Penolakan Warga atas Rencana Pengeboran Lapindo di Jombang: Sebuah Reportase Singkat dan Komentar


Oleh: Lutfi Amiruddin

Pada 7 April 2018 lalu, saya menyempatkan diri datang ke Desa Blimbing, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Kunjungan ini dilandasi oleh salah satu berita daring berjudul “Diduga Proyek PT Lapindo, Warga Kesamben Tolak Pengeboran” (3 April 2018).

Saya tiba di desa itu menjelang maghrib dan mengambil beberapa foto. Saya hanya bisa memotret jalan tol dan spanduk penolakan pengeboran Lapindo yang masih terpasang di depan langgar Al-Amin.

Spanduk Protes Warga Blimbing, Jombang

Saya masuk ke langgar untuk sholat maghrib berjamaah dan kesempatan ini saya manfaatkan untuk berkenalan dengan beberapa warga. Seorang jamaah menanyakan identitas saya, keperluan saya datang ke tempat itu, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Di akhir obrolan singkat itu, dia menyarankan agar saya tidak perlu menanyakan hal-hal terkait rencana pengeboran Lapindo.

Belakangan saya tahu dia adalah salah satu ketua RW di Desa Blimbing. Dia tidak ingin ada pendatang yang, seperti saya, membicarakan rencana pengeboran Lapindo dengan warga. Dia mengkhawatirkan hal itu akan mengancam stabilitas desa akibat desas-desus yang beredar dan kesimpangsiuran informasi.

Saya sempat ragu dengan peringatannya. Ada dua pilihan; balik pulang, atau tetap di desa ini untuk mencari informasi. Akhirnya, saya memilih yang kedua.

Sejarah Pengubahan Ekologis dan Sikap Warga Atasnya

Saya singgah di sebuah warung kopi di ujung jembatan penyeberangan jalan tol. Di warung ini saya bertemu dengan seorang laki-laki, sekitar 40 tahun (sayang saya lupa namanya). Dia membuka obrolan dengan perkenalan. Dari obrolan kami, orang itu adalah salah satu dari 15 orang yang pernah diajak Lapindo melakukan “studi banding” (demikian dia menyebutnya) ke beberapa titik pengeboran di Sidoarjo. Kegiatan itu dimuat di Radar Jombang (4 April 2018) berjudul “Warga Tolak Pengeboran Lapindo.”

Tak lama kemudian, datang seorang tokoh warga yang namanya sering muncul di pemberitaan terkait penolakan pengeboran. Namanya Yusuf, alias Bondet, (50 tahun lebih). Lokasi pengeboran yang ditolak itu persis di belakang rumahnya. Dia memperkenalkan diri sebagai “orang penting” dalam protes warga selama ini.

Dari obrolan di warung itu, saya mendapatkan beberapa catatan penting. Secara geografis, Desa Blimbing berada di selatan Sungai Brantas dan berbatasan langsung dengan tanggul sungai. Sebuah sungai sudetan terbentang di desa ini. Pada kurun 10 (sepuluh) tahun terakhir terjadi perubahan tata ruang desa, salah satunya adalah pembangunan tol ruas Mojokerto-Kertosono.

Ruas tol ini membelah desa menjadi dua: sebelah utara adalah pusat desa dan beberapa dusun, dan Dusun Beluk Lor, tempat saya berkunjung, terletak di selatan tol. Untuk menghubungkan dua wilayah yang terbelah itu dibangun sebuah jembatan penghubung.

Pengeboran Lapindo yang ditolak itu sedianya berlokasi di Beluk Lor. Letaknya tak jauh dari jalan tol dan jembatan penyeberangan penghubung desa, juga makam umum serta pemukiman warga. Saat ini lokasi tersebut masih berupa hamparan sawah. Spanduk protes penolakan terpasang di Dusun Beluk Lor.

Saat awal rencana pembangunan tol, warga setempat pernah melakukan protes. Protes pertama terkait rumah warga yang tergusur. Mereka mempertanyakan mengapa harus rumah dan sawah mereka yang terkena sasaran pembebasan lahan. Akan tetapi, protes ini padam ketika pihak pembangun menawarkan kompensasi dengan harga di atas harga tanah yang berlaku di lokasi itu. Selain itu, juga beredarnya isu kalau warga masih protes berarti mereka melawan proyek negara. Mekanisme kompensasi dan ancaman itu pada akhirnya meredam protes warga.

Lalu muncul gelombang protes kedua. Warga tidak terima dengan pembangunan jembatan penghubung yang tinggi. Ketinggian jembatan, kata mereka, menghambat transportasi warga. Warga yang mengangkut hasil panen dari utara tol dengan sepeda akan sulit mendistribusikannya ke wilayah selatan tol. Demikian pula sebaliknya.

Protes kedua ini diselesaikan dengan pembuatan terowongan di bawah jembatan penghubung. Terowongan ini memberikan akses yang lebih mudah, namun berisiko tinggi, karena harus menyeberangi tol secara langsung.

Menurut Yusuf, protes warga juga dilakukan warga dari wilayah lain di Jombang yang dilintasi oleh tol. Pola penyelesaian pun serupa. Karena banyaknya protes, proyek tol Mojokerto-Kertosono sempat mangkrak hingga 4 tahun. Kata Yusuf, beberapa protes warga itu sempat dibawa ke meja pengadilan.

Tak jauh dari Desa Blimbing, yaitu di Desa Jombok, Kecamatan Sumobito, berdiri pabrik Kimia Farma (PT. Kimia Farma Plant Watudakon Jombang) yang memproduksi garam farmasi. Kimia Farma membangun pabrik dan beroperasi sejak 2017 lalu. Di wilayah kecamatan Sumobito dan Kesamben memang terdapat potensi tambang yodium.

Mengenai BUMN ini, tidak ada cerita tentang protes warga. Obrolan kami juga tak menyinggung tentang keterserapan tenaga kerja dari dua wilayah tersebut sebagai karyawan pabrik Kimia Farma.

Sayang saya tak sempat mengunjungi langsung ke titik lokasi pengeboran Lapindo dan penambangan yodium Kimia Farma. Selain karena hari sudah gelap, juga karena hujan deras. Saya melanjutkan obrolan warung kopi bersama dua warga itu.

Lapindo dan Sejarah Ketertutupan

Pada Januari 2018, ada 15 orang laki-laki dewasa yang diajak Lapindo untuk melihat kondisi titik pengeborannya di Sidoarjo. Mereka juga diajak melihat langsung semburan lumpur. Sesi perjalanan berakhir dengan meninjau perumahan KNV. Sebenarnya warga tak benar-benar paham tentang tujuan dari studi banding itu. Yang jelas, gagasan ini muncul setelah ada rapat desa sebelumnya. Sejumlah 15 orang itu dipilih sebagai perwakilan dari tiap RT.

Yusuf bercerita dalam kunjungan itu Lapindo bercerita tentang proyeknya di Sidoarjo sudah aman dan KNV adalah kisah sukses para korban. Namun kebutuhan penyediaan migas terus meningkat dan Lapindo membutuhkan lokasi pengeboran baru. Solusi bagi kebutuhan itu dijatuhkan pada blok Gunting yang membentang di wilayah Jombang, sebagian Mojokerto, dan sebagian Nganjuk. Blok Brantas sudah tidak mencukupi lagi, kata Yusuf.

Pada titik ini, warga mulai curiga tentang rencana pengeboran di desa mereka. Sedangkan informasi tentang kedatangan rencana itu tidak pernah transparan dari pihak desa. Setelah studi banding itu, Yusuf dan tetangganya malah takut jika desanya tenggelam seperti yang mereka lihat dari atas tanggul.

Bibit-bibit konflik mulai muncul. Dalam sebuah rapat desa, perwakilan 15 orang dituduh sudah dibayar Lapindo agar tidak melakukan protes. Yusuf dan beberapa kawannya berang. Dia justru menantang balik peserta rapat yang melayangkan protes. Sebaliknya, Yusuf menuduh balik bahwa pihak pemerintah desalah yang tunduk pada Lapindo. Pada akhirnya dia justru ingin membuktikan keberpihakannya dengan cara membuat poster protes dan membentangkannya di pinggir jalan. Suasana desa semakin panas.

Mendengar protes warga atas rencana pengeboran, Komisi C DPRD Kabupaten Jombang memfasilitasi pertemuan antara perwakilan Lapindo dengan warga Desa Blimbing pada 5 April 2018. Audiensi itu dihadiri antara lain perwakilan warga Desa Blimbing, aparat Desa Blimbing, Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Kesamben, dan pihak Lapindo. Acara ini termuat dalam berita Jatim Times (6 April 2018) “Warga Permasalahkan Pembebasan Lahan Pengeboran Gas oleh PT Lapindo Brantas.

Dalam pertemuan itu, Yusuf justru menyampaikan protes secara terbuka kepada pihak Lapindo, pemerintah desa, dan kecamatan. Yusuf merasa tidak pernah ada sosialisasi tentang rencana pengeboran yang berlokasi di belakang rumahnya. Akan tetapi, Lapindo sudah membayar uang muka pada pemilik lahan. Dia merasa bahwa acara studi banding ke Sidoarjo adalah upaya Lapindo mengelabui warga yang seolah-olah telah menyetujui berdirinya lokasi pengeboran. Pihak Muspika dan pemerintah desa tak pernah memberikan sosialisasi apapun kepada warga.

Antara Januari dan April 2018 terjadi proses pembayaran uang muka untuk lahan seluas 2 ha pada pemiliknya. Sayangnya, saya belum mendapat informasi tentang identitas pemilik lahan dan harga yang disepakati. Dalam audiensi itu, Lapindo beralasan bahwa sosialisasi belum dilakukan karena belum ada kegiatan yang bersifat fisik. Yang terjadi hanyalah proses jual-beli dan itu sifatnya pribadi. Namun demikian, warga tidak memahami apa yang dimaksud dengan aktivitas fisik.

Jika ditelusuri pada berita Radar Jombang (4 April 2018) “Tahap Eksplorasi” dapat diketahui bahwa Lapindo saat ini sedang berada pada tahap eksplorasi. Dalam berita itu juga dijelaskan bahwa Lapindo telah menyerahkan kelengkapan dokumen UKL, UPL dan izin lingkungan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jombang.

Sebelum pertemuan itu berlangsung, protes terbuka disampaikan warga pada anggota Komisi C DPRD Kabupaten Jombang yang melakukan sidak ke lokasi pengeboran. Yusuf bercerita bahwa sesungguhnya yang terjadi bukanlah sidak. DPRD datang bersama perwakilan Lapindo dan Lapindo mengarahkan mereka untuk meninjau lokasi pengeboran yang agak jauh dari pemukiman.

Mengetahui kegiatan itu, Yusuf dan beberapa warga mendatangi rombongan tersebut. Mereka menunjukkan lokasi rencana pengeboran yang terletak di belakang rumahnya. Suasana sempat panas. Adu mulut antara warga dengan pihak keamanan tak terhindarkan. Akhirnya, Masud Zuremi, seorang anggota Komisi C yang juga ketua DPC PKB Jombang, menuruti kemauan Yusuf.

Perangai Pejabat Pemerintah

Setelah “sidak” itu, warga digiring dalam suatu audiensi (5 April). Di akhir audiensi, pernyataan Zuremi dan perwakilan kecamatan malah melemahkan protes warga. Kata Yusuf, Zuremi dan perwakilan kecamatan selalu mengulang-ulang pernyataan bahwa rencana pengeboran Lapindo ini merupakan bagian dari proyek nasional dan jika mereka tidak setuju sama artinya dengan melawan pemerintah. Pernyataan itu menjepit Yusuf dan kawan-kawannya.

Dalam sebuah berita daring berjudul “Pengeboran Sumur Gas Lapindo di Jombang Proyek Nasional ‘Akal-akalan’.” pernyataan mengenai proyek nasional juga diungkapkan Pjs Bupati Jombang dan Kepala Desa Blimbing. Penyataannya juga mengungkap kalau acara audiesi itu termasuk sebagai sosialisasi, meski Yusuf membantahnya.

Dalam berita tersebut, kita dapat melihat posisi Kepala Desa Blimbing dalam situasi ini. Dia menjanjikan tentang akan adanya sosialisasi pada warga di sekitar lokasi pengeboran karena permintaan Lapindo. Dia juga meminta komitmen Lapindo untuk memberikan dana kompensasi kepada warga akibat aktivitas pengeborannya. Seolah-olah kepala desa sedang memberikan solusi jalan tengah dengan meminta penggantian kerugian warga dengan kompensasi ekonomi.

Catatan Akhir

Kunjungan lapang singkat itu meninggalkan beberapa catatan penting bagi kita.

Pertama, perubahan sosial dan ekologis di Blimbing memiliki sejarah panjang. Jauh sebelum dibangunnya tol dan datangnya Kimia Farma, masyarakat Blimbing telah berubah. Generasi muda tidak lagi mengandalkan sektor agraris. Dalam kesempatan ngobrol dengan Yusuf dan temannya, saya mendapatkan informasi bahwa mereka bukanlah orang yang bekerja di sawah. Hanya orang-orang tua saja yang masih bersedia menggarap lahan. Anak-anak muda sekarang lebih memilih bekerja di kota, menjadi kuli bangunan, pedagang, buruh pabrik, dan sektor informal lainnya.

Meski saya tidak memegang angka pasti dari data sekunder, Yusuf selalu mengulang-ulang cerita tentang anak-anak muda yang bekerja keluar desa. Inilah proses perubahan sosial-budaya “menjadi urban.”

Proses inilah yang dimaksud Marx sebagai ecological rift (keretakan ekologis), yaitu suatu kondisi ketika masyarakat sudah tidak bergantung lagi dengan lahan dan manusia terasing dengan lahan yang selama ini menghidupinya. Ecological rift adalah pintu masuk bagi sektor non-agraris ke wilayah Blimbing yang disertai dengan alih fungsi lahan (dari pertanian menjadi non-pertanian). Ini menjelaskan bagaimana pabrik Kimia Farma dan pembebasan lahan untuk jalan tol dapat masuk dan sekarang penetrasi Lapindo melalui pembelian tanah seluas 2 ha.

Kedua, ketertutupan (atau bahkan pembohongan) informasi publik yang dilakukan Lapindo pada warga terulang kembali. Sampai laporan ini ditulis, belum pernah ada sosialisasi dari Lapindo terkait rencananya di Blimbing. Bahkan ada upaya pembohongan publik dengan mengajak perwakilan warga ke Sidoarjo dan diklaim sebagai sosialisasi pada warga.

Ketertutupan/kebohongan informasi juga terlihat dari posisi pejabat pemerintah yang tak pernah terbuka tentang kedatangan Lapindo ke Jombang. Ketertutupan/pembohongan informasi publik semacam ini mengulang proses serupa yang dilakukan Lapindo di Desa Renokenongo, Porong untuk mendapatkan lokasi pengeboran Sumur Banjarpanji 1 yang berujung tragis.

Warga Blimbing merasa dibohongi dan protespun dilancarkan. Warga merasa cemas hal serupa di Porong, Sidoarjo terjadi akibat kecerobohan aktivitas pengeboran. Jauh sebelum itu, wargapun tak pernah mengetahui potensi tambang di tempat tinggalnya.

Melihat Perda RTRW Kab Jombang (No. 21/2009) pasal 13 (8), menyebutkan bahwa: “Rencana pengembangan kegiatan sektor pertambangan yang diarahkan untuk ekploitasi potensi tambang migas terutama yang ada di Blok Gunting.” Pasal 67 (4e) mengatur bahwa:

“Pada kawasan yang teridentifikasi mengandung bahan tambang minyak dan gas bumi  yang  bernilai ekonomi tinggi, sementara pada bagian atas kawasan penambangan adalah kawasan lindung atau kawasan budidaya sawah yang tidak boleh dialihfungsikan, atau kawasan permukiman, maka eksplorasi dan/atau eksploitasi tambang harus disertai AMDAL dan operasi kelayakan secara lingkungan, sosial, fisik dan ekonomi dalam jangka panjang dan skala luas”.

Pada berita Radar Jombang yang dikutip di atas, proses eksplorasi cukup menggunakan dokumen UKL, UPL, dan Ijin Lingkungan, tanpa AMDAL.

Ketiga, sejauh ini terjadi proses pelemahan protes warga justru dilakukan oleh pihak pemerintah. Warga diancam dengan pernyataan pengeboran Lapindo adalah bagian dari proyek nasional. Pernyataan itu membuat warga berhitung dengan kekuatan mereka. Warga belajar dari protesnya atas pembangunan jalan tol yang melelahkan. Hal ini membuat protes warga melemah.

Yusuf sempat bercerita bahwa salah satu warga yang diberi mandat memimpin protes jalan tol malah tak berkutik sama sekali karena takut menghadapi aparat. Dia jugalah yang mengambil alih peran tersebut. Gejala yang sama saya tangkap pada protes warga pada Lapindo. Dalam pemahaman mereka, menghalangi proyek nasional sama halnya melawan pemerintah.

Solusi pemerintah yang ditawarkan justru tidak menjernihkan masalah. Kesempatan sosialisasi menjadi ajang bagi pemerintah untuk membalik pernyataan warga dan melemahkan perjuangan mereka. Jika warga merasa dirugikan, maka mekanisme kompensasi ekonomis adalah resep manjutnya. Seolah-olah pengeboran Lapindo dapat diselesaikan dengan memberi kompensasi pada warga terdampak.

Seperti kasus di Porong, ada potensi bahwa warga akan digiring masuk ke dalam jebakan kompensasi ekonomis transaksional. Padahal, berkaca pada kasus lumpur Lapindo sistem kompensasi ekonomis justru memicu masalah sosial baru. Pada saat yang bersamaan, dampak ekologis seperti kerusakan lingkungan dan dampak kesehatan tidak pernah menjadi bahan pembicaraan dalam agenda pemulihan akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Di akhir obrolan, saya pun mengajak kedua narasumber saya berefleksi. Cak, lha masio proyek nasional, tapi lek ngancam kesehatane warga, ngancam sumber banyu, opo yo warga gelem?” (Cak, meski proyek nasional, tapi kalau mengancam kesehatan warga, juga mengancam sumber air warga, apa warga mau?”). Mereka hanya diam dengan pertanyaan itu. (*)

Editor: Anton Novenanto

Translate »