Pencoblosan di Kamp Pengungsian Uang Makan Sebulan Begitu Menggiurkan…


korbanlumpur.info – Pasangan Achmady-Suhartono mencetak kejutan. Terjerembab di posisi buncit menurut hasil quick count, pasangan Achsan justru unggul di lokasi paling dicermati: Kamp Penampungan Pengungsi Pasar Porong Baru. Keunggulannya sangat signifikan. Di tempat pemungutan suara (TPS) 08, Achsan mengumpulkan 74,7% suara. Di TPS 09, mereka mendulang 85,9% dan di TPS 10 pasangan yang diusung PKB ini unggul dengan 73,6% suara. Mengapa?

Bila pertanyaan ini diajukan kepada para pengungsi sendiri, mereka tetap kesulitan menjawab. Ada jeda lama sebelum jawaban keluar dari mulut mereka. Namun demikian, inilah jawaban yang paling sering mereka berikan: Achmady satu-satunya cagub yang berkampanye di kamp tersebut.

“Saya tidak paham janji-janji para cagub itu,”” kata M. Amin, salah satu penghuni kamp pengungsian. Di depannya, hanya 1,5 meter dari tempat ia berbicara, sebuah papan besar berdiri. Wajah kelima pasangan cagub dan cawagub terpampang jelas, lengkap dengan visi, misi, dan program mereka.

““Saya juga tidak berharap. Hanya saja karena ini pemilihan, saya ya pilih,”” katanya.

Jawaban lebih jelas datang dari seorang pemuda yang enggan disebut namanya. Ia penghuni kamp itu juga. “Wajar bila Achsan menang di kamp pengungsi Pasar Porong Baru. Ia satu-satunya cagub yang datang, dan ia menjanjikan uang makan sebulan penuh untuk seluruh pengungsi bila menang,” katanya.

Ya, hanya bila menang. Sayangnya, harapan ini seperti jauh dari kenyataan. Beragam hasil quick count menunjukkan Achsan berada di posisi terbawah dengan suara tak sampai 10%.

Meski demikian, pengungsi masih berharap kemenangan yang dimaksud bukan kemenangan dalam Pilgub Jatim, namun kemenangan di TPS mereka. Pengungsi memang tak sempat –juga tak biasa— memverifikasi.

Namun bagaimana pun, strategi Achsan sepertinya bisa ditiru Karsa atau Ka-Ji yang diyakini melenggang ke Pilgub putaran kedua. Hanya dengan janji semacam “uang makan sebulan”, Achsan bisa meraih kemenangan mutlak. Mungkin Karsa dan Ka-Ji butuh mencari titik-titik yang bisa dibeli semacam ini.

Daya Tahan

Tentu tidak semua pengungsi sepakat dengan keberhasilan “pembelian borongan” yang dilakukan Achsan. Rinto –bukan nama sebenarnya—tak yakin ada cagub yang mau mengupayakan perbaikan nasib dirinya dengan tegas. Karena itu pemuda yang tinggal di salah satu petak Pasar Baru Porong itu bergabung dengan Posko Bersama Korban Lapindo (PBKL). Ia menyerukan golput agar nasib mereka diperhatikan. Bersuara dengan cara tak memberi suara.

““Buat apa kami memilih, sementara mereka tidak peduli pada kami?”” kata Winarko, aktivis PBKL.

““Kalau kita bicara tentang Jatim, masalah terbesarnya tentulah lumpur dan beragam eksesnya. Kresnayana Yahya, doktor ITS itu menyebut kerugian ekonomi akibat lumpur mencapai Rp 500 miliar per hari. Kerugiannya mulai dari infrastruktur, pariwisata, ekonomi, pendidikan, dan tentu saja hajat hidup masyarakat secara umum, utamanya korban Lapindo. Tapi apa yang terjadi? Tak ada satu pun calon gubernur (cagub) yang menawarkan program penyelesaian untuk para korban. Lha buat apa kami memilih?,”” lanjutnya.

Winarko sadar, lumpur ini adalah perkara yang sangat besar. Namun sebagai calon pemimpin Jatim, sudah sewajarnya bila kelima pasang cagub dan cawagub itu memikirkannya. Bila ternyata itu tidak mereka coba, sudah jelas posisi mereka di mana.

““Apa dalam kondisi demikian kami masih bisa menaruh harapan? Masih adakah alasan bagi kami untuk memilih? Saya rasa tidak,”” tegasnya.

Kini, terbukti sudah mayoritas warga korban lumpur yang mengungsi di Pasar Baru Porong tak sependapat dengan lelaki plontos lulusan Australia ini. Mereka telah mempercayakan aspirasinya pada Achmady.

Dan memang, meski kini makin lengang karena banyak pengungsi yang mengontrak di luar, Pasar Baru Porong jelas bukan pilihan tempat tinggal. Sempit, pengap, dengan level toleransi yang harus dijaga tetap tinggi tiap hari. Dalam kondisi frustrasi semacam itu, Achmady datang dengan janji: uang makan sebulan penuh. Tidak banyak, namun sangat membantu bagi mereka yang susah mendapat pekerjaan di luar.

““Kami tidak mengeluh. Mereka tak bisa disalahkan dan memang tak perlu disalahkan. Ini proses yang sangat panjang dan tidak semua memiliki daya tahan yang sama,”” kata Winarko. (*)


Translate »