Anak-Anak Muhajirin


korbanlumpur.info – Mulanya anak-anak sering merengek dan minta kembali ke rumah setiap saat, lebih-lebih kalau malam. Ini bikin Lilik Kaminah, korban Lapindo asal Desa Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong, tambah senewen. Mereka sudah pusing memikirkan rumah dan tempat kerja mereka yang musnah diterjang lumpur. Akibatnya, anak-anak jadi dibiarkan main apa saja tanpa pengawasan.

“Hidupnya nggak  normal, terlalu bebas, sing penting mburu menenge, lek gak sumpek—, hidupnya tidak normal, terlalu bebas, yang penting tidak menangis, biar tidak (makin) sumpek,” tutur ibu 30 tahun yang biasa dipanggil Mbak Kami.

Desa Renokenongo punya lima dukuh. Sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006, secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur. Pertama tiga dukuh: Balungnongo, Wangkal dan Renomencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Renokenongo. Sementara dua dukuh lainnya, Sengon dan Renokenongo masih bisa ditempati.

Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada 22 November 2006, tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Renokenongo tenggelam, termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balungnongo, Wangkal dan Renomencil lantas terpencar mencari kontrakan. Sementara warga Sengon dan Renokenongo mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini korbannya jauh lebih banyak.

Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet dengan ketidakjelasan ini, mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam kepiluan.

Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian Taman Kanak-Kanak Muhajirin di tengah-tengah pengungsian Pasar Baru Porong. Nama ‘Muhajirin’ dipilih untuk pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal mereka menuju pengungsian.

Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Renokenongo tenggelam dalam lumpur Lapindo: SDN I dan II Renokenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik Yayasan Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski bangunannya sudah rusak berat. Sementara SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.

SDN I Renokenongo dipindah ke SD Glagaharum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan siswa SDN I Renokenongo masuk sore), SDN II Renokenongo pindah SDLB Juwet Kenongo (masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP I (masuk sore).

“Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep,” tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.

Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah. Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.

“Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu rupiah, kami tak punya duit,” tutur Mbak Kami.

Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam “Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak.” Mereka didampingi beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.

Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.

“Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan,” tutur Mbak Kami.

Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Mbak Kami yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.

Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.

Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, bego (istilah yang digunakan pengungsi untuk menyebut eskavator) dan alat-alat berat di sekitar lumpur.

Selain melukis mereka juga menceritakan rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau biru.

Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua tahun.

Pengungsi di Pasar Baru Porong belum mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. “Aku justru bingung kalau nggak ada kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa,” tutur Mbak Kami getir.

FOTO-FOTO: LALA/UPLINK, IMAM S