Lapindo Berkelit, Korban Kian Terjepit


Hanya tersisa satu pilihan bagi warga bangsa yang masih punya hati nurani dan kepedulian akan masa depan negeri ini, serta mereka yang selama ini menyatakan peduli akan nasib korban Lapindo. Beramai-ramai datang ke pasar baru Porong, untuk meyakinkan korban bahwa mereka tidak sendirian, mensinergikan gerakan dengan korban Lapindo serta segera membantu stamina dan penghidupan korban yang kini benar-benar diabaikan pemerintah dan Lapindo.

“Bencana lumpur Lapindo sudah selesai.” Begitulah yang akan segera dikabarkan dan dikampanyekan oleh Lapindo dan Bakrie Group begitu pengungsi korban Lapindo yang masih bertahan di Pasar baru Porong benar-benar menyerah. Sebab saat ini satu-satunya yang tersisa untuk membuktikan bahwa bencana ini jauh dari selesai dan korban masih belum tertangani dengan baik adalah keberadaan pengungsi di Pasar baru Porong.

Kami memandang bahwa selama ini, segala macam upaya dilakukan oleh Lapindo untuk mengopinikan bahwa: (1) bencana Lapindo adalah fenomena alam yang dipicu oleh kejadian alam pula; (2) meskipun tidak ada status hukum apapun yang menyatakan bahwa mereka bersalah, Lapindo tetap berbaik hati dan peduli dengan penanganan dampak sekaligus nasib korban.

Untuk mewujudkan opini diatas, kami menganggap bahwa mereka melakukan berbagai upaya. Untuk yang pertama, Lapindo ‘menyewa’ ahli-ahli geologi yang, dengan menyisihkan segala kaidah keilmuan, melainkan oleh gempa bumi di Yogya. Padahal jauh lebih banyak ahli yang lebih otoritatif dan lebih berpengalaman dan diakui yang menyatakan bahwa semburan ini diakibatkan oleh kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.

Pendapat ini kemudian gencar dipakai Lapindo untuk membangun opini publik, mulai dari forum diskusi yang diselenggarakan pemerintah, sidang pengadilan, bahkan sampai dengar pendapat dengan DPR (secara sepihak tanpa menyertakan ahli yang berpendapat berbeda). Hasilnya mudah diduga, sikap pemerintah (eksekutif), keputusan pengadilan (yudisial) dan posisi DPR (legislatif), seolah di-orkestra-i seirama menganggap bahwa Lapindo tidak bersalah dalam bencana lumpur panas ini.

Seolah itu belum cukup, Minarak Lapindo Jaya (perusahaan yang didirikan April 2007 oleh Bakrie Group untuk menangani masalah Lapindo) kemudian membayar iklan di berbagai media cetak nasional untuk mendukung opini tersebut. Selain menyatakan bahwa semburan lumpur ini disebabkan oleh bencana alam, iklan tersebut juga mempertegas poin kedua berikut.

Bahwa meskipun tidak menyebabkan semburan lumpur, Lapindo ternyata masih bertanggungjawab menangani dampak bencana ini, dan manangani nasib korban lapindo. Hal ini mereka buktikan dengan menyediakan berbagai kebutuhan pengungsi, yang mestinya merupakan kewajiban pemerintah. Padahal penyediaan fasilitas mulai dari makanan, fasilitas kesehatan, air bersih, pendidikan bagi anak2 dan sebagainya tersebut hanya pada beberapa bulan awal .

Setelah beberapa waktu, fasilitas-fasilitas tersebut di hentikan oleh Lapindo, meskipun dalam berbagai kesempatan, mereka selalu menyebutkan seolah fasilitas-fasilitas tersebut masih disediakan. Terakhir, satu-satunya fasilitas pengungsi yang disediakan oleh Lapindo adalah jatah makan, setelah air bersih dihentikan sejak November 2007. Akibatnya pengungsi harus mencari sendiri segala kebutuhan dasar tersebut. Hingga awal bulan ini, Lapindo membuat surat kepada pemerintah bahwa mereka akan menghentikan jatah makan bagi pengungsi sejak tanggal 1 mei 2008.

Poin berikut untuk mendukung opini kedua ini adalah bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi kepada korban, dan korban sudah menerima skema yang ditetapkan di dalam Perpres 14/2007. Skema yang dimaksud adalah bahwa untuk menangani dampak sosial bencana lumpur panas ini, Lapindo harus membeli tanah dan bangunan milik korban. Kerugian warga direduksi menjadi hanya sekedar kehilangan asset, sedangkan kerugian lain sama sekali tidak dipertimbangkan.

Sistem pembayarannya adalah, pertama warga melengkapi surat2 bukti kepemilikan tanah dan bangunan. Padahal banyak dari korban tidak memegang bukti ini, baik karena memang tidak ada karena selama ini di desa bukti kepemilikan dianggap tidak terlalu penting atau tidak sempat diselamatkan karena sibuk menyelematkan diri sewaktu lumpur menenggelamkan desa mereka.

Setelah bukti lengkap, warga akan menyerahkan ke Lapindo, sambil menerima uang kontrak untuk 2 tahun. Dengan menerima uang kontrak ini, warga sudah melepas status sebagai pengungsi dan tidak diurusi lagi oleh Lapindo. Sebuah jebakan yang membuat korban terlucuti posisi tawarnya, karena pada dasarnya warga bukan lagi korban, tetapi mitra jual beli Lapindo.

Setelah berkas diverifikasi, korban menanda tangani Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang intinya menyerahkan kepemilikan tanah dan menerima pembayaran 20 persen. Sedangkan sisa pembayaran 80 persen dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sebelum dua tahun masa kontrak habis. Poin selambat-lambatnya ini kemudian diterjemahkan secara sepihak oleh Lapindo (dan didiamkan oleh si pembuat Perpres) bahwa mereka akan mulai melunasi pembayara 21 bulan kemudian. Artinya, selambat-lambatnya dipelintir oleh Lapindo menjadi secepat-cepatnya.

Jadi terang bahwa pengopinian bahwa Lapindo membayar ganti rugi kepada korban merupakan upaya yang sistematis untuk menyesatkan persepsi publik, sebab yang terjadi bukan ganti rugi, tetapi jual beli (untuk jelasnya, lihat blog www.korbanlapindo.blogpot.com atau www.korbanlapindo.net). Sebuah jual beli yang secara hukum sangat aneh, manipulatif dan tidak memberi kepastian hukum akan nasib dan masa depan korban.

Aneh sebab, dalam skema pembelian apapun, bukti kepemilikan diserahkan setelah pembeli melunasi harga transaksi. Manipulatif karena, tidak ada posisi yang seimbang dalam transaksi karena warga terpojokkan dahulu dalam situasi dimana mereka seolah harus mengambil pilihan ambil atau tidak dapat apa-apa. Tidak memberi kepastian hukum karena adanya pasal karet mengenai ketentuan pelunasan pembayaran yang membuat lapindo bisa berkelit dari kewajiban membayar tanpa sanksi apapun.

Pasal yang tercantum di dalam PIJB antara Lapindo dan Korban tersebut pada dasarnya menyebutkan bulan kapan Lapindo harus melunasi pembayaran (yaitu 21 bulan dari ditandatanginanya PIJB seperti disebutkan diatas). Dari bulan yang disebutkan, Lapindo diberi waktu 1 bulan untuk melunasi pembayaran. Jika dalam masa 1 bulan tenggang tersebut Lapindo tetap belum melunasi, maka korban boleh mengambil kembali bukti kepemilikan asset mereka.

Tidak ada penjelasan lanjutan setelah itu, kecuali bahwa Lapindo masih tetap akan bertanggungjawab melunasi pembayaran. Tidak jelas apa konsekuensi setelah warga menarik berkas mereka. Tidak jelas kapan dan bagaimana Lapindo akan melunasi sisa pembayaran. Tidak ada mekanisme dis-insentif (kecuali kalau sumpahnya Cak Nun dianggap sebagai mekanisme dis-insentif), misalnya dalam bentuk denda setiap bulan penundaan, sehingga akan mendorong Lapindo untuk membayar. Intinya tidak jelas apakah Lapindo akan membayar sisa pembayaran.

Poin ketidakjelasan penyelesaian pembayaran itulah yang kemudian yang semakin menguatkan kami untuk tetap bertahan di pengungsian. Bertahan hidup dalam situasi yang sangat mengenaskan, diintimidasi, ditakut-takuti dan diancam, bahkan oleh pemerintah kami sendiri. Karena skema yang ditetapkan pemerintah tersebut tidak hanya tidak adil (apalagi kata Wapres menguntungkan), namun malah membuat masa depan kami, korban yang sudah sengsara ini, akan semakin terpuruk.

Kedua poin tersebut secara sistematis diopinikan oleh Lapindo dan diterima oleh sebagian besar publik. Akibatnya tidak ada lembaga atau orang yang berbondong-bondong membantu pengungsi korban Lapindo, seperti halnya korban bencana yang lain, sebab seolah-olah Lapindo sudah menangani korban. Beberapa NGO asing yang kami mintai bantuan bahkan menyatakan bahwa justru pemerintah yang menolak tawaran mereka untuk membantu korban. Pemerintah dimana Koordinator kementriannya yang seharusnya bertanggungjawab menangani korban, dijabat oleh orang yang sama dengan pemilik grup usaha yang menyebabkan bencana ini.

Ketidakjelasan nasib korban

Tawaran tersebut dengan sangat terpaksa kemudian diterima oleh sebagian besar korban. Mereka tidak lagi punya energi untuk bertahan setelah berbulan-bulan menunggu kejelasan nasib dan status mereka. Situasi yang disebabkan oleh ketidak jelasan negara tentang bagaimana kejelasan hukum status bencana ini dan bagaimana kejelasan nasib dan segala hak sosial ekonomi dan budaya dari korban yang telah terenggut dengan paksa begitu saja.

Dari saat awal kejadian semburan lumpur panas di Desa Renokenongo pada tanggal 29 Mei 2006, korban sudah disuguhi ketidaktegasan ini. Pada hari-hari pertama, tidak jelas apa yang menyebabkan semburan lumpur panas ini. Yang diketahui oleh warga dan diberitakan di media adalah semburan ini terjadi di areal pemboran gas Lapindo, kegiatan eksplorasi yang sebagian besar warga yang tinggal di dekat situ tidak mengetahuinya.

Kemudian, dari berbagai keterangan muncullah pemberitaan di media massa bahwa memang operasi Lapindo-lah penyebab semburan ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh proses penyidikan yang mulai dilakukan oleh Polda Jatim, yang menemukan adanya indikasi kesalahan prosedur yaitu tidak dipasangnya chasing di sumur Banjar Panji 1. Kesimpulan tim investigasi yang dibentuk oleh pemerintah dan pendapat sejumlah anggota DPR yang datang ke lokasi juga menyimpulkan hal yang sama.

Tanpa kejelasan status hukum, opini publik saat itu terbangun dengan sangat kuat bahwa memang Lapindo yang menyebabkan bencana ini, dan Lapindo tidak menolak. Kemudian muncul keterangan dan pernyataan dari pejabat pemerintah, mulai pusat sampai daerah, yang mengunjungi lokasi, bahwa Lapindo harus bertanggungjawab atas berbagai dampak yang diakibatkan oleh semburan lumpur ini.

Bahkan pada bulan Juni 2006, Wapres didepan korban dan Nirwan Bakrie (yang datang bersama wapres mewakili Grup Bakrie) menegaskan bahwa Bakrie tidak hanya akan memberi ganti rugi kepada korban, namun ganti untung. Pernyataan (yang oleh korban dengan segala baik sangka kepada pemimpin negara diterjemahkan sebagai perintah) yang juga dibenarkan oleh Nirwan Bakrie.

Senada dengan Wapres, Presiden setelah menerima laporan tim investigasi semburan lumpur, juga menyatakan hal yang sama, kali ini didepan menko kesra dan pemilik Grup Bakrie (yang entah kenapa, paling tidak sebagai bentuk tanggungjawabnya selaku menko kesra, tidak pernah datang ke lokasi bencana, dan tidak mendapat teguran akan hal ini)

Maka lengkaplah sudah, persepsi publik maupun keyakinan korban bahwa Lapindo-lah yang menyebabkan bencan ini, dan Lapindo akan bertanggungjawab. Bagi korban, meskipun tanpa perlu status hukum, ketika semua sudah menyatakan hal itu, maka nasibnya akan segera jelas. Penghidupannya yang porak poranda segera akan bisa ditata lagi sehingga bisa segera hidup dengan normal.

Tetapi kemudian waktu berjalan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun beranjak menjadi tahun. Tetapi tidak ada kejelasan tentang bagaimana penyelesaian nasib korban. Segala proses perundingan dengan Lapindo dan pemerintah tidak membuahkan hasil. Kesepakatan ditanda tangani, namun ketika isi kesepakatan ini tidak terpenuhi, tidak ada penjelasan apapun.

Hal yang sama juga terjadi dengan sikap dan keterangan pemerintah, termasuk pemerintah pusat. Ketika Wapres dan Presiden beberapa kali meminta atau memerintahkan sesuatu, ketika itu tidak dilakukan, atau tenggat waktunya terlewati dan permintaan atau perintah tadi tidak terlaksana, tidak ada penjelasan kenapa itu tidak terlaksana baik dari si pemberi maupun penerima perintah. Tidak ada permintaan ma’af atau pejabat yang dimarahi ketika perintah presiden/wapres tidak terlaksana.

Pada saat yang sama, suasana yang dihadapi warga semakin sulit. Uang simpanan sudah mulai habis karena selama terjadinya bencana ini sebagian besar dari kami yang sawah dan pabriknya tenggelam tidak lagi bisa bekerja. Sedangkan kebutuhan hidup, belanja sehari-hari, biaya anak sekolah, cicilan motor dan sebagainya, tidak bisa lagi ditunda.

Kondisi hidup di pengungsian yang serba terbatas juga membuat kami lebih menderita. Anak-anak kami tidak bisa belajar dan bermain dengan tenang. Suasana hidup berkeluarga tidak lagi bisa kami jalankan dengan nyaman, karena harus hidup di pengungsian yang berjubel beberapa keluarga dalam los di pasar yang hanya berpenyekat kain lusuh. Bagaimana kami bisa berhubungan tenang dengan suami/istri dalam kondisi semacam ini.

Sementara skema yang ditawarkan oleh pemerintah juga tidak kunjung jelas. Berbagai jenis wacana datang dan pergi tanpa penjelasan. Relokasi, ganti rugi, cash and carry, dan berbagai macam. Semuanya hanya sebatas di perundingan, sebatas wacana di media. Tidak ada ketegasan dari pemerintah, dan Lapindo selalu mengulur-ulur tawaran. Ketika presiden

Seolah-olah begini. Ada orang yang kelaparan, dan dia datang minta sepiring nasi. Kemudian dijawab, oke saya beri makan. Tetapi belum sempat makanan itu diberikan, muncul pendapat lain. Jangan diberi makan, diberi kail saja, biar bisa mencari ikan. Tidak jelas jadi atau tidak diberi ikan, ada yang usul lagi. Diberi cangkul saja, biar bisa menanam padi. Begitu seterusnya, padahal si orang yang kelaparan ini tetap saja kelaparan, dan tidak diberi apa-apa.

Sampai kemudian ketika sudah hari ke lima, dan si orang yang kelaparan tadi sudah hamper mati, baru diputuskan, ya sudah, diberi makan saja. Maka permintaan si orang yang kelaparan tadi pun dipenuhi. Padahal, agar orang tersebut bisa selamat, apa yang diperlukan sebenarnya setelah hari kelima bukan lagi makanan, tetapi infus. Karena setelah 10 hari tidak makan apa-apa, ketika diberi makan sepiring nasi, seperti yang awalnya diminta, maka dia akan meninggal.

Kira-kira seperti itu yang terjadi dengan korban Lapindo. Ketidak jelasan penanganan ini membuat kami tidak lagi percaya dengan pemerintah kami sendiri. Bukan karena sebab lain, tetapi karena ketidak konsistenan yang mereka tunjukkan sendiri. Dan kami samakin merasa nasib kami semakin tidak jelas. Sampai kemudian kami diajari oleh situasi, agar permintaan kita didengar dan dipenuhi, ya diminta dengan paksa.

Kami pun harus berdemontrasi untuk menuntut hak kami. DI lokasi, di kabupaten, di provinsi bahkan ke istana Negara. Pemerintah tidak bisa ditemui atau disurati baik-baik, harus didatangi ramai-ramai agar aspirasi kami diterima. Sekali lagi, kesimpulan ini kami dapat karena sikap pemerintah sendiri, yang tidak jelas dan mengambangkan nasib kami, sedangkan disisi lain mereka tidak bisa menekan Lapindo, seperti yang ditegaskan pemerintah sendiri di awal, agar bertanggungjawab dan menangani nasib korban.

Maka setelah hampir 1 tahun, setelah berbagai upaya demontrasi, setelah terjadi berbagai konflik antara korban sendiri dan kondisi yang tidak tertahankan lagi di pengungsian, baru pemerintah memberi kepastian hukum kepada kami. Keluarlah kemudian Peraturan Presiden No.14/2007, yang awalnya kami harapkan akan memberi penyelesaian yang adil bagi nasib kami kedepan. Tetapi seperti dijelaskan di depan, perpres ini ternyata berisi berbagai kejanggalan dan membawa berbagai masalah ke depan bagi kami.

Kenapa Kami Bertahan

Korban bukannya tidak tahu akan kejanggalan dan ‘jebakan’ hukum yang terkandung di dalam Perpres ini. Tetapi seperti dijelaskan diatas setelah hampir satu tahun, stamina kami sudah habis. Ketika penghidupan kami porak poranda, hampir tidak ada bantuan yang diberikan kepada kami seperti halnya korban bencana yang lain. Ketika nasib kami diombang-ambingkan oleh Lapindo dan pemerintah, sedikit sekali aktivis atau LSM yang secara konsisten mendampingi dan membantu kami.

Kami merasa bahwa sebagian besar warga bangsa ini memang acuh lagi dengan nasib kami. Sementara pemerintah yang seharusnya melindungi kami malah bersikap dan mengambil kebijakan yang seolah-olah justru menguntungkan Lapindo. Pada saat yang sama, beberapa korban dan tokohnya justru mendorong kami untuk segera menerima skema perpres, karena ini pilihan yang terbaik. Kalau tidak, kami tidak akan dapat apa-apa.

Maka sebagian besar dari korban pun akhirnya menyerah. Mereka menerima skema pemerintah sepahit apapun masa depan yang akan dihadapinya. Meskipun kami akan tercerai berai sebagai masyarakat, meskipun tidak ada kejelasan mengenai status pembayaran. Bahkan sebagian besar korban sebenarnya tidak mengetahui mengenai hal tersebut, karena sebagian besar dari kami adalah awam hukum, dan dalam berbagai proses tersebut tidak ada pendampingan hukum yang bisa memastikan kami terhindar dari jebakan-jebakan hukum semacam itu.

Korban yang bertahan semakin terlemahkan semangatnya dengan berbagai perkembangan. Bahkan setelah perpres turun, Lapindo dan BPLS yang baru dibentuk tidak segera menjalankannya. Istana Wapres member instruksi percepatan penyelesaian Perpres, namun tidak berdampak apa-apa. Korban hanya bisa mengelus dada.

Berbulan-bulan setelahnya, Presiden sampai harus ber’kantor’ di markas AL di Juanda (bukan di lokasi semburan) setelah ditangisi dan dijemput ke rumahnya oleh kawan-kawan korban yang menerima skema Perpres, untuk memastikan bahwa Lapindo menjalankan skema tersebut. Setelah beberapa hari berkantor, presiden member deadline 10 minggu agar pembayaran uang muka dibayarkan.

Setelah lewat 10 minggu, dan target tersebut tidak terpenuhi, lagi-lagi tidak ada reaksi apapun dari presiden (bahkan presiden masih sempat membuat album rekaman). Tidak ada pejabat yang ditegur atau memberi penjelasan atau meminta ma’af, kepada presiden apalagi kepada publik. Bathin kami, Ya Allah, ada apa dengan republik ini.

Pada saat yang sama, Lapindo mulai melakukan kampanye publik seperti yang dijelaskan di awal tulisan ini. Ada yang bilang, Lapindo mulai melakukan hal ini ketika mereka sudah melakukan kalkulasi dengan matang bahwa situasi sudah menguntungkan mereka. Bahwa setelah satu tahun lebih bencana ini berlangsung, dengan penanganan yang seadanya sekaligus perpres yang memihak mereka, ternyata tidak memicu reaksi yang berarti dari publik.

Pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya jelas mandul terhadap mereka. Tidak ada aksi solidaritas dan advokasi yang masif dari komponen civil society yang peduli akan nasib korban dan masa depan negeri ini. Tidak ada sorotan dunia internasional yang memadai terhadap bagaimana ketidakbecusan penanganan bencana ini.

Lebih penting lagi, sebagian besar korban sudah menyerah. Kecuali 3000-an (jumlah saat itu, pertengahan 2007) korban yang memilih bertahan di pengungsian pasar baru, tidak ada perlawanan dari korban. Pendeknya, situasi sudah terkendali, dan praktis menguntungkan mereka.

Karena itulah, pada masa ini, gencar dilakukan kampanye di media oleh Lapindo yang mengesankan bahwa bencana ini sudah selesai. Padahal semburan lumpur panas masih terjadi, dan semakin memburuk, dan dampak serta korbannya semakin meluas. Di pemberitaan media, bencana skala dunia ini juga tenggelam oleh hiruk-pikuk berita-berita lainnya. Kalau tidak ada tanggul jebol, atau demo yang menutup jalan raya Porong, masalah Lapindo tidak muncul lagi dipermukaan.

Tetapi kami masih bertahan. Walaupun di luar kami kerap menyuarakan kesadaran akan hak-hak sebagai warga Negara sebagai alasan kami bertahan, tetapi sebenarnya alasan yang lebih mendasar korban masih bertahan adalah sesederhana bahwa sebagian besar dari kami tidak akan bisa lagi hidup dengan layak dan bermartabat, mungkin selamanya. Bahkan bagi sebagian dari kami, bahkan sekedar untuk hidup-pun akan sulit kalau kami menerima skema Perpres (lihat blog www.korbanlapindo.blogspot.com untuk info lengkap tentang hal ini).

Kami berkeyakinan bahwa selama kami masih mempertahankan status sebagai pengungsi, maka pemerintah tetap mau tidak mau terpaksa harus memperhatikan kami. Dan kami tidak akan mau pindah dari pengungsian sebelum Lapindo mengabulkan tuntutan kami. Sikap yang didukung dan diperkuat sebagian kecil tokoh bangsa dan lembaga yang peduli dengan perjuangan kami.

Lapindo Bergeming, Korban Kian Pusing

Kamipun mencoba berbagai upaya yang kami bisa (dengan segala macam keterbatasan, baik logistic maupun pemahaman) untuk memperjuangkan nasib hak dan tuntutan kami. Kami berupaya melakukan semua cara yang mungkin, baik atas inisiatif sendiri maupun dengan fasilitasi dari pihak-pihak yang peduli terhadap masalah bencana Lapindo dan nasib korban.

Kamipun mengundang kepedulian tokoh-tokoh yang peduli dengan cara memberi mereka penghargaan yang kami sebut lumpur Award (anti tesis dari Bakrie Award). Tokoh-tokoh seperti Prof Syafi’I Ma’arif, Gus Sholah, Prof Frans Magnis Suseno, Mayjend Marinir (purn.) Suharto, Mohamad Noer (mantan gubernur Jatim) dan Rieke Dyah Pitaloka.

Harapannya setelah komitmen dan desakan dari tokoh-tokoh tersebut, muncul dua hal. Pertama strategi gerakan akan lebih kuat karena masukan dan saran dari mereka yang sarat pengalaman. Kedua, tokoh-tokoh sekaliber Gus Sholah atau Buya Ma’arif, atau Romo Magnis, tidak mungkin ketika menerima award dan menyatakan dukungan kepada kami hanya didasarkan pada basa-basi politik semata. Kami sangat haqqul yakin bahwa beliau-beliau itu mempunyai satu kata dan perbuatan, apa yang diucapkan itu pula yang akan dilakukan.

Maka dengan mendapat dukungan tokoh-tokoh tersebut, mereka dan basis massa-nya yang cukup luas akan bisa memperluas basis dukungan perjuangan kami. Sehingga desakan kepada pemerintah untuk memenuhi tuntutan kami akan lebih kuat. Langkah-langkah serupa kami lakukan pula terhadap berbagai komponen bangsa yang masih peduli. Kami berupaya membangun jaringan dengan kampus, NGO, anggota dewan, lembaga Negara yang relevan, tokoh-tokoh agama maupun masyarakat luas lainnya.

Hasilnya sebagian melakukan kegiatan yang nyata (Radio 68 H membangun radio komunitas untuk korban, Uplink memberi pendampingan kepada warga, Yayasan Airputih dan Satudunia membuatkan website, Yayasan TIFA melakukan riset potensi konflik, FH Unair memberikan kuliah hukum selama 6 minggu untuk korban, dan beberapa lainnya), dengan hasil dan ekspos yang cukup terbatas. Namun lebih banyak yang hasilnya sebatas pernyataan dukungan maupun berupa komitmen yang tidak (belum) jelas wujudnya.

Padahal salah satu kebutuhan mendesak setelah satu tahun setengah bertahan di pengungsian adalah bantuan yang bisa memperkuat stamina kami. Yang kami maksudkan dengan stamina adalah adanya dukungan kegiatan ekonomi yang menunjang kehidupan kami sehari-hari. Kami tidak bermaksud meminta sumbangan sembako atau materi. Tetapi tolong dibantu agar kami bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kami yang sudah hilang karena sumber pencaharian kami tenggelam oleh lumpur.

Bagaimana caranya agar ada kegiatan ekonomi produktif yang bisa kami kerjakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian dari kami masih kuat bekerja, dan cukup bermartabat untuk menjadi pengemis. Tetapi kami juga realistis bahwa perjuangan butuh kekuatan, dan omong kosong ngomong tuntutan ketika perut kami kosong. Kalau dalam bencana lainnya, ada berbagai kegiatan yang diarahkan untuk livelihood warga, kenapa tidak ada satupun yang seperti itu diarahkan kepada kami. Salah kaprah besar kalau menganggap Lapindo sudah menangani masalah ini.

Ketika masalah stamina inipun tidak kunjung jelas, kami tetap berupaya menarik perhatian kepada masalah Lapindo. Kami berupaya sebisa mungkin mendatangi berbagai undangan kawan2 maupun lembaga yang peduli untuk sekadar testimoni atau bentuk kegiatan lainnya yang mengundang korban lumpur Lapindo. Meski kadang dengan hasil yang tidak jelas dan kami harus kehilangan stamina yang sudah sangat mepet.

Untuk menarik perhatian internasional, kamipun mendatangi mendatangi berbagai lembaga internasional di bawah PBB di Jakarta. Hasilnya nol. Kami mendatangi forum UNFCCC di Bali akhir tahun 2007 untuk mengabarkan kepada dunia apa yang terjadi di negeri kami (meskipun dihalangi2 aparat dan pihak keamanan forum yang ternyata ketua panitia pengawasnya adalah Menko Kesra ini).

Kami juga berupaya menarik perhatian media dengan mengundang mereka untuk meliput masalah ini. Hasilnya liputan tentang masalah Lapindo keluar di majalah National Geographic bulan Januari dan cover story majalah TIME bulan Maret serta liputan dari beberapa media asing lainnya. Liputan majalah Tempo bulan Maret juga cukup kuat dalam menarik perhatian publik.

Ternyata berbagai upaya tersebut tidak kunjung membawa kami kepada tahapan yang lebih dekat kepada tuntutan kami. Lebih jauh lagi, berbagai dukungan yang disampaikan dan diberikan kepada kami tersebut tidak pernah terkapitalkan. Atau dengan kata lain, tidak ada yang bisa mengorkestrasikan berbagai komitmen dukungan tersebut menjadi pressure yang massif dan efektif, ataupun membantu memperkuat stamina kami.

Kami tidak tahu caranya (kami tidak ada yang punya kapasitas untuk itu), dan tidak ada lembaga yang membantu kami melakukan hal itu. Sederhanya, kami membayangkan andai saja setiap orang atau lembaga yang pernah menyatakan peduli dengan kami, menyumbang Rp10.000 saja, akan terkumpul dana yang cukup besar. Dana tersebut jangan berikan langsung kepada kami, tetapi salurkan melalui lembaga yang kompeten dalam bidang pengembangan ekonomi atau Usaha Kecil Menengah.

Dana tersebut akan diwujudkan dalam bentuk kegiatan usaha produktif, yang akan dikerjakan oleh pengungsi, atau dirupakan kredit mikro atau dana bergulir. Bahkan kalau pendekatannya benar, kamipun bersedia untuk menerima dana tersebut sebagai pinjaman modal usaha, dan mengembalikan dana tersebut ketika usaha ini berjalan. Dengan kegiatan usaha kecil ini, maka stamina kami akan terjamin, dan kami tidak akan tergantung kepada pemerintah atau Lapindo

Mungkin kami belum pernah menyampaikan hal ini secara terbuka kepada publik luas. Sebab kami berpikir bahwa mestinya kesadaran akan kebutuhan kami seperti itu mestinya toh tidak perlu diberitahukan, mestinya mereka-mereka sudah tahu. Menyadari bahwa kami adalah sebagian besar petani dari warga desa biasa mestinya menyadarkan mereka bahwa masalah stamina ini akan menjadi kebutuhan kami yang mendesak.

Tetapi satu hal yang jelas terbangun dalam persepsi sebagaian besar pengungsi adalah, bahwa tuntutan yang sedang kami lakukan ini tidak ada harapan untuk berhasil. Pemerintah sudah melempem, DPR dan pengadilan pun tidak berdaya, sementara polisi menghentikan proses penyidikan. Dan kalau semua upaya untuk menarik perhatian dukungan ini ternyata tidak juga membuahkan hasil yang nyata, selain hanya pernyataan di Koran dan rasan-rasan di dunia maya.

Padahal sementara rumah tangga kami semakin kacau, ekonomi kami semakin berantakan, pemilik grup perusahaan yang menjadi penyebab masalah kami menjadi orang terkaya di negeri ini dan martabat-nya seolah tidak tercela dengan nasib kami yang kian merana. Sementara kami hidup dan tinggal di pengungsian, pegawai Lapindo di Surabaya tinggal di hotel Berbintang 5. Apakah ini bukan versi modern David lawan Goliath. Tidakkah kami hanya tengah menggantang angin.

Tuntutan Yang Terus Menurun

Padahal alasan permintaan kami berbeda dengan sebagian besar korban adalah karena kami tidak ingin meninggalkan sistem sosial yang selama ini sudah kami kenal dan akrabi sejak kami kecil. Tinggal dengan tetangga teman dan saudara yang sama seperti sebelum terjadi bencana ini. Tidak sedikitpun ada niat kami untuk mengambil untung, tetapi kami hanya ingin hidup kami yang sudah susah dan terhenti selama setahun akibat lumpur ini tidak jadi semakin parah.

Awalnya, tuntutan kami adalah Lapindo harus membayar nilai aset sesuai harga yang ditetapkan perpres, langsung 100 persen, plus uang kontrak dan lain-lain seperti yang dibayarkan kepada korban Lapindo yang menerima perpres. Nilai ini kami anggap sebagai ganti rugi materiil, sedangkan immateriilnya, kami menuntut disediakan tanah seluas 30 ha, dimana kami akan membangun lagi desa kami seperti sebelum kejadian, sehingga kami masih bisa tinggal bersama-sama lagi.

Alasan meminta pembayaran langsung secara penuh bukan karena kami serakah, namun karena nilai sebagian besar aset korban tidak besar. Sehingga kalau dibayar 20 persen, nilai itu tidak akan cukup bagi kami untuk membangun rumah (jangankan membangun rumah, bayar hutang saja mungkin sudah habis). Sedangkan kalau secara langsung dibayar 100 persen, bayangan kami itu akan cukup untuk membangun rumah, sehingga kami tidak terlalu lama menjadi gelandangan.

Tuntutan ini juga didasarkan bahwa alasan pembayaran 20 – 80 persen menurut kami tidak adil dan hanya memperhatikan kepentingan cash flow Lapindo, bukan korban yang sudah kepepet secara umum. Terbukti, salah satu majalah keuangan internasional melansir bahwa nilai aset Aburizal Bakrie (pribadi, bukan aset Grup Bakrie) mencapai hampir 50 triliun rupiah. Hanya 0,1 persen dari nilai itu sebenarnya sudah cukup untuk membayar kami, atau 2 persen kalau untuk membayar semua aset korban.

Sedangkan uang kontrak dan lain-lain tersebut akan kami kumpulkan dan dipakai sebagai modal awal untuk usaha bersama atau koperasi dari warga. Dengan perusahaan milik bersama atau koperasi ini, warga yang kehilangan pekerjaan (terutama petani yang akan sangat kesulitan membeli sawah ditempat lain) bisa bekerja lagi. Demikian juga untuk korban yang selama ini pabriknya tenggelam dan tidak mungkin bisa beroperasi lagi

Namun Lapindo dan pemerintah menolak dan mengacuhkan tuntutan kami ini. Setelah berbulan-bulan seolah-olah bicara dengan tembok, kami akhirnya sepakat untuk menurunkan tuntutan. Baiklah, mungkin tidak 100 persen, tetapi 50-50 saja, tetapi untuk sisa pembayaran 50 persennya kami minta dibayar tiga bulan, biar nasib kami tidak terkatung-katung terlalu lama. Tuntutan ini tentu saja tidak akan memberatkan mereka, karena bahkan EMP-pun, bagian dari Grup Bakrie pemegang saham di Lapindo, mencatat keuntungan akhir tahun itu.

Tetapi lagi-lagi tuntutan ini, yang sudah kami tembuskan ke mana-mana, serasa menembus angin. Bupati angkat tangan, gubernur enggan menanggapi, sejumlah menteri menganggap kami mengada-ada. Berbagai upaya kami lakukan, tetapi tetap mentok. Pihak Lapindo bahkan tidak bersedia bertemu degan kami untuk membicarakan tuntutan ini, apalagi bernegoisasi. Di media mereka bilang, kalau menuruti permintaan kami, mereka akan melanggar Perpres, dan mereka akan patuh dengan hukum.

Sampai kemudian, ketika itikad baik kami untuk berunding dan menurunkan tuntutan ini seperti teriakan di gurun pasir semata, warga kami mulai gelisah. Ini bagaimana? Jangan-jangan mereka tidak mau menuruti ini karena kami meminta ganti immaterial tadi. Padahal tuntutan ini menurut Romo Magnis sangat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dan sudah seharusnya Lapindo dan pemerintah memenuhi agar kami masih bisa hidup bergotong royong dan mengembangkan masyarakat paguyuban seperti sebelumnya di desa yang kini sudah lenyap dari muka bumi.

Karena itu, kamipun lagi-lagi, tanpa diminta, menurunkan tuntutan sehingga kami tidak lagi meminta ganti rugi imateriil berupa tanah dan bangunan sebesar 30 ha tadi. Kami tetap berencana untuk tinggal bersama, sehingga kami berencanakan untuk membeli tanah tersebut dari uang kontrak dan lain-lain yang seharusnya menjadi hak kami, yang akan kami kumpulkan bersama-sama. Tanah yang bisa dibeli nantinya akan dibagi rata setiap orang satu petak, dengan ukuran yang sama.

Namun lagi-lagi, selama beberapa bulan, tuntutan kami inipun tidak ada kejelasan. Tidak ada pertemuan maupun tanggapan resmi dari Lapindo terkait tuntutan kami. Mereka tetap teguh dengan posisi bahwa mereka tidak akan melanggar Perpres. Sampai satu titik, kami benar-benar tidak habis pikir sebenarnya Negara dan warga bangsa ini menganggap kami ada tidak sih. Kenapa semua pada diam, dan tidak banyak yang membantu kami menyuarakan hal ini.

Negoisasi dan Negoisasi

Situasi yang mulai dilanda keputusasaan atas ketidakjelasan nasib setelah 21 bulan ini, ditambah dengan dinamika eksternal yang semakin memperkuat posisi Lapindo, kemudian ketemu dengan berbagai masalah di internal pengungsian. Perkembangan selama satu bulan terakhir membuat posisi kami benar-benar terjepit, dan menyerah kepada tawaran Lapindo semakin lama menjadi semakin masuk akal. Apa yang terjadi ?

Sejak pertengahan bulan Maret 2008, entah kenapa, Lapindo dan pemerintah daerah melakukan pendekatan yang intentif terhadap pengungsi. Padahal sebelum-sebelumnya, ketika kami yang mencoba melakukan pendekatan, mereka malah dalam posisi sangat defensif, dan cenderung mengabaikan keberadaan kami. Adalah Bupati Sidoarjo yang mengundang kami untuk melakukan pertemuan dengan pihak Lapindo, guna menyelesaikan tuntutan pengungsi.

Padahal bupati sendiri dalam beberapa pertemuan dengan pengungsi maupun pernyataan yang dilansir media menyatakan dia sudah angkat tangan dengan apa yang diminta pengungsi. Bahkan pada satu kesempatan, pemerintah kabupaten pernah mengultimatum akan menyerbu dan mengusir kami dari pasar, dengan membagikan selebaran.

Layaknya ultimatum belanda kepada Arek2 Suroboyo pada tahun 1945, kamipun membuat ratusan bambu runcing. Bayangan kami, coba saja datang, dan usir kami, kita lihat apa yang akan terjadi. Entah karena pemerintah paham hukum, atau sekedar masih waras untuk menyerbu orang yang sudah tidak bisa kehilangan apa-apa lagi selain nyawa, serbuan tersebut dibatalkan.

Jadi walau dengan memendam banyak pertanyaan, kamipun menerima tawaran untuk bertemu dengan Lapindo. Harapannya pemerintah memang benar2 mulai akan memihak kami, dan bersama-sama menekan Lapindo untuk memenuhi tuntutan kami. Apalagi toh kami sudah menurunkan tuntutan tersebut sebanyak tiga kali, mungkin kali ini akan diterima.

Oleh Bupati, dijanjikan bahwa ini adalah proses negoisasi, dan memastikan bahwa Lapindo tetap berkomitmen untuk menyelesaikan masalah semua korban lapindo, termasuk yang di pengungsian pasar baru Porong. Karena itu, bupati meminta kedua pihak (korban diwakili oleh pengurus paguyuban kami, Lapindo diwakili oleh Andi Darussalam) untuk tidak kaku dengan posisi masing-masing, dan meminta kedua pihak mengedapankan kepentingan penyelesaian masalah.

Selain itu, bupati juga meminta agar para pihak tidak membocorkan masalah ini kepada media. Tanpa bermaksud berpikiran negative (sebab selama ini sudah terlalu banyak pikiran negatif, buat apa ditambah-tambah lagi), kami menganggap ini sebagai cara agar perundingan bisa berjalan dengan efektif, menghasilkan terobosan dan tidak terganggu oleh media.

Akhirnya perundingan yang difasilitasi oleh bupati inipun mulai digulirkan. Satu pertemuan, disusul pertemuan berikutnya, selalu mentok ke poin yang sama. Kami tidak mau penyelesaian terlalu lama, dan kami sudah menurunkan tuntutan kami tiga kali sejak dari awal tuntutan. Sementara lapindo berdalih bahwa mereka tidak mau melanggar perpres. Poin yang dianggap melanggar perpres adalah term pembayaran yang 50 – 50 tersebut.

Sempat muncul alternatif tawaran yang diajukan oleh Bupati, yaitu relokasi plus. Relokasi artinya, Lapindo bersedia mempercepat pembayaran, namun kalau korban mau agar sisa pembayaran diganti dalam bentuk rumah di kompleks perumahan yang dibangun oleh Grup Bakrie. Tentu saja perumahan dengan harga mereka, yang bagi sebagian dari kami akan sangat berat. Lokasinya juga jauh dari desa kami awalnya, sehingga menyulitkan anak2 yang sudah sekolah di sekitar Porong dan korban yang masih bekerja di sekitar situ.

Namun demi itikad untuk mencari solusi yang terbaik, kamipun bersedia menjajaki tawaran itu, dan meminta melihat ke lokasi yang dijanjikan. Pada hari H yang disepakati, ternyata acara tiba-tiba diubah secara sepihak oleh Lapindo, dan acara kunjungan ke lokasi diganti melihat maket di hotel berbintang di Surabaya. Melihat reaksi ini, wargapun sepakat untuk menolak skema ini karena korban melihat maksud yang disembunyikan dengan kejadian ini.

Setelah itu, terjadi lagi beberapa kali pertemuan, namun tetap tidak membuahkan hasil. Ketika sorotan semakin mengarah pada pihak korban, akhirnya kami pun menurunkan lagi posisi. Kami akhirnya menerima skema pembayaran sesuai perpres, yaitu 20 – 80. Namun sisa pembayaran tidak dilunasi 23 bulan setelahnya, tetapi tiga bulan dari penandatanganan PIJB, dan ada perubahan poin di PIJB sehingga memberi kepastian hukum.

Skema ini tidak akan memberatkan Lapindo, karena sesuai dengan skema Perpres dan masih ada tempo pembayaran. Sedangkan dari pihak korban, sebenarnya posisi ini sama saja dengan kami kembali ke titik awal. Sebab 3 bulan kemudian dari akhir bulan maret itu adalah bulan Mei ini, saat sebagian besar korban awal (termasuk kami) seharusnya memang waktunya dibayar.

Bagi korban, ini merupakan titik kompromi paling akhir karena kami akhirnya memutuskan untuk menerima skema pembayaran perpres, meskipun dengan syarat diatas dan catatan bahwa kami tidak akan meninggalkan pasar sampai ada kejelasan mekanismenya. Dengan sangat berat hati, karena kami sudah menurunkan tuntutan beberapa kali, namun Lapindo tetap kukuh.

Yang membedakan kami dengan korban lainnya hanya bahwa nasib kami akan relatif lebih baik, karena nantinya akan bisa tinggal bersama-sama lagi seperti dulu di desa. Sementara kawan-kawan korban yang lain sudah tercerai berai entah kemana.

Apakah posisi ini, yang sudah sedemikian melunak masih dengan serta merta diterima oleh Lapindo dan posisi kami didukung oleh Bupati. Ternyata tidak. Lapindo ternyata tetap kukuh bahwa pembayaran akan sesuai dengan Perpres. Padahal poin yang oleh Lapindo dianggap melanggar Perpres tersebut adalah poin pembayaran. Kami bersikeras bahwa dengan memajukan pembayaran itu tidak melanggar perpres (karena poin selambat-lambatnya seperti dijelaskan diatas).

Ditambah lagi bahwa ketika apa yang kami tawarkan berbeda dengan terjemahan mereka atas perpres, mereka pasang harga mati. Padahal kami sudah tidak defensif ketika mereka yang memberi penawaran yang berbeda, seperti halnya pada saat tawaran relokasi yang akhirnya ditolak tersebut. Terlebih lagi, ketika mereka menawarkan relokasi, yang notabene kami wajib membeli unit perumahan mereka dengan harga komersial, mereka bersedia mempercepat pembayaran.

Demikian juga bupati yang justru posisinya menekan kami dengan menghadapkan kami dengan himpunan pedagang dari pasar porong lama yang sedianya menempati pasar porong baru, tempat pengungsian kami (meskipun pasar ini belum beroperasi sewaktu bencana terjadi, dan pedagang masih belum membeli stan pasar baru ini).

Kami bahkan terheran-heran dan terbersit pikiran negative, jangan-jangan Lapindo memang sedang menggencet kami, yang selama ini menyusahkan mereka. Jangan-jangan pemerintah tengah bermain-main dengan batas kesabaran kami karena dianggap selama ini kami sudah menentang kebijakan mereka dan menjadi kerikil di sepatu yang mahal.

Siasat-siasat yang Mematikan

Ketika korban di pengungsian sudah sedemikian resah karena posisi perundingan yang tidak jelas, kami dikejutkan dengan perkembangan baru yang beruntun hanya dalam bilangan 2 minggu. Akhir April, tiba-tiba salah seorang pegawai Lapindo bagian external relation melakukan pendekatan kepada salah seorang korban. Intinya memberi tawaran dari pihak manajemen yang sama sekali berbeda dengan yang disampaikan lewat perundingan resmi.

Kepada korban ini, pegawai Lapindo ini menawarkan pembayaran bisa dipercepat menjadi satu tahun, namun uang kontrak hanya diberikan satu tahun. Bukan apa yang ditawarkan ini yang menjadi kami kaget, sebab tidak terbilang berbagai macam upaya untuk memecah belah warga di pengungsian sebelumnya dilakukan. Kami kaget karena negoisasi resmi dengan perwakilan Lapindo yang difasilitasi oleh Bupati ternyata bisa ditelikung dengan terang-terangan semacam ini.

Siasat ini kontan menimbulkan kegemparan di kalangan warga. Muncul kesan seolah-olah pengurus tidak menyampaikan kepada warga hasil perundingan yang sebenarnya. Apalagi korban yang dihubungi tersebut dengan upaya sendiri melakukan sosialisasi kepada korban lainnya, tanpa sepengetahuan pengurus. Tiak lama kemudian kami mengetahui hal ini dan melakukan berbagai cara untuk meyakinkan warga bahwa itu hanya upaya untuk memecah belah warga.

Belum lagi kejadian ini reda, beberapa hari kemudian muncul manuver berikutnya. Kami membaca di media bahwa Lapindo akan menghentikan jatah makan bagi pengungsi korban Lapindo mulai bulan Mei 2008. Alasan yang dikemukan oleh Lapindo bahwa jatah makan ini adalah, sejalan dengan kampanyenya, semata merupakan bentuk bantuan dan kepedulian mereka kepada korban.

Dengan kalimat yang manis, pihak Lapindo menyarankan agar pengungsi menerima saja jatah uang kontrak, sehingga tidak perlu hidup menderita di pasar seperti sekarang ini. Upaya persuasi yang dari awal sudah kami tolak, karena dengan menerima kontrak tentu saja akan menjebak kami ke dalam skema mereka. Dan tanpa ada kesepakatan yang jelas tentang bagaimana nasib kami, tentu saja menerima kontrak akan membuat kami tidak punya daya tawar apa-apa terhadap Lapindo.

Ketika situasi semakin memanas dan warga semakin resah dengan kepastian nasibnya, muncul surat gelap yang dikirim ke beberapa puluh warga. Surat yang tidak menyebutkan identitas penulisnya ini berisi berbagai macam fitnah dan hasutan yang tidak berdasar dan mendelegitimasi pengurus paguyuban. Juga ancaman bahwa kalau warga tidak menerima kontrak paling lambat 1 Mei, warga pengungsi tidak akan mendapat pembayaran dari Lapindo.

Seakan itu semua belum cukup, beberapa hari kemudian ketika warga bertemu Lapindo di pendopo Kabupaten untuk melanjutkan perundingan dan mengklarifikasi berbagai manuver tadi, bupati memberi keterangan di media bahwa korban Lapindo di pengungsian akhirnya menerima skema perpres. Padahal pertemuan itu tidak mencapai kemajuan apapun, kecuali ada pertemuan berikutnya untuk membahas detil mekanisme pembayaran.

Keterangan yang diberikan bupati kepada media ini tentu saja semakin membingungkan kami. Bukankah Bupati sendiri yang meminta agar proses perundingan tidak dibocorkan kepada media dan kepada publik. Dan bukankah apa yang terjadi di pertemuan di pelintir oleh Bupati sendiri dengan menyatakan bahwa warga sudah menerima perpres, tanpa syarat.

Esoknya, media memuat keterangan bupati tersebut, yang sorenya dilanjutkan dengan datangnya undangan dari Lapindo kepada korban untuk melakukan penandatanganan kontrak di kantor Lapindo. Tidak satupun warga yang datang memenuhi undangan tersebut, yang lagi-lagi besoknya dipelintir oleh Lapindo dan dimuat media bahwa kami sudah di intimidasi oleh pengurus paguyuban.

Seakan memungkasi semua manuver bertubi yang sangat efektif melemahkan kepercayaan diri korban, Lapindo kemudian menerapkan jurus pamungkas. Melalui serangkaian hubungan telepon, Lapindo mengajak bertemu dengan pengurus paguyuban, kali ini tidak dihadapan Bupati. Dalam pertemuan ini, Lapindo memberikan penawaran yang bahkan secara materiil lebih rendah daripada apa yang dicantumkan di Perpres, namun dengan percepatan pembayaran.

Maka lengkap sudahlah Lapindo berupaya menjepit pengungsi korban lumpur Lapindo. Serangkaian siasat yang berhasil memupus harapan korban, dan membuktikan bahwa kalau Lapindo menginginkan satu hal, maka tidak ada yang menghalangi mereka. Sedangkan korban, faktanya (di)tinggal sendirian memperjuangkan nasibnya, dengan tidak ada apa-apa lagi fasilitas bagi pengungsi.

Seruan Terakhir Korban Lapindo dari Pasar Baru Porong

Maka demikianlah surat yang sangat panjang ini dibuat, untuk menarik perhatian pihak-pihak yang peduli kepada korban Lapindo. Kami tunggu pertolongan anda, kami tuntut komitmen anda. Kami sudah berada dalam posisi yang sangat terjepit. Tidak ada lagi fasilitas terhadap korban, baik dari Lapindo maupun dari pemerintah. Disisi lain, Lapindo sudah terbukti mampu mengacak-acak ketahanan dan kerukunan kami sebagai paguyuban.

Maka kalau anda masih mempunyai hati nurani dan pernah menyatakan peduli dan siap membela korban lumpur Lapindo, tidak ada saat yang lebih tepat selain sekarang. Sebab minggu depan bisa jadi yang namanya korban lapindo sudah tidak ada lagi. Setelah ini kami sebagai sedikit dari korban Lapindo yang tersisa, dan satu-satunya yang masih melawan, akan menjadi mitra jual beli Lapindo.

Dan setiap upaya apapun untuk memperjuangkan masalah Lapindo akan kehilangan basis. Kalau menurut Romo Magnis kami saat ini sedang mencoba mengamalkan dan menegakkan sila paling inti dari Pancasila yaitu Keadilan yang Beradab akan menyerah, maka satu minggu lagi Lapindo akan membuktikan bahwa kemenangan modal akan kepentingan bangsa dan Negara ini menjadi komplit.

Kalau sebelumnya kami tidak pernah meminta sesuatu yang kongkret tentang apa yang bisa dilakukan bagi korban Lapindo, maka untuk yang terakhir kalinya sekarang, kami meminta anda, individu maupun lembaga yang peduli korban Lapindo, untuk :

  • Datanglah ke pengungsian pasar baru Porong untuk berjuang bahu membahu dengan kami, sehingga bisa meyakinkan sebagian besar korban yang saat ini sudah putus harapan.
  • Bukalah dompet-dompet peduli korban Lapindo, yang akan dipergunakan untuk kegiatan penguatan ekonomi bagi kami

Translate »