Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang


korbanlumpur.info – Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini, kegundahan menyelimuti perasaan Mutomaroh. Korban Lumpur Lapindo dari desa Kedung Bendo ini dulunya mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas. Sebelum terjadinya semburan lumpur yang kini menenggelamkan desanya, dia mampu memberi tunjangan hari raya (THR) kepada 6 orang anak buahnya.

“Sekarang usaha saya sudah gulung tikar. Memikirkan dana untuk pengeluaran hari raya saja sudah sulit” tuturnya kepadatim media Kanal korban Lapindo.

Meluncurlah kemudian kesaksian Mbak Waroh, demikian ibu muda berusia 30 tahun ini biasa dipanggil, tentang bagaimana usahanya yang harus tutup setelah terjadi semburan lumpur.

Menurutnya, usaha emas yang dulu digelutinya merupakan usaha turun temurun selama beberapa generasi. Keluarganya membuat berbagai macam perhiasan emas, seperti gelang, cincin, anting-anting, kalung dan sebagainya. Semua pekerjaan dilakukan di rumahnya sendiri, yang salah satu ruangannya dirombak jadi tempat produksi.

Sebagian besar pesanan berasal dari pedagang di Bali, disamping dari beberapa tempat di sekitar Sidoarjo. Usaha kecil inibahkan mampu mempekerjakan 6 orang tetangganya di desa. “Setiap bulan, rata-rata keuntungan kami bisa mencapai 15 juta” kenang perempuan yang hanya tamatan SD ini.

Bahkan dari usahanya ini, dia sudah mampu membuat satu rumah sendiri di sebelah rumah orang tuanya. Namun apa hendakdikata, lumpur kemudian menenggelamkan desanya, termasuk tempat usaha dan rumahyang baru selesai dibangun. “Bahkan saya dan suami belum sempat meninggali rumah yang kami beli dengan kerja keras kami sendiri itu,” tuturnya.

Usaha Yang Hilang

Ibu dari dua orang putra ini kemudian menjelaskan, bahwa usahanya langsung berhenti begitu lumpur merendam desa Kedung Bendo pasca ledakan pipa gas pertamina pada November 2006.

Rumahnya yang agak jauh dari tanggul membuatnya dia masih sempat menyelamatkan beberapa peralatan produksi, sepertimesin giling, pemoles dan lainnya. Peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada temannya di Japanan, Pasuruan, dengan harapan nantinya kalau lumpur sudah surut akan bisa dipakai lagi untuk usaha.

Tetapi harapan tersebut tinggal harapan semata, karena alih-alih surut, lumpur semakin membesar dan menenggalamkan desanya secara permanen sampai sekarang. Setelah itu, dia dan keluarga mengungsi bersama sebagian besar korban lainnya ke Pasar Baru Porong. “Kami terpaksa tinggal disana selama 3 bulan lebih, dengan kondisi yang sangat menyesakkan,” kenangnya pahit.

Setelah itu, dia mengontrak rumah di Japanan dengan harapan untuk memulai lagi usahanya. Tetapi keinginan tersebut sekali lagi tidak dapat terwujud. Untuk menyiapkan tempat produksi yang layak dan aman, memerlukan dana yang cukup besar. “Padahal uang tabungan sudah ludes semua untuk kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian,” lanjutnya.

Disamping itu, para pelanggan yang biasanya memberi pesanan kepadanya juga sudah berpindah kepada pengrajin di daerah lain. “Lha wong sebelumnya selama 3 bulan di pengungsian itu kami tidak bisa bekerjasama sekali karena tempatnya tidak memungkinkan,” lanjut Mbak Waroh.

Karena usahanya yang dulu sudah tidak mungkin dikerjakan lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tetapi saya lebih kasihan mikir anak-anak (mantan anak buahnya, red), sebab mereka kondisinya lebih berat dari kami,” katanya.

Dan kenangan akan para mantan anak buahnya itu semakin kuat menjelang bulan ramadhan seperti sekarang ini. Sebab dulunya pada bulan ramadhan dan pada musim liburan merupakan puncak ramainya bisnis yang diageluti. Dan hari raya depan adalah untuk yang kedua kalinya dia lewati tanpa kegembiraan seperti dulu sebelum ada lumpur.

Segera Lunasi Sisa Pembayaran

Namun segala kesulitan ini tampaknya masih akan lebih lama lagi dialami oleh Mbak Waroh dan ribuan korban lumpur Lapindo lainnya. Setelah dua tahun lebih, ternyata Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar uang jual beli tanah warga yang sudah tenggelam oleh lumpur akibat kesalahan pemboran Lapindo itu.

“Padahal, saya itu sebenarnya sudah terima lhodengan model ganti rugi itu, meskipun tidak adil. Tetapi kenapa mereka tidak segera bayar,” ujarnya. Menurut Mbak Waroh ganti rugi yang adil seharusnya menghitung pendapatan yang hilang akibat dia tidak bisa bekerja selama dua tahun ini. Juga kerugian immaterial lainnya seperti semua kesulitan dan ketidaknyamanan hidup yang terpaksa harus mereka alami.

Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak Lapindo menyelesaikan pembayaran sisa 80 persennya secara tunai. “Uang itu nantinya akan kami pakai untuk beli rumah sekaligus memulai lagi usaha kami yang dulu,” pungkasnya.

Semoga tuntutan mbak Waroh dan puluhan ribu korban Lapindo lainnya segera terpenuhi. Agar mereka segera bisa menikmati kebahagiaan dan berbagi senyum di Hari Raya seperti sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo. (ako)

Translate »