Benang Kusut Lumpur Lapindo


Sejak Mei 2006 atau dua tahun tujuh bulan sejak menyemburnya lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, belum seluruh persoalan tertuntaskan, terutama persoalan sosial dan lingkungan akibat semburan. Bila diumpamakan benang, lumpur Lapindo ibarat benang yang kusut berkepanjangan.

Persoalan utama dampak semburan lumpur Lapindo adalah ganti rugi tanah dan bangunan milik ribuan warga yang terendam lumpur sehingga harus mengungsi. Sejauh ini, bos Lapindo, Aburizal Bakrie, menyatakan telah menghabiskan Rp 3,5 triliun hanya untuk membayar ganti rugi. Namun, pembayaran ganti rugi belakangan ini tersendat. Diduga, pemicunya adalah krisis keuangan global yang mengakibatkan kekayaan Grup Bakrie menguap hingga menyisakan 10 persen saja, seperti yang dikatakan Aburizal.

Meskipun demikian, PT Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo Brantas Inc yang bertugas menyelesaikan ganti rugi korban lumpur) berulang kali menegaskan akan menuntaskan pembayaran ganti rugi. Sejauh ini, iktikad baik itu terlihat dengan masih berlangsungnya proses pembayaran ganti rugi meski kerap tersendat dan dicicil.

Kenyataannya, tak semua dari sekitar 13.000 korban lumpur merasa puas. Sebagian memang sudah merasa tenang dengan menerima ganti rugi tanah dan bangunan. Namun, sebagian yang lain belum menerima ganti rugi sama sekali, yaitu sekitar 1.400 pemilik berkas termasuk warga Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, yang tinggal di pengungsian Pasar Porong Baru.

Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengingatkan pemerintah pusat agar menyiapkan skenario terburuk jika Minarak benar- benar tidak memiliki dana untuk ganti rugi. Skenario itu adalah pilihan dana talangan dari APBN sebagai ganti rugi korban lumpur. Syaratnya, kata Jalaluddin, Minarak harus memberi jaminan kepada pemerintah bahwa suatu saat mereka sanggup membayar atas dana talangan yang dikeluarkan.

Rupanya sebagian korban lumpur enggan mengerti kondisi keuangan Lapindo. Menurut Wakil Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo Pitanto, warga tidak paham jika disodori penjelasan bahwa saham-saham Lapindo berjatuhan di lantai bursa sehingga bangkrut dan pembayaran ganti rugi tersendat. “Kami tidak mengerti soal itu. Yang jelas, tanah dan rumah kami terendam. Kami hanya menginginkan ganti rugi yang menjadi hak kami, tidak peduli uang itu dari mana,” ujarnya.

Persoalan lain yang tidak boleh luput dari perhatian adalah dampak lingkungan akibat semburan lumpur Lapindo. Hingga saat ini lumpur masih menyembur sebanyak 100.000 meter kubik per hari. Sebagian lumpur itu dibuang ke Sungai Porong. Dampaknya sudah mulai terasa, yaitu usaha tambak di bagian hilir sungai tercemari endapan lumpur yang mengandung gas berbahaya. Selain itu, endapan lumpur belum seluruhnya hilang dari Sungai Porong yang mengakibatkan terganggunya aliran sungai menuju laut.

Apakah pemerintah harus turun tangan sepenuhnya? Mungkin juga tidak, seperti yang dikatakan Kepala Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Soenarso. “Yang diurusi pemerintah tidak hanya lumpur Lapindo,” katanya. Jawaban yang masuk akal. Apalagi, pada 2009 seluruh pejabat negeri ini akan disibukkan hajatan besar bernama pemilu.

Sampai saat ini belum ada jawaban bagaimana penyelesaian semburan lumpur Lapindo dan kapan berakhirnya. Persoalan ini ibarat benang kusut yang memerlukan tidak hanya satu tangan untuk dapat mengurainya.

ARIES PRASETYO (Dimuat pada Catatan Akhir Tahun Kompas, 30 Desember 2008)


Translate »