Bisnis Para Korban Lumpur Lapindo


korbanlumpur.info  – Terik sekali siang itu, Sunaji (35 tahun) mengumpulkan bata-bata yang masih utuh diantara pepuingan rumahnya di RT 13 RW 03 Renokenongo. Anak pertamanya Arif Baliyah (kelas enam Sekolah Dasar) bermain-main tak jauh darinya.

Tanah di desanya ambles sedalam satu meter lebih setelah dua tahun lebih isi bumi keluar akibat kegagalan pengeboran gas yang dilakukan PT Lapindo Brantas Inc. Akibatnya, sedikit demi sedikit rumah-rumah di Renokenongo runtuh.

Untuk rumahnya Sunaji berpacu dengan lumpur, pilihannya sederhana; menunggu rumahnya dirobohkan lumpur atau dia robohkan duluan. Kalau dirobohkan lumpur jelas dia tak dapat apa-apa, kalau dia yang merobohkan dia masih bisa memanfaatkan sisa genteng, batu-batu, kusen-kusen pintu, besi-besi bekas yang semuanya laku dijual.

Meski sederhana pilihannya, Sunaji, lama memikirkan hal ini. Baru setelah dia kepepet karena dua tahun tak juga dapat uang pengganti rumah dan tanahnya dari Lapindo. Dia lalu merobohkan rumahnya.

Untuk kesekian kalinya Lapindo berjanji untuk membayar uang muka 20 persen sesuai dengan peraturan presiden. Janji terakhir Lapindo hendak membayar tanggal 26 bulan depan namun karena beberapa kali diingkari Sunaji tak berharap banyak.

Mboten tepat, bolan-baleni, semayan terus, tidak tepat, diulang-ulang, mengulur waktu terus,” tutur Sunaji dan matanya mulai berkaca-kaca. “Kudu nangis koyo ngene, ingin menangis kayak gini,” tutur Sunaji.

Pemerintah baik di Sidoarjo, Surabaya ataupun di Jakarta tahu Lapindo yang sering ingkar janji namun mereka tak ambil pusing dengan keluhan warga-warga macam Sunaji.

Menjelang lebaran dan biaya hidup yang meningkat Sunaji menurunkan derajat pekerjaannya. Dulu dia tukang bangunan sekarang dia tukang merubuhkan bangunan. Dari bangunan yang dia rubuhkan dia menjual batu, bata dan besi bekas untuk dijual.

“Bata (bekas) 150.000 Rupiah /seribu, besi 120 rupiah/kilo,” jelas Sunaji.

Sutrisno alias Bagong warga Renokenongo yang lain juga mengalami nasib yang sama, yakni; menjadi pengepul bata bekas.

Luapan lumpur punya siksaan tersendiri bagi Sutrisno. Tiga hari setelah lumpur meluap, tepatnya tanggal 2 Juni 2006, Gamtina, istrinya melahirkan keduanya di pengunsian di balai desa Renokenongo. Untuk mengenang duka ini, Sutrisno menamakan anaknya Alfindo Muhammad Khoiru Zakki.

Rumah Sutrisno sudah remuk diterjang lumpur saat itu dan istrinya nggak bisa bekerja. Usaha kerajinan perak rumahannya juga ikut hilang bersama rumahnya yang roboh. Lapindo memberi ganti gaji untuk karyawan perusahan besar namun usaha rumahan macam yang dipunyai Sutrisno tak dapat ganti apapun.

Setelah lama menganggur dia lalu memutuskan mengumpulkan bata, batu, besi bekas dan menjualnya.

Desa Renokenongo terletak dekat jalan tol Porong-Gempol dan sekarang mati. Desa-desa korban lumpur Lapindo lainnya yang dekat dengan akses jalan raya Surabaya-Malang macam Siring, Jati rejo, Kedungbendo juga menyisakan duka tersendiri bagi warga yang juga tak segera mendapatkan ganti rugi.

Karena dekat jalan raya banyak orang yang penasaran dengan lumpur Lapindo mengunjugi lumpur dari pintu tiga desa itu dan yang paling rame di Siring dan Jatirejo. Ini jadi mata pencaharian tersendiri bagi mereka. Mereka yang kehilangan pekerjaan lalu menawarkan jasa ojek untuk mengantarkan pengunjung mengelilingi tanggul lumpur.

Penghasilan mereka maksimal 50 ribu Rupiah perhari. Ini bukan mengada-ada dan pengen dikasihani. Mereka benar-benar kehilangan pekerjaan dan kalau ada pekerjaan lain mereka juga tak ingin menjadi ojek tanggul.

Ahmad Novik, warga Jatirejo, salah satunya, dia dulu pernah menjadi ojek tanggul tapi setelah mendapat pekerjaan di toko kaca dia tak lagi mengojek.

“Sedikit-sedikit punya penghasilan, jadi nggak enak sama yang tidak punya pekerjaan sama sekali,” tutur Novik. Jumlah pengojek ini lebih dari 200 di lokasi pintu Siring saja.

Warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong, yang belum mendapat ganti rugi, juga punya cara sendiri untuk melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan yang meningkat menjelang lebaran. Ada yang berjualan rujak macam Sapi’iyah (45 tahun) di lokasi pengungsian.

“Ya, cukuplah untuk nambah biaya beli bumbu, sak piro seh koyone bakul rujak. berapa sih penghasilan pedagang rujak?” tutur Rustam suami Mak Pik, sapaan akrab Sapi’iyah. “Paling dapat seratus ribu, itu juga dua hari” terang Mak Pik. Untuk 100 ribu rupiah yang dia dapatkan Mak Pik mengeluarkan 75 ribu rupiah untuk modal.

“Kalau saya punya sedikit, itu juga terus diambil sedikit-sedikit, ada juga beberapa barang yang sudah dijual, tapi yang lain lebih kasihan ada yang sampai harus hutang buat hidup sehari-hari” pungkas Rustam sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Warga Besuki yang mengungsi di Tol Porong-Gempol punya kesulitan hidup sendiri. Warga Besuki terkena dampak lumpur belakangan, tepatnya sejak Febuari 2008, setelah tanggul titik 40 km jebol. Menurut peraturan presiden 48/2008, tanah, bangunan, dan sawah mereka akan dibeli oleh negara dengan uang APBN.

Namun hingga kini realisasi kosong mlompong.

Warga Besuki yang tak hanya kehilangan rumah dan sawah mereka tapi juga pekerjaan. Salah satunya Mashudi, usaha rokok yang dimilikinya gulung tikar akibat lumpur. Perusahaannya bernama HD Bersaudara Jaya dan memiliki 25 karyawan.

“Kebanyakan warga besuk,” tutur Mashudi.

Marsudi memindahkan usahanya di tempat lain namun tak selancar ditempat sebelumnya di desa Besuki yang terkena lumpur. Akibatnya, dia terpaksa mengurangi pekerja untuk menyelamatkan usahanya.

Yang terkena dampak paling pahit adalah karyawan-karyawan yang dipecat ini. Mereka mengatasi kesulitan mereka sendiri dengan mengemis di sepanjang jalan tol atau jadi tukang parkir.

Namun kegiatan meminta-minta ini dilarang oleh fihak kepolisian Sidoarjo. “Tidak boleh minta-minta,” tutur Andi Suyatno, pemuda Besuki berusia 20 tahun, “Polres datang ke sini, mungkin mereka malu,” lanjutnya. [mam/re]

Translate »