Korban Lapindo Belum Merdeka


Pada Agustus ini, setiap kali menelusuri jalan raya di Jakarta, kita akan selalu menemukan pemandangan yang membangkitkan jiwa nasionalisme. Di sepanjang jalan, para pedagang bendera Merah-Putih dengan berbagai ukuran sedang menjajakan dagangan mereka.

Bukan hanya bendera Merah-Putih yang menjadi komoditas andalan di bulan Agustus ini, tapi juga berbagai peralatan dan aksesori yang dapat digunakan untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63.

Bulan ini 63 tahun yang lalu, para pahlawan kita gigih berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia, sebuah negara baru yang akan melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

Untuk itulah, sebuah kewajaran pula bila seluruh rakyat Indonesia merayakan hari yang bersejarah itu dengan sukacita. Terlebih ada ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.

Sayangnya, pada tahun ini tidak semua warga memperingati hari kemerdekaan negerinya dengan sukacita. Tak jauh dari Kota Pahlawan Surabaya, tepatnya di kawasan Porong, Sidoarjo, sudah dua

tahun ini ribuan warga kehilangan nafkah, rumah, bahkan juga kehilangan harapan mereka untuk menatap masa depan, akibat semburan lumpur Lapindo.

Adalah Mbok Ma, seorang nenek tua warga Dusun Sengon, Renokenongo, Sidoarjo. Seperti yang ditulis di web korban Lapindo, selama ini nenek tersebut hidup sendiri di rumah yang berukuran 5 x 6 meter.

Nenek itu hidup tanpa pekerjaan dan tanpa uang simpanan di bank. Ia bisa hidup layak dan bahagia sekalipun tanpa kerabat. Itu semua karena ia hidup di Desa Renokenongo.

Kebahagiaan Mbok Ma ini tiba-tiba pudar seiring munculnya semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan kampungnya. Tak hanya rumahnya yang hancur, tapi juga kebahagiannya dalam hidup bertetangga di sebuah desa.

Bukan hanya Mbok Ma yang mengalami nasib tragis. Ada Bapak Yakup beserta istrinya, yang meninggal pada April lalu. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak napas
akibat menghirup gas beracun.

Selain sepasang suami-istri di atas, ada korban lain dari warga Siring Barat. Dia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan, di dalam saluran pernapasannya terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kini kondisi kesehatannya terus menurun.

Selain warga Siring, warga Jatirejo Barat juga mengalami nasib sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada Maret 2008 lalu. Penyebab kematiannya sama, yakni mengalami sesak napas akibat
menghirup gas beracun di sekitar rumahnya.

Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Walhi Jawa Timur menyebutkan bahwa semburan lumpur Lapindo ternyata juga mengandung gas beracun yang berbahaya bila terhirup oleh manusia.

Winarko, seorang warga asli Sidoarjo, bahkan khawatir akan lahir generasi cacat akibat gas beracun dari semburan lumpur Lapindo.

Mbok Ma, Bapak Yakup dan istrinya, Unin Qoriatul, serta warga korban Lapindo lainnya adalah sebagian warga negara Indonesia yang sejak dua tahun yang lalu telah jauh dari kata merdeka. Mereka dihinakan dan dihilangkan nafkahnya, bahkan juga hidupnya, oleh lumpur Lapindo.

Lantas, ke mana perginya negara yang dulu dicita-citakan akan melindungi dan menyejahterakan rakyat? Negara yang seharusnya berada di garda depan dalam memperjuangkan hak-hak warganya ternyata justru “bersujud” di hadapan PT Lapindo.

Sejak awal Lapindo telah melucuti satu demi satu kekuasaan dan kewibawaan negara. Sejak dari proses perizinan, korporasi ini telah membuat negara jadi sangat tak berdaya.

Aturan tantang tata ruang wilayah yang menempatkan kawasan Porong sebagai kawasan permukiman pun dengan mudahnya ditabrak Lapindo. Akhirnya, korporasi itu pun mendapat izin untuk mengeksploitasi kawasan yang kini telah menjadi kubangan lumpur itu.

Untuk mengatasi semburan lumpur itu, semula pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo. Dalam keputusan tersebut secara
jelas disebutkan tanggung jawab Lapindo untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan persoalan sosial yang muncul akibat semburan lumpur.

Regulasi itu kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 14/2007, yang justru berupaya meringankan bahkan menghilangkan tanggung jawab PT Lapindo atas dampak sosial dan lingkungan hidup dari semburan lumpur panas itu. Setidaknya ada dua hal dalam peraturan presiden tersebut yang membebaskan Lapindo dari tanggung jawab tersebut.

Pertama, dalam peraturan presiden itu terdapat pembagian wilayah kelola yang menjadi tanggung jawab negara dan Lapindo (pembuatan peta wilayah yang terkena dampak dan di luar peta terkena dampak). Padahal sebelumnya semua menjadi tanggung jawab Lapindo akibat kelalaiannya melakukan pengeboran.

Kedua, skema penanganan dampak sosial dan lingkungan direduksi menjadi skema jual-beli. Padahal dampak sosial dan ekologi tidak bisa hanya diselesaikan dengan skema jual-beli aset korban.

Kini Perpres No. 14/2007 sudah direvisi lagi menjadi Perpres No. 48/2008. Namun, peraturan baru itu hanya untuk memperluas peta dampak semburan lumpur Lapindo. Roh Perpres No. 48/2008 itu tetap saja menilai bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam sehingga uang rakyat dari anggaran negara harus tetap digelontorkan untuk menyubsidi sebuah korporasi besar yang seharusnya bertanggung jawab atas malapetaka itu.

Negara, yang seharusnya melindungi rakyatnya, kini harus bertekuk lutut pada Lapindo. Sementara dulu Indonesia tunduk pada korporasi Belanda yang bernama VOC, kini negara harus kembali tunduk pada sebuah korporasi yang kebetulan dekat dengan pusat kekuasaan. Sejatinya, tak hanya korban Lapindo belum merdeka, tapi juga negara ini.

Negara belum mampu melepaskan diri dari penjajahan korporasi yang sepak terjangnya merugikan publik. Kasus Lapindo adalah contoh yang baik bagi kita untuk merefleksikan kembali arti kata merdeka.

# Pemerhati Lingkungan Hidup, Bekerja di OneWorld-Indonesia

© Koran Tempo

Translate »