Berebut Megafon di Kamp Pengungsian


korbanlumpur.info – Bibir pemuda itu seperti ingin tersenyum. Senyum tertahan. Senyum tak jadi. Hampir setengah menit, namun hanya raut bingung yang ditampakkannya. Beberapa jenak kemudian barulah Anto, pemuda itu, buka suara. “Entahlah. Saya tidak tahu,” katanya, menyerah. Tangannya segera bergerak lagi, mengaduk kopi susu untuk kami tengah malam itu, hanya 8 jam menjelang pencoblosan.

Anto tidak sedang mengerjakan soal matematika. Dia juga bukannya sedang mengerjakan teka teki silang raksasa dengan hadiah utama sebuah rumah. Pertanyaan yang diajukan padanya pendek saja: apakah ia akan menggunakan hak pilihnya?

“Gamang.” Inilah jawaban Anto, penjaga warung kopi di Pasar Porong lama.

Anto tidak sendiri. Kebimbangan menghinggapi mayoritas korban lumpur Lapindo maupun warga lain di sekitar tanggul. Haruskah mereka memilih?

Rasa gamang itu tergambar jelas di malam pencoblosan. Desa-desa tersisa di sekitar tanggul, sepi. Sepanjang Jalan Raya Porong, sepi. Jarang warung yang masih buka. Warung, tempat ngobrol paling asyik itu –terutama bila menjelang event besar seperti coblosan—nyatanya malah tutup.

Masuk kampung, tak ada jagongan. Tak ada kemitan. Pasar Baru Porong, kamp pengungsi yang masih hidup hingga kini, sudah senyap sejak isya. Hanya saat Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso datang, ada gempita sebentar. Setelah itu, rolling door kios-kios ditutup, spanduk lusuh diturunkan. Mereka tidur dalam pelukan dingin puncak kemarau. Mereka coba tidur dalam bimbang yang menekan.

Petak-petak stan yang berubah menjadi tempat tinggal terasa kian sempit. Bukan oleh kasur, bantal, dan perkakas yang berjejal, namun oleh sebuah pertanyaan pendek yang tak juga mereka temukan jawabannya. Manakah yang lebih baik, menggunakan hak pilih atau golput saja?

Sipon, Ponadi, dan M. Amin memang tak bisa merumuskan dengan kalimat tertata. Namun, kerut di kening mereka, juga jeda yang lama tercipta kala memberikan jawaban, jelas menunjukkan kebimbangan. Ketiganya sadar, suara pengungsi seperti mereka akan bergaung jauh. Gemanya membahana. Apa pun pilihan mereka, itu akan menjadi justifikasi bagi pihak-pihak di luar sana.

Karena itu Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso sampai dua kali mengunjungi kamp pengungsian Pasar Porong Baru. Pertama, di malam menjelang pencoblosan. Kedua, pagi hari saat pemilihan. Di dua kesempatan itu Win menyampaikan pesan yang sama: gunakan hak pilih Anda. Janganlah putus asa.

“Bayangkan, Win terakhir kali datang ke kamp pengungsian pada Maret 2007. Setelah lebih dari setahun, barulah ia datang lagi. Dua kali dalam interval yang hanya beberapa jam. Dari situ kita bisa membaca, betapa suara pengungsi korban lumpur begitu pentingnya. Makin banyak pengungsi yang menggunakan hak pilihnya, makin senang pemerintah. Mereka bisa bilang: Tuh, kan, pengungsi tidak putus asa. Buktinya, mereka masih begitu antusias memberikan hak pilihnya,” begitu ulasan Winarko, aktivis Posko Bersama Korban Lapindo (PBKL).

Suara korban lumpur memang menjadi rebutan. Pemerintah ingin para korban tetap menggunakan hak pilihnya. Penggunaan hak pilih menunjukkan adanya optimisme, belum matinya harapan bahwa persoalan pengungsi segera menemukan solusi. Pemerintah dan Lapindo butuh justifikasi ini.

PBKL, organisasi cair yang menghimpun sejumlah kelompok warga korban lumpur dan badan-badan yang bersimpati pada mereka, punya kepentingan berbeda. Bagi mereka, tak ada pilihan sebaik golput. Inilah megaphone yang paling mereka butuhkan untuk mengabarkan bahwa masalah belum terselesaikan.

Maka, di markas PBKL yang terletak persis di samping makam Kelurahan Gedang, hiruk pikuk Pilgub jauh dari orbit mereka. Selasa malam, malam terakhir sebelum pencoblosan, tak ada jagongan bertema Pilgub. Mereka lebih sibuk membahas cara terbaik untuk mendapatkan ganti rugi paling memadai.

Irsyad, misalnya. Malam itu ia menceritakan sebuah rapat warga di desanya yang berakhir ricuh. Salah satu warga menyatakan bahwa Desa Besuki Timur sebenarnya akan masuk dalam peta desa terdampak. Namun, hal ini gagal karena ada dua warga peserta pertemuan nasional para korban Lapindo di Jakarta memberi ide berbeda. Dua orang itu meminta bahwa Desa Besuki Timur tidak masuk dalam peta terdampak.

Irsyad yang merasa dikambinghitamkan, langsung berdiri. Ia meminta agar langsung sebut nama, siapa orang yang menggagalkan masuknya Besuki Timur dalam peta desa terdampak. Sebab, dirinyalah yang mengikuti pertemuan di Jakarta itu. “Namun, saya tidak melakukan penggagalan itu. Saya sedang dijadikan kambing hitam,” kata Irsyad dalam laporannya yang didokumentasikan di PBKL.

Belum lama Irsyad berbagi masalahnya, datang lagi warga dari desa lain. Mereka diterima Paring, salah satu aktivis di posko tersebut. Kepada mereka Paring menjelaskan tentang kampanye penyadaran dan advokasi yang sedang digalang ia dan kawan-kawannya. Satu sudah berjalan, yakni situs informasi korban Lumpur Sidoarjo yang beralamat di http://www.korbanlumpur.info. Dua lagi masih digagas: radio komunitas dan buletin.

Di rumah dengan 4 kamar itu, ide-ide pemberdayaan ditelurkan. Tak ada televisi, tak ada intervensi dari berita-berita pilgub yang mereka benci. Tak ada kursi, semua lesehan di lantai yang hanya sebagian tertutup karpet tipis. Tak ada makanan, karena lapar adalah tanggungan sendiri-sendiri.

Namun, diskusi yang muncul begitu hidup. Termasuk, rencana memberi warga –dimulai dari para aktivisnya— alamat e-mail untuk bisa berhubungan dengan pihak luar. “”Dengan punya e-mail, punya situs, kita bisa berhubungan dengan pihak-pihak lain, termasuk di luar negeri, yang mau membantu kita. Murah dan cepat,”” urai Paring.

Kemarin siang, jelang ashar, suara selesai dihitung. Dari 3 tempat pemungutan suara di kamp pengungsian, ketiga-tiganya dimenangkan pasangan Achmady-Suhartono dengan selisih luar biasa. Pasangan Achsan menang dengan persentase 74,7% di TPS 08 (dihitung dari total suara terpakai, termasuk suara tidak sah), 85,9% di TPS 09, dan 73,6% di TPS 10.

Ya, korban lumpur di kamp pengungsian sudah memberikan jawaban. (*)

 


Translate »