Kasus Lapindo dan Gubernur Jatim


 

Skema penyelesaian masalah sosial kasus lumpur
Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007, terbukti tidak efektif. Aturan
Perpres No 14 Tahun 2007 menimbulkan tafsir bermacam-macam. Realisasinya
berbelit dan tidak konsisten. Esuk dele, sore
tempe,
bengi
tempe njamur, esuk maneh

tempe
bosok… dst.

Korban Lapindo yang manut resettlement disediakan tanah sengketa, seperti
terjadi di Desa Sumput, Sukod
ono,
Sidoarjo.

Ada

yang menangis karena hanya menerima kunci di hadapan pejabat pemerintah dan
wartawan, tapi ternyata rumahnya belum ada.

Penyelesaian masalah sosial yang diserahkan kepada Lapindo memunculkan
masalah sosial baru dengan adanya praktik ‘angsuran’ yang macet itu. Lapindo
pastilah akan mati-matian mempertahankan kebenaran versi dirinya dan menganut
prinsip dan motif ek
onomi
konvensional kapitalisme. Tetap saja kalah dengan Perum Pegadaian yang
menerapkan prinsip: “Menangani masalah tanpa masalah.”

Nasib korban Lapindo diserahkan kontraktor swasta, disuruh transaksi dengan
kontraktor. Pemerintah menugasi Lapindo, lalu Lapindo menunjuk PT MLJ, lantas
PT. MLJ menunjuk PT. WAR. Dioper-oper, tidak langsung ditangani negara. Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) masih kalah perbawa dengan Lapindo.

Praktik penanggulangan masalah sosial seperti itu melanggar prinsip Pasal 28
I ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah. Pemerintah diam ketika tahu nasib korban Lapindo dioper-oper
menjadi barang dagangan.

Jika praktik ini terus dipertahankan, nasib korban Lapindo tak akan
terselesaikan hingga tiga tahun ke depan. Jika mau digugat, seluruh kekayaan
Grup Bakrie yang terkaya di Asia Tenggara itu tak akan cukup mengganti kerugian
imateriil (moril) korban Lapindo.

Bersabar adalah resep paling gampang. Setelah

lima
tahun, korban Lapindo bisa menggugat.
Tunggu hukumnya bertambah baik.
Para hakim
yang 90 persen korup itu sudah banyak yang mati. Grup Bakrie akan kalah di
pengadilan, seperti ExxonMobil, korporasi raksasa Ame
rika.

Tahun 2008 ini, Exxon kalah di Mahkamah

Agung
AS

sendiri lawan penduduk Aceh, dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh. Tentu ini
juga sindiran bagi penegak hukum

Indonesia
yang sering menjadi
gedibal korporasi hitam.

Gubernur Baru
Gubernur Jawa Timur (Jatim) masih memerintah dengan

gaya
lama. Tidak progresif. Ia tunduk kepada
Perpres dibandingkan UU, meski UU derajatnya lebih tinggi dibandingkan Perpres.
Sama halnya bupati Sidoarjo, yang memilih Perpres No 14 tahun 2007 dibandingkan
kewajibannya menurut Pasal 14 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(jo. UU No. 12 Tahun 2008).
Gubernur Jatim sebenarnya bisa mengambil-alih penyelesaian kasus Lapindo.
Dasarnya Pasal 25 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo.
Pasal 13 UU  No. 32 tahun 2004. Data kasus itu sudah banyak
tersedia. 

Gubernur Jatim seharusnya mengeluarkan keputusan agar Lapindo Brantas Inc
dan induk korporasinya menanggung seluruh biaya penanggulangan kerusakan
lingkungan hidup. Paradigma baru ekologi bukan lagi soal pohon, kecebong, ikan
dan lain-lain nonmanusia. Tapi aktor utamanya berupa manusia juga menjadi
bagian penting.

Dalam keputusannya itu, gubernur Jatim menetapkan bahwa pelaksana
penanggulangan masalah lingkungan akibat semburan lumpur Lapindo adalah Pemprov
Jatim dengan dana talangan Pemprov Jatim  yang dimintakan ganti kepada
Lapindo dan induknya.

Jika Pemprov Jatim tak punya cukup uang, bisa menggalang donasi
internasional dan pinjaman sosial tanpa bunga yang akan diganti bertahap hingga
20 tahun ke depan, sambil menagih Grup Bakrie. Kalau Grup Bakrie tak mau
membayar ya dipaksa melalui hukum dan politik ek
onomi.
Masak negara kalah lawan partikelir?

Sedangkan Perpres No 14 tahun 2007 dan No 48 tahun 2008 dianggap (ditafsir)
sebagai pelengkap. Jika menjadi konflik pemerintah pusat dengan daerah, yang
penting korban Lapindo diselesaikan dulu. Soal konflik dihadapi saja sambil
berjalan. Risiko hukum dan politik dihadapi, seperti Presiden SBY, yang berani
menghadapi risiko hukum dan politik dalam membatasi tanggung jawab Lapindo.

Beranikah gubernur Jawa Timur yang baru nanti? Dijamin: TiDAK AKAN BERANI.
Ini menyangkut mental politisi pada umumnya, yang memilih bersahabat dengan
konglomerat. Sikap abu-abu politisi

Indonesia
seperti itu biasanya bawaan
ketika masih mahasiswa, akademisi atau aktivis.Tak berani terus terang melawan
korporasi penindas, tapi malah minta dana proyek, program atau pekerjaan.

Jika prediksi saya ini meleset, alhamdulillah, saya akan jungkir balik 10
kali di Taman Bungkul! Mohon ingatkan saya nanti! Mari kita lihat!

Tentang penulis:
Subagyo, ketua Departemen Advokasi LHKI Surabaya.

 


Translate »