Pengumpul Bata Bekas, Mengais Reruntuhan untuk Bertahan


Mereka tahu, pekerjaan itu sangat tidak layak bahkan berbahaya. Tapi tuntutan untuk menyambung hidup dan menghidupi anggota keluarga memaksa mereka menjalani pekerjaan itu. Manat mengais batu bata bekas dari puing-puing rumah yang sebelumnya berdiri kokoh. Rumah-rumah itu telah ditenggelamkan oleh air berwarna kemerahan yang keluar bersama semburan lumpur Lapindo.

Ini jelas beresiko. Kandungan zat berbahaya pada air yang menggenangi desa Manat terbilang sangat tinggi. Lewat sebuah penelitian, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan adanya kandungan senyawa-senyawa yang tergolong polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) dalam lumpur Lapindo. Ini termasuk senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

Senyawa tersebut memang tidak secara langsung menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker. Tetapi, dalam sistem metabolisme tubuh, ia akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker. PAH juga bisa mengakibatkan kanker paru-paru, kanker kulit dan kanker kandung kemih.

Penelitian tersebut juga menghasilkan temuan yang sangat mencengangkan mengenai besarnya zat berbahaya itu. Bayangkan saja, kadar PAH (chrysene dan benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali di atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Pada angka di atas ambang normal saja efek dari kontaminasi dengan senyawa berbahaya tersebut dapat terasa dalam waktu 5-10 tahun.

Tapi Manat agaknya tidak punya pilihan lain. Ia harus memilih bekerja dengan resiko besar kematian akibat kanker. Pabrik tempatnya dulu bekerja telah hilang terendam lumpur. Sedangkan ia harus mempertahankan kelangsungan hidup orang-orang yang disayanginya, istri dan anak-anaknya. “Anak saya tiga, Mas. Dan semuanya masih sekolah. Yang pertama sudah SMP, yang kedua SD, dan yang terakhir masih TK. Butuh makan juga,” ungkap Manat.

Dari pekerjaannya ini, Manat bisa mendapatkan uang sebesar 150 ribu rupiah untuk setiap 1.000 buah batu bata bekas yang dikumpulkan dan dijualnya. Tapi ini tidak mudah. Manat tidak dapat lagi mengumpulkan batu bata bekas ketika matahari telah sedikit meninggi. Sebab, air yang harus dilaluinya akan menjadi panas. “Di bawah air ini sudah ada lumpurnya, Mas. Lumpur panas malah. Sepertinya lumpur panasnya sudah dialirkan ke sini. Dan kalau ada panas matahari, ya sudah, panas ketemu panas,” tutur Manat.

Ahmad, 30 tahun, adik kandung Manat juga mengalami hal nyaris serupa. Ia juga harus menghidupi istri dan kedua anaknya yang sekarang masih tinggal di Pasar Porong Baru. Bersama dengan Manat, sang kakak, Ahmat mengais-ngais sisa bahan bangunan untuk dijual sebagai mata pencaharian. “Kita sih juga tahu, Mas, gimana bahayanya bersentuhan dengan air ini. Kalau gatal-gatal dulunya iya, tapi sekarang sudah kebal. Nggak kerasa lagi,” ujar Ahmad.

Kemalangan Manat dan Ahmad tak cukup sampai di situ. Selama dua tahun lebih ini, mereka belum mendapatkan kompensasi serupiah pun atas tanah dan rumah mereka yang ditenggelamkan Lapindo. Pembayaran uang muka 20 persen oleh PT. Minarak Lapindo Jaya, yang sudah lewat dua bulan lebih dari kesepakatan, belum juga terbayarkan.

Belum hilang kebingungan mereka soal waktu pembayaran yang terus menerus diulur tanpa kejelasan, Manat mendapatkan kabar bahwa pembayaran ganti rugi rumah dan tanahnya akan dicicil oleh PT. MLJ. Mereka akan diberikan uang sejumlah 15 juta rupiah sebagai cicilan. Itu pun sisanya tidak jelas akan dibayar kapan. Manat seharusnya mendapatkan 60 juta rupiah dari ganti rugi tanah dan rumahnya sebesar 20 persen tersebut. “Sebagian warga sudah menerima 15 juta di rekening mereka. Sebagian lagi belum juga dapat, termasuk saya,” kata Manat. PT. MLJ menjadikan krisis keuangan global sebagai dalih untuk menunda-nunda pembayaran.

Upaya Manat bersama ratusan keluarga lain dari Desa Renokenongo menuntut pembayaran 20 persen dengan cara menutup akses pembangunan tanggul harus berbenturan dengan keinginan BPLS untuk melanjutkan penanggulan di desa tersebut. Aksi penutupan tanggul pun dihentikan pada hari Sabtu (22/11). Jebolnya tanggul yang menyebabkan terendamnya 5 RT di Dusun Risen Desa Glagaharum menambah patah upaya tersebut.

Kondisi itu membuat potensi konflik horisontal semakin besar antara kedua desa. “Warga Risen kemarin itu sudah siap-siap untuk menyerang kami. Sudah ada yang bawa macam-macam (senjata tajam, Red). Mereka tidak terima tanggul jebol dan air hujan merendam desa mereka. Jadinya ‘kan kita bermusuhan sama saudara sendiri kalau begitu,” keluh Manat. [mas] 


Translate »