanya akan dipakai untuk kegiatan perawatan sumur dan tidak ada rencana akuisisi working interest di blok lain,” katanya.

    Diemas Kresna Duta

    http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150618074758-85-60747/perusahaan-migas-grup-bakrie-cari-utang-us–200-juta/

  • 9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    MetroRealitas – Tidak terasa genangan lumpur ini sudah menginjak tahun ke-9, tidak banyak perubahan di sana, namun genangan masih ada bahkan terus meluap. Namun setidaknya kini sebagian warga di kawasan terdampak sudah mulai lega, sebab kekurangan pembayaran untuk senilai Rp 827 miliar akan segera dilunasi. Dilunasi dan dibayarkan oleh pemerintah, ya inilah ironi yang diperdebatkan belakangan ini sebab ujung-ujungnya harus pemerintah juga yang turun tangan. Anehnya tak cuma harus nombok duluan, pemerintah pun oke-oke saja memberikan talangan meski nilai jaminan dari pihak Lapindo justru menyusut. Benarkah Lapindo tak layak ditalangi? Dan benarkah grup usaha Lapindo ini telah meraup banyak keuntungan dari putaran bisnis migasnya, Selasa (16/6/2015).

    Editor: AMS

  • Kerjasama Lapindo dan BUMD Tingkatkan PAD Sidoarjo

    Kerjasama Lapindo dan BUMD Tingkatkan PAD Sidoarjo

    Sidoarjo, Sidoarjoterkini.com – Kerjasama di bidang gas antara Lapindo Brantas Inc dengan PD Aneka Usaha murni bisnis. Namun, salah satu tujuan kerjasama itu agar ada tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemkab Sidoarjo.

    Pasalnya, PD Aneka Usaha merupakan BUMD milik Pemkab Sidoarjo. “Kerjasama gas Lapindo dengan PD AU (Aneka Usaha), melalui Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dan sama dengan perusahaan swasta lainnya yang mengambil gas dari Lapindo,” ujar Comersial Manager Lapindo Brantas Inc, Anthoni Roy.

    Kerjasama antara Lapindo dengan PD AU, lanjut pria yang akrab disapa Roy ini, merujuk pada Pedoman Tata Kerja Nomor (PTKN) 029/PTJ/VII/2009 tentang penunjukan penjual dan penjualan gas bumi/LNG/LPG bagian negara. BUMD berpeluang mengelola distribusi gas kerjasama dengan K3S (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).

    Meski demikian, PJBG tidak bisa dilakukan antara Lapindo dan BUMD saja. Melainkan harus seizin SKK Migas. “Semua PJBG baik dengan PD AU maupun perusahaan gas lainnya harus ada rekomendasi atau ijin dari SKK Migas,” jelas Roy.

    Sedangkan kerjasama dengan PD AU dimulai sekitar tahun 2011 lalu. Untuk berapa banyak suplai gas yang dibeli PD AU, Roy mengaku tidak bisa menyebutkan karena menyangkut kerjasama.

    Roy mengaku kewenangan Lapindo hanya memberikan gas sesuai PJBG pada PD AU. Selanjutnya, apakah gas itu akan dijual ke perusahaan atau siapapun, menjadi kewenangan perusahaan yang bersangkutan.

    Selain bekerjasama dengan PD AU, Lapindo juga bekerjasama dengan perusahaan gas lainnya. Dalam hal distribusi gas, Lapindo berpegang teguh pada PJBG.

    Terpisah, Direktur PD Aneka Usaha, Amral Soegianto mengatakan untuk usaha gas yang dijalankannya sesuai dengan PJBG dengan Lapindo dan pihak terkait lainnya. “Selama ini kita sudah bisa menyumbang PAD untuk Pemkab Sidoarjo,” tandasnya.

    ST-12

    http://sidoarjoterkini.com/2015/06/12/kerjasama-gas-lapindo-dan-bumd-untuk-tingkatkan-pad-sidoarjo/

  • [Mei 2015] Mengingat Lapindo

    Pada edisi ini Buletin Kanal menyajikan beberapa seruan komunitas korban Lapindo dan kelompok masyarakat sipil terkait sembilan tahun lumpur Lapindo. Kelompok ini menyerukan betapa kasus Lapindo tidak ditangani baik oleh pengurus negara. Mereka mengatakan negara alpa dalam melindungi warga. Warga harus berjuang sendiri untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar dan memulai upaya pemulihan kehidupan.

    Kerusakan sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi tidak mendapatkan perhatian serius. Konsep melindungi warga dengan mendorong skema ganti rugi melalui jual beli aset tanah dan bangunan senyatanya tidak juga bisa ditaati perusahaan. Meski menjadi prasyarat paling ringan dalam kasus ini, ketidakpatuhan Lapindo Brantas pada kebijakan negara tak urung memperpanjang kesengsaraan korban Lapindo.

    Pada peringatan 7 tahun Lumpur Lapindo, beberapa komunitas yang menghadapi situasi serupa di Porong, datang bersolidaritas dan menetapkan 29 Mei sebagai Hari Anti Tambang (HATAM). HATAM mengingatkan publik tentang daya rusak tambang yang bahkan sejak mulai beroperasi telah bisa diidentifikasi. Pada kasus lumpur Lapindo misalnya, ketidakjelasan peruntukan lahan sumur pengeboran migas merupakan bentuk manipulasi informasi. Ditambah lagi sejak awal aktivitas industri migas ini tidak pernah disebutkan dalam RTRW Sidoarjo.

    Warga harus berjuang sendiri untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejumlah warga mesti menghadapi resiko lingkungan yang sangat buruk dengan mengandalkan sumber ekonomi sebagai pengelola parkir dan pengojek di area tanggul semburan lumpur Lapindo. Catatan kesehatan Puskesmas Porong bisa menunjukkan resiko kesehatan yang dialami warga.

    Gangguan pernapasan menjadi indikator paling bisa dilihat akibat pemburukan kualitas udara. Pemeriksaan kesehatan kepada korban nyaris tidak dilakukan secara khusus. Bahkan mereka mesti berjuang bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan keringanan biaya kesehatan. Jika tidak mendapat fasilitas Jamkesmas dan Jamkesda, mereka harus berbekal SKTM-surat pernyataan sebagai orang miskin.

    Sayangnya, media cenderung tidak menggali berbagai dimensi kerusakan akibat lumpur Lapindo. Sajian persoalan ganti rugi yang tak kunjung selesai menghiasi berita kasus lumpur Lapindo. Hanya sedikit media arusutama yang mencoba mendalami dampak lumpur Lapindo dari multi perspektif.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang setidaknya ditunjuk untuk mengurusi persoalan Lapindo juga cenderung membatasi diri. Dalam urusan keterbukaan informasi, BPLS tidak cukup serius mengelola media informasi, www.bpls.go.id, yang tidak lagi dapat diakses publik, sejak 29 Mei hingga edisi ini terbit.

    Kami memilihkan beberapa liputan media tentang situasi finansial Grup Bakrie, resiko konflik adanya pulau endapan lumpur, pemulihan infrastruktur, dan liputan mendalam membaca dampak berkelanjutan lumpur Lapindo.

    Secara khusus tiga tulisan Anton Novenanto disajikan untuk memberikan gambaran lebih terang tentang situasi pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini. Bambang Catur Nusantara dan Lutfi Amirrudin masing-masing menyajikan satu tulisan khusus dalam membaca situasi sembilan tahun semburan Lumpur Lapindo.

    Daris Ilma dan Rita Padawangi menampilkan beberapa foto dokumentasi prosesi peringatan 9 tahun semburan lumpur Lapindo. Akhmad Novik menuliskan kesaksiannya mengikuti prosesi peringatan sejak pagi hingga siang, 29 Mei 2015.

    Redaksi berterima kasih pada Rahman Seblat yang telah beriuran sketsa tematik Sembilan Tahun Lumpur Lapindo, “Warga Berdaya, Meski Negara Alpa.”

    Redaksi juga mengundang partisipasi pembaca untuk Buletin Kanal edisi mendatang. Silakan kirimkan tulisan opini, foto, sketsa, komik, atau bentuk lainnya sebagai kontribusi pada perbaikan pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini.

    Selamat membaca!

    — Bambang Catur Nusantara

    Daftar tulisan edisi ini:

    1. Mengingat Lapindo (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    2. [Siaran Pers] 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo (pdf)
    3. [Siaran Pers] Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela (pdf)
    4. [Suara Publik] Bola Panas “Ganti Rugi” (Anton Novenanto) (pdf)
    5. [Suara Publik] “Warga Tetap Berdaya, Meski Negara Alpa” (Anton Novenanto) (pdf)
    6. [Suara Publik] Politik Janji (Anton Novenanto) (pdf)
    7. [Suara Publik] Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    8. [Suara Publik] Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana (Lutfi Amiruddin) (pdf)
    9. [Kanal Korban] Sembilan Tahun Lumpur Lapindo (Novik Akhmad) (pdf)
    10. [Lapindo di Media] Mei 2015 (pdf)
    11. [Bingkai] Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015) (Daris Ilma & Rita Padawangi) (pdf)

    Dapatkan bendel lengkap Buletin Kanal di sini.

  • Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Jakarta, Kabar24.com – Pemerintah tengah mematangkan Peraturan Presiden terkait penyaluran ganti rugi bagi masyarakat korban luapan lumpur Sidoarjo di peta area terdampak (PAT) untuk memastikan penyaluran anggaran dapat dilakukan segera.

    Rildo Ananda Anwar, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekaligus Ketua Tim Teknis Percepatan Penyelesaian Pembayaran Ganti Rugi Korban Luapan Lumpur Sidoarjo mengatakan draft perpres sudah diajukan, ditargetkan awal pekan depan sudah disahkan.

    “Sejauh ini sudah kami bahas secara intensif dan masih akan ada beberapa pertemuan lanjutan lagi. Karena kalau Perpresnya sudah lebih detail, perjanjiannya akan menjadi lebih mudah,” katanya, Kamis (11/6/2015).

    Perpres tersebut dibutuhkan sebagai aturan pelaksana penyaluran dana ganti rugi seturut amanat UU No. 3/2015 tentang perubahan atas UU No. 27/2014 tentang APBN 2015. Proses perjanjian antara pemerintah dan Lapindo akan didasarkan pada ketentuan perpres tersebut.

    Menurutnya, bila semua berjalan lancar, proses pembayaran dapat segera dilakukan mulai 26 Juni 2015 mendatang.

    Penyaluran akan dilakukan langsung ke rekening korban untuk menghindari terjadinya manipulasi di lapangan oleh oknum tertentu.

    Sesuai dengan UU No. 3/2015 pasal 23B , untuk pelunasan pembayaran kepada masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan di dalam PAT lumpur dialokasikan dana sebesar Rp 781,688 miliar.

    Dana tersebut merupakan dana talangan untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan korban lumpur di PAT yang tidak sanggup dibayar oleh Lapindo.

    Untuk itu, Lapindo menjaminkan tanah di PAT yang telah dibayarkan Lapindo dengan nilai Rp2,7 triliun berdasarkan hasil audit BPKP.

    Rildo mengatakan, sejauh ini masih dilakukan pembicaraan mendetail terkait perjanjian kontrak di Sekretariat Negara tentang kemungkinan menyesuaikan jaminan aset dan jangka waktu pengembalian dana pemerintah oleh Lapindo.

    “Bisa saja kita sesuaikan lagi waktunya yang ditetapkan empat tahun, bisa lebih singkat. Selain itu juga masalah aset, apakah bisa ada aset lain yang dijaminkan, itu lagi dibicarakan. Kalau itu selesai, kita akan segera ajukan kontraknya ke Pak Menteri untuk ditandatangani,” katanya.

    Rildo mengatakan tahun ini pemerintah akan menyalurkan anggaran Rp 781,688 miliar seturut ketentuan undang-undang, meskipun hasil audit BPKP menunjukkan kenaikan nilai hingga Rp 46 miliar.

    Rildo mengatakan, kelebihan nilai tersebut akan disalurkan di tahun depan, bersama dengan delapan warga yang baru mengajukan gugatan dan sekarang tengah diverifikasi. Menurutnya, ganti rugi terhadap dunia usaha yang terkena risiko pun akan dibahas lagi oleh pemerintah.

    “Untuk masalah pajak dan bunga terhadap Lapindo, biar nanti Menteri Keuangan dan Menteri PU-Pera yang ambil keputusan,” katanya.

    Emanuel Berkah

    http://kabar24.bisnis.com/read/20150611/15/442614/lumpur-lapindo-perpres-ganti-rugi-korban-lumpur-sidoarjo-segera-terbit