Gas Berbahaya di Gorong-gorong


BPLS: Gas Jenis Metana dan Sangat Mudah Terbakar

Sidoarjo, Kompas – Semburan gas yang mudah terbakar di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (8/4), semakin meluas dan merembes masuk ke gorong-gorong di tepi Jalan Raya Porong. Kondisi ini meresahkan warga karena membahayakan warga dan pengguna jalan.

Yayak (35), salah seorang warga RT 12 RW 2 Desa Siring Barat yang rumahnya berada persis di depan gorong-gorong, merasa khawatir dengan adanya konsentrasi gas tersebut.

“Kalau ada pengguna jalan yang membuang puntung rokok ke gorong-gorong itu, pasti akan langsung terbakar, rumah saya bisa langsung kena,” kata Yayak.

Ia menuturkan, keadaan tersebut telah berlangsung sebulan terakhir. Bahkan, gas juga telah masuk ke dalam rumahnya melalui retakan-retakan yang muncul sejak dua bulan terakhir. “Bau gas itu menyengat sekali. Kalau malam, saya sekeluarga pusing-pusing,” ujar Yayak.

Hal serupa dialami Sudarti (60). Bahkan, saat ini lantai di rumahnya terasa panas, sementara retakan-retakan di lantai dan tembok rumahnya juga semakin banyak.

Karena kondisi seperti itu, Sudarti tidak lagi berani memasak atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan api karena khawatir terbakar. “Sekarang kalau mau memasak, terpaksa menumpang di rumah tetangga atau beli makanan jadi daripada rumah terbakar,” kata Sudarti.

Sangat mudah terbakar

Dari hasil pengukuran tim pemantau gas Fergaco di sekitar semburan lumpur Lapindo, kandungan low explosive limit (LEL)–gas mudah terbakar jenis metana–di gorong-gorong itu sudah melebihi 100 persen dalam radius 25 meter.

“Artinya, gorong-gorong itu sudah berbahaya dan sangat mudah terbakar jika tersulut api,” ungkap Kepala Humas Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain.

Metana adalah gas yang sangat mudah terbakar. Kandungan metana 5-15 persen di udara sudah cukup untuk menimbulkan ledakan jika ada api. Namun, gas itu tidak beracun jika terhirup.

Meskipun demikian, metana bisa menyebabkan orang mati lemas karena gas itu mengurangi konsentrasi oksigen yang dihirup manusia. Dalam gas tersebut, tidak ditemukan adanya kandungan gas beracun hydrogen sulfide (H2S).

Achmad menjelaskan, sampai saat ini belum dapat dipastikan asal gas yang ada di gorong-gorong itu. “Ada kemungkinan gas berasal dari air yang membawa partikel gas dari sekitar Desa Siring yang mengalir ke gorong-gorong atau memang ada sumber gelembung gas di gorong-gorong tersebut,” katanya.

Saat ini BPLS sedang memikirkan rencana meminimalkan risiko terjadinya kebakaran, apalagi gorong-gorong berada di pinggir jalan utama. Salah satunya adalah dengan memasang pita pengaman di sekitar muara gorong-gorong yang terhubung dengan sebuah kali kecil.

“Selain itu, BPLS akan membuat ventilasi di sepanjang gorong-gorong agar gas dapat keluar dan tidak terkonsentrasi dalam jumlah besar,” kata Achmad.

Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar yang dimintai penjelasan mengatakan bahwa sampai sekarang banyak ahli yang memaparkan teori tentang fenomena keluarnya gas di sekitar luapan lumpur Lapindo.

Namun, salah satu penjelasan yang bisa dipakai tentang munculnya gas di gorong-gorong itu, menurut Andang, adalah struktur bawah tanah yang tertekan akibat materi lumpur yang keluar sehingga mengakibatkan gas ikut keluar ke permukaan dari celah-celah lapisan tanah.

Menurut Andang Bachtiar, satu-satunya cara untuk mengatasi keluarnya gas di gorong-gorong adalah melokalisasi gas tersebut ke lokasi yang aman untuk kemudian dibakar.

“Jika dibiarkan terkonsentrasi begitu saja, akan membahayakan karena mudah terbakar. Apalagi letaknya dekat dengan permukiman penduduk dan jalan raya,” kata Andang.

Saat ini di Desa Siring Barat yang terdiri dari empat RT itu (RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 12) terdapat sekitar 50 titik gelembung gas dan 4 titik semburan air bercampur gas.

Puluhan rumah warga juga retak-retak, yang diduga terjadi akibat subsidence (penurunan tanah). Hal ini diduga kuat berkaitan dengan semburan lumpur Lapindo yang hanya berjarak sekitar 800 meter dari desa tersebut, yang menyebabkan kekosongan dalam tanah. (A13)

Sumber : Kompas


Translate »