Kali Porong Tercemar, Produksi Tambak Permisan Menurun Tajam


tambakkorbanlumpur.info – Pembuangan lumpur ke Kali Porong tidak hanya mengakibatkan pendangkalan. Tambak-tambak yang berada di sekeliling sungai juga terkena dampaknya. Muhammad Erik (23), warga Desa Permisan, Kecamatan Jabon, menuturkan penghasilan tambaknya menurun tajam.

Seperti sebagian pemuda Desa Permisan lainnya, Erik lebih menggeluti tambak ketimbang pekerjaan lain. Maklum, luas tambak mencapai 90% dari total luas desa dan bertambak menjadi tumpuan hidup warga. Kalau Sidoarjo punya ikon udang dan bandeng, warga Permisan bisa berbangga menjadi salah satu penyumbangnya.

Erik dan ayahnya Muhammad Kisom (48 tahun) menggarap tambak keluarga mereka seluas tiga hektar. Biasanya mereka memelihara bandeng dengan cara tradisional. Permisan memang cocok untuk tambak karena airnya menyediakan ganggang yang cukup untuk pakan bandeng di tambak mereka. Pakan tambahannya paling banter rumput dan tak perlu biaya banyak untuk mendapatkannya.

Modal yang paling besar yang mereka keluarkan adalah untuk pembelian nener (bibit bandeng). Untuk tambak mereka biasanya mereka isi 30 rean (satu rean: 5000 ikan), dengan harga dua juta rupiah.

Bandeng-bandeng ini bisa besar dengan memakan ganggang tanpa menggunakan pakan buatan pabrik dan obat-obatan kimia. “Tidak perlu (obat-obatan), ganggang seharusnya mencukupi untuk kebutuhan pakan bandeng,” kata Erik.

Setelah empat bulan Erik bisa memanen bandeng-bandengnya. Hasilnya rata-rata satu ton. Biasanya, kalau musim hujan hasilnya lebih baik. Harganya berkisar antara lima belas hingga delapan puluh ribu rupiah per kilogram.

Pengalaman itu terjadi sebelum adanya bencana lumpur Lapindo, setelah lumpur meluap dan menenggelamkan desa tetangga mereka, Renokenongo. Lumpur seperti mimpi buruk bagi Erik dan petambak-petambak lainnya. Situasinya memburuk, hal ini semakin parah setelah lumpur dialirkan ke laut melalui sungai Porong. Air sungai yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tambak mulai berubah.

“Airnya kehijau-hijauan dan baunya jadi banger, menyengat,” jelas Erik.

Dampak langsungnya kontan dirasakan Erik dan petambak-petambak lainnya, bandeng-bandengnya jadi mudah mati dan yang masih hidup pertumbuhannya lambat. Akibatnya, waktu panennya semakin panjang. “Dulu kita bisa panen tiga kali dalam setahun, sekarang kalau bisa dua kali saja sudah bagus,” tambahnya.

Belum lagi bobot panennya juga menurun drastis. Sebelum ada lumpur mereka bisa memanen 1 ton kini mereka hanya mampu memanen kurang dari separuhnya.

Ini belum lagi pasar yang takut membeli bandeng dan udang yang diproduksi dari tambak-tambak dekat lokasi aliran lumpur. Yang paling takut adalah konsumen luar. Menurut situs Walhi, di Eropa yang biasanya memesan 3 kontainer udang dari Sidoarjo perbulannya kini membatalkan pesanan mereka. Konsumen Jepang juga mulai was-was dengan udang impor dari Sidoarjo. [re/mam]


Translate »