Dana Talangan bukan Pintu Keluar dari Jebakan Lumpur (Lapindo)!


Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] bersama dengan Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] dan masyarakat sipil lainnya menilai bahwa kebijakan pemerintah untuk mengucurkan dana talangan senilai Rp 781 miliar kepada pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), guna pelunasan dan pembayaran ganti rugi lahan serta bangunan akibat semburan lumpur Lapindo, dengan jangka waktu 4 tahun dengan jaminan aset tanah korban yang sudah diganti rugi oleh pihak perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun, tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lumpur Lapindo itu sendiri.

Pada tanggal 29 Mei 2007, setahun setelah bencana semburan lumpur Lapindo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga telah mengeluarkan hasil pemeriksaan terkait Penanganan Atas Bencana Lumpur Lapindo. Dimana berdasarkan temuan hasil pemeriksan tersebut ditemukan sejumlah pelanggaran tekait perijinan dan pengawasan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, pelaksanaan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, hingga ketiadaan pengawasan eksplorasi migas oleh Pemerintah (BP Migas dan Departemen ESDM), yang mengindikasikan terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.

Fakta lain yang kami temukan juga menunjukan bahwa kebijakan pemerintah melalui dana talangan tersebut juga akan membawa beberapa permasalahan mendasar lainnya, mulai dari potensi berlawanan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, hingga mengabaikan aspek perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia bagi korban lumpur Lapindo itu sendiri. Beberapa permasalahan tersebut, antara lain:

  • Memiliki potensi berlawanan dengan konstitusi. Sebagaimana yang diatur melalui pasal 33 ayat (4) UUD 1945, konstitusi Indonesia menekankan konsepsi demokrasi ekonomi, yang oleh karnanya kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, serta harus dihindari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, kelompok atau perusahaan. Dalam hal ini, dengan pemeberian dana talangan untuk PT MLJ, patut dicurigai bahwa hanya akan menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial, Grup Bakrie, sehingga terjadi penumpukan aset dan pemusatan ekonomi, serta tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
  • Transaksi jual-beli yang batal demi hukum. Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960 tersebut, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali sementara status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).
  • Pinjaman dengan jaminan aset tanah negara. MLJ sendiri hanya bisa memiliki hak tanah dalam bentuk: Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang diatur berdasarkan undang-undang, serta memiliki jangka waktu yang terbatas, dan akan kembali menjadi tanah negara setelah batas waktu tersebut habis. Maka patut dipertanyakan bagaimana mungkin negara akan memberikan dana talangan kepada PT. MLJ dengan jaminan aset yang statusnya sudah pasti akan berubah menjadi ‘tanah negara’ dikemudian hari.
  • Ketidakjelasan mekanisme pemberian dana talangan kepada PT MLJ. Apabila merujuk pada UU No. 37/2004 dan UU No. 17/2003, PT. MLJ seharusnya berstatus pailit terlebih dahulu sebelum mendapat kucuran pinjaman atau dana talangan dari pemerintah yang dapat digunakan guna melakukan pelunasan pembayaran ganti rugi tanah yang terendam lumpur akibat aktivitas penambangan, yang juga mengingatkan bahwa jika kebijakan itu tak diberlakukan akan menjadi preseden kekacauan sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia.
  • Hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Sementara di sisi lain, masih ada kelompok korban yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Hal ini mengingat pihak PT MLJ, akibat ketidakmampuannya untuk menepati jangka waktu ganti rugi sebagaimana yang diperintahkan oleh Perpres 14/2007, kemudian menawarkan berbagai model penyelesaian proses ganti rugi, yang dalam kenyataannya juga tidak kunjung dituntaskan hingga hari ini.
  • Pengabaian praktik pelanggaran HAM. Dalam laporan penyelidikannya Komnas HAM, pada 25 Oktober 2012, menyebutkan bahwa adanya praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas. Dimana sekurang-kurangnya 15 (lima belas) pelanggaran HAM yang terjadi akibat semburan lumpur Lapindo: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (penyandang cacat, orang berusia lanjut, anak dan perempuan).
  • Mengabaikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UU No. 32/2009, PT MLJ seharusnya diwajibkan untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan semburan lumpur Lapindo, berdasarkan konsep tanggung jawab mutlak (strict liability), akibat pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan usahanya (polluter pay principles), yang mengakibatkan kerugian bagi warga, secara mutlak, dan tanpa perlu ada pembuktian terhadap unsur kesalahan yang dilakukan oleh PT MLJ tersebut.

Sudah seharusnya pemerintah menafsirkan upaya penyelesaian dampak dari semburan lumpur Lapindo secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai aspek permasalahan yang ada, agar tidak terjebak lebih jauh dalam semburan lumpur Lapindo itu sendiri. Terlebih, tidak ada upaya penegakkan hukum bagi PT MLJ sebagai pihak yang semestinya bertanggung jawab atas semburan lumpur Lapindo hingga hari ini juga semakin mempersulit posisi korban untuk menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang terjadi terhadap mereka.

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

Pertama, Polri untuk menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya guna melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM dan BPK serta membuka perkara pidana yang telah di-SP3 oleh Polda Jatim.

Kedua, BPK segera melakukan koordinasi kepada kementerian terkait, utamanya Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non-procedural pengeboran di Sidoarjo yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian, serta memastikan upaya tindak lanjut dari laporan BPK pada tahun 2007.

Ketiga, BPN beserta Kementerian Agraria untuk memastikan status hukum yang timbul akibat kegiatan jual-beli lahan antara korban luapan lumpur Lapindo, serta memberikan masukan kepada Pemerintah terkait penyelesaian permasalah dana talangan dan upaya ganti rugi lahan dan bangunan akibat semburan lumpur Lapindo.

Keempat, Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa penggunaan uang negara, melalui rencana pemberian dana talangan, kemudian tidak bertentangan dengan Konstitusi Indonesia, serta memastikan status hukum PT MLJ sebelum menerima dana bantuan dalam bentuk talangan dan kebijakan penundaan kewajiban pembayara utang, dan meberikan masukan kepada pemerintah terkait penyelesaian permasalahan dana talangan.

Kelima, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, dan sejumlah kementerian terkait untuk menagih kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo, guna mencegah potensi kerugian negara akibat peristiwa tersebut.

Keenam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan audit lingkungan hidup atas peristiwa semburan Lapindo di Sidoarjo yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta memastikan pertanggungjawaban PT MLJ atas kerugian yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut berdasarkan prinsip polluter pay principles dan konsep strict liability.

Ketujuh, Komnas HAM untuk memastikan dan menjamin tersedianya akses terhadap upaya pemulihan yang efektif bagi korban perlanggaran HAM akibat semburan lumpur Lapindo, serta mendorong pemeritah dan instansi-instansi terkait untuk menindak-lanjuti laporan Komnas HAM atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi akibat terjadinya semburan lumpur Lapindo.

Kedelapan, Ombudsman RI untuk melakukan penyelidikan terkait temuan adanya dugaan praktik mal-administrasi yang terjadi dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo, sebagaimana yang disebutkan laporan BPK pada 29 Mei 2007 lalu.

Kesembilan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Polri untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No. 26/2007 dan RTRW Sidoarjo 2003-2013.

Kesepuluh, Menkoinfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.

Jakarta, 24 Juni 2015

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

http://www.jatam.org/dana-talangan-bukan-pintu-keluar-dari-jebakan-lumpur-lapindo/


Translate »