Ojek Tanggul, Mengais Rejeki Di Tengah Bahaya


korbanlumpur.info – Sudah dua tahun ini Marsudiono (42 tahun) jadi tukang ojek di tanggul lumpur Lapindo. Baginya bau busuk lumpur, debu, dan terik matahari yang menyengat sudah menjadi sego jangan alias sudah biasa baginya.

Yudi, begitu sapaan akrab Mardudiono, tak tahu kalau luapan lumpur itu mengandung logam berat yang berbahaya macam Cadmium, Chromium, Arsen juga Merkuri. Dia hanya tahu kalau bau itu bisa membahayakan kesehatannya dan sialnya bapak dua anak ini tidak punya pilihan lain saat saya tanya apakah dia tidak takut? “Takut juga, tapi bagaimana lagi kan harus cari duit,” tutur Yudi.

Rumah Yudi dulunya di dekat tugu masuk desa Siring. Di antara tugu dan pintu masuk menuju pusat semburan lumpur, tepatnya, di RT 11 RW 02 nomer 17. Dia menempati rumah seluas 350 meter bersama istri Surotin (39 tahun) dan dua orang anaknya Ryan Priyambodo (17 tahun) dan Yora Lensinawati (12 tahun).

Di rumah tersebut Yudi menyewakan 10 ruangan pada karyawan-karyawan dari luar daerah. Sebelum lumpur meluap Siring merupakan kawasan industri yang cukup sibuk.

“Perkamar 75 ribu sebulannya,” tutur Yudi.

Banyak perusahaan dan salah satu perusahaan yang terkenal adalah PT. Catur Putera Surya (CPS). PT ini mencuat namanya pada tahun 1993-an karena kasus pembunuhan buruhnya yang benama Marsinah karena menuntut kenaikan gaji 20%. Marsinah lalu menjadi salah satu simbol perlawanan buruh.

Tokohnya pernah difilmkan oleh sutradara Slamet Rahardjo Djarot pada 2001. Waktu awal semburan lumpur orang-orang Siring bilang ini karena kualat dengan Marsinah. Tak jelas apa maksudnya. Yudi tak begitu percaya. “Orang hanya menjadikannya guyonan saja,” tutur Yudi.

Kini semuanya telah hilang. Kehidupan bertetangga Yudi, kos-kosannya sebagai penopang hidupnya sekeluarga musnah. Dia sudah menerima 20 persen ganti rugi tanah pekarangan dan rumahnya. Namun itu belum cukup untuk bertahan hidup dia musti bekerja dan itu juga dialami oleh banyak keluarga dari Siring dan Jati Rejo.

Ojek di sekitar luapan lumpur Lapindo menjadi pilihan mereka. Sebanyak 150 orang dari dua desa itu yang kehilangan pekerjaan dan memilih menjadi ojek tanggul dan mengantarkan orang yang penasaran dengan luapan lumpur Lapindo.

Orang-orang dari luar daerah banyak yang penasaran dengan tanggul. Tanggul menjadi lokasi wisata dadakan. Kata ‘wisata’ sebenarnya kurang pas untuk lokasi bencana di mana ribuan orang dipaksa keluar dari tempat tinggal dan merenggut puluhan nyawa. Kata yang lebih pas mungkin ‘ziarah’.

“Ziarah lebih pas agar orang mengingat kalau di tempat ini pernah ada orang yang meninggal dan diusir dari tempat tinggalnya,” tutur Yudi.

Tarifnya bervariasi tergantung jauh dekatnya putaran. Paling mahal 50 ribu untuk mengelilingi seluruh tanggul yang meliputi empat desa. “Biasanya butuh waktu empat jam,” tutur Yudi.


Translate »