Lapindo, Davies, dan Tingay


Kasus semburan lumpur Lapindo kini menghangat lagi. Polisi akan meminta keterangan para ahli untuk membaca laporan pengeboran sumur Banjar Panji I milik PT Lapindo Brantas yang menyemburkan lumpur panas tersebut. Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Rusli Nasution menyatakan dua ahli baru dimintai keterangan bulan depan (Koran Tempo, 28 Juli 2008). Siapa dua ahli itu? Kita tunggu saja.

Yang jelas, perkembangan kasus Lapindo makin hangat lagi setelah sekian lama redup. Pekan lalu, misalnya, masyarakat Indonesia seakan kembali tersedak ketika Dr Mark Tingay dari Curtin University, Australia, menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo terjadi karena kesalahan manusia.

Kesimpulan dari berbagai kajian ilmiah yang dilakukan tim Curtin University, menurut Tingay, menunjukkan bahwa semburan lumpur itu bukan akibat gempa bumi Yogya. Alasannya, gempa Yogya yang berkekuatan 6,3 skala Richter ketika sampai di Sidoarjo getarannya hanya tinggal 2 skala Richter. Kekuatan getaran 2 skala Richter sama dengan gelombang kecil di pinggir kolam. Tak akan bisa memicu perubahan struktur geologis yang menyebabkan munculnya semburan lumpur dari perut bumi Sidoarjo (Koran Jakarta, 24, 25, dan 26 Juli 2008).

Sebelumnya, Richard J. Davies, pakar geologi Inggris, juga mengumumkan hasil penelitiannya tentang penyebab munculnya semburan lumpur panas tersebut. Dengan dedikasi ilmiahnya yang meyakinkan, Davies, ahli geologi dari Department of Earth Science, University of Durham, Inggris, menyatakan bahwa munculnya semburan lumpur panas Sidoarjo bukanlah peristiwa alami, melainkan lebih diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam melakukan pengeboran migas.

Davies dalam makalahnya yang dimuat dalam jurnal Earth Planetary Science and Letters edisi terbaru berjudul “Birth of Mud Volcano: East Java”, 29 Mei 2006, mengungkapkan kesimpulannya yang diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: Lusi (lumpur Sidoarjo) muncul karena adanya tekanan tinggi pada kedalaman 2,5-2,8 kilometer pengeboran migas terbuka, sehingga menimbulkan pecahan pada batu-batuan (lapisan bumi). Lusi menunjukkan bahwa gunung lumpur itu muncul akibat adanya retakan-retakan pada lapisan-lapisan tanah di kedalaman berkilo-kilometer, sehingga menyebabkan air dari lapisan yang amat dalam keluar dan bercampur lumpur pada lapisan-lapisan bumi di atasnya.

Dengan melihat aktivitas semburan lumpur yang telah berlangsung 173 hari (kini 660 hari–Red), kami yakin semburan tersebut akan terus aktif dalam beberapa bulan, bahkan beberapa tahun ke depan. Permukaan tanah di daerah yang terletak beberapa kilometer dari semburan lumpur akan mengalami penurunan (subsidence) dalam beberapa bulan ke depan, dan penurunannya makin parah di daerah yang berdekatan dengan pusat semburan. Dengan membuat model dan pengukuran amblesnya permukaan tanah, akan bisa diprediksi sejauh mana dampak gunung lumpur tersebut terhadap penduduk lokal.

Sebetulnya, apa yang disimpulkan Mark Tingay dan Davies hampir sama dengan apa yang disimpulkan Prof Dr Rudi Rubiandini, Guru Besar Geologi ITB, dan Dr Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Davies dan Tingay, dengan tradisi ilmiahnya yang ketat, baru menyimpulkan setelah melakukan serangkaian studi dan analisis yang panjang dan teliti, baik di lapangan maupun literatur. Makalah Davies bisa dimuat di jurnal geologi terkemuka dunia tersebut setelah tim redaksi jurnal yang terdiri atas para pakar geologi Universitas Durham melakukan kajian mendalam.

Tentu saja, kesimpulan Tingay, Davies, dan sejumlah pakar ITB tidak akan bisa diterima oleh pihak Lapindo Brantas. “Siapa pun bisa membuat interpretasi atau pendapat atas terjadinya semburan lumpur tersebut,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat PT Lapindo Yuniwati Teryana saat dimintai tanggapan atas kesimpulan Davies. Yuniwati menjelaskan bahwa Lapindo telah melakukan kajian dengan para ahli.

Kesimpulannya menyebutkan: pengeboran yang dilakukan sudah sesuai dengan standar pengeboran yang berlaku secara nasional maupun internasional. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang dikenal dekat dengan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo Brantas, menyatakan bahwa laporan hasil penelitian pihak asing tidak bisa mempengaruhi keputusan pemerintah. Pemerintah telah menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional, dan karena itu ganti rugi masyarakat yang terkena dampak diambil dari APBN.

Sungguh mengherankan bila cara berpikir wakil presiden negeri sebesar Indonesia sama dengan Kepala Divisi Humas Lapindo. Padahal, faktanya, bila pengeboran sudah sesuai dengan standard operasi, kenapa ada operator pengeboran yang disalahkan dan dijadikan tersangka oleh kepolisian? Dan publik sejak awal sudah mengetahui dari pendapat para ahli perminyakan bahwa blow out (semburan lumpur tersebut) terjadi karena pada pengeboran di sumur Banjar Panji-1, khususnya pada kedalaman 4.000 feet ke atas, Lapindo “sengaja” tidak digunakan casing (selubung). Akibatnya, ketika ada tekanan tinggi dari dalam yang menimbulkan semburan tersebut, operator Lapindo tidak bisa mengatasinya. Dan akibatnya terjadilah semburan lumpur yang hingga kini sudah berlangsung dua tahun lebih itu. Bagaimana mekanisme munculnya semburan lumpur akibat tiadanya casing tersebut, Tingay, Davies, Rudi, dan Andang mempunyai penjelasan yang nyaris sama.

Memang benar, pihak Lapindo berkukuh pada pendapat bahwa semburan lumpur itu muncul akibat pengaruh gempa bumi di Yogyakarta, dua hari sebelumnya. BPPT dan LIPI secara institusi agaknya pro terhadap pendapat terakhir ini. Meski demikian, sejumlah ilmuwan independen, termasuk para pakar geologi dari ITB dan BPPT sendiri, menolak pendapat tersebut. Bahkan seorang pakar geologi dari IAGI menuduh ilmuwan BPPT dan LIPI yang berpendapat bahwa semburan lumpur itu akibat pengaruh gempa bumi di Yogya sudah terkooptasi oleh pemilik Lapindo, yang notabene Menteri Koordinator Kesra Aburizal Bakrie.

Lantas, mana yang benar? Sampai saat ini pengadilan belum memutuskan siapa yang salah, Lapindo atau gempa bumi. Namun, meski belum ada keputusan pasti siapa yang salah, peraturan presiden yang terkait dengan Lapindo sejak awal menyiratkan bahwa semburan lumpur itu akibat gempa bumi. Dan pemerintah sudah memutuskan bahwa kasus semburan lumpur Sidoarjo adalah bencana alam, sama dengan gempa bumi Yogya. Karena bencana alam, pemerintah yang menanggung segala kerugian akibat semburan lumpur itu dengan dana APBN. Tragis memang, uang rakyat dipakai untuk menanggung kerugian yang amat besar akibat ulah Lapindo. Padahal sebagian besar rakyat Indonesia sangat miskin dan hidupnya sangat menderita.

Wahyudin Munawir, alumnus Geofisika ITB, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, penulis buku Lapindo Gate


Translate »