Korban Lumpur Lapindo, Terabai Hingga Akhir Hayat


Dalam keadaan sakit kronis yang dideritanya, Bu Jumik terpaksa  harus menjalani hari-harinya di pengungsian. Rumahnya di Desa Renokenongo sudah terkubur lumpur selama sekitar 2 tahun. “Rumah ibu saya itu terendamnya habis ledakan pipa gas Pertamina, tapi mengungsi di sini sudah sejak semburan pertama. Waktu itu baru air yang menggenangi rumah,” ujar Sugiyat, 32, anak tunggal Jumi.

Sudah sekitar 6 bulan ini Bu Jumik hanya mampu terbaring lemah di tempat salah seorang adiknya, juga di pengungsian Pasar Porong Baru. “Sebelum sakit, tinggalnya di los-los yang enggak ada temboknya itu, yang di sebelah musolla. Tapi sejak sakit saya tampung di sini,” tutur Sutari, adik kandung Bu Jumik. Bu Jumik didiagnosa mengidap penyakit kanker dan tumor ganas. Bu Jumik pertama kali merasakan sakit pada pertengahan Juni 2008 lalu. Setelah dirawat 2-3 hari di RSUD Sidoarjo, perut Bu Jumik tiba-tiba membesar, seperti orang hamil.

Setelah dua minggu menginap di rumah sakit dan keluarganya tak sanggup lagi menanggung biaya, Bu Jumik akhirnya dibawa kembali ke pengungsian. Lagi pula kesehatannya tak jua membaik. “Akhirnya kami ngasih pengobatan alternatif buat ibu. sudah banyak yang kami coba, dari berbagai tempat malahannya,” ujar Sugiyat lagi.  

Baru  pada September kemarin, Bu Jumik melaksanakan operasi untuk mengangkat tumor dan kanker ganas diperutnya tersebut. Untuk pembiayaan dan pengobatan, Bu Jumik sama sekali tidak mendapat tunjangan atau pun bantuan apa-apa yang mereka dapatkan dari pemerintah apalagi Lapindo. “Biayanya yah ditanggung sendiri, Mas. Ada juga dari pinjaman orang lain. Waktu itu kita musti nyari pinjaman untuk membayar biaya operasi ibu,” tutur Sugiyat kembali.

Namun setelah beberapa waktu setelah operasi perut Bu Jumik kembali membesar. “Kata dokter akar kankernya masih ada dan menyebar ke seluruh badan.dokternya yang di Sidoarjo juga sudah ngomong nyerah. Disuruh bawa ke surabaya, tapi karena tidak ada biaya lagi, kami tidak bawa ke Surabaya. Kami hanya lanjutin pengobatan alternatifnya,” tambah Sugiyat. Sebelumnya Bu Jumik juga pernah menjalani operasi hernia yang sudah dideritanya selama satu setengah tahun.

Ketika ditanyai, pihak keluarga menyatakan tidak curiga jika ada kaitan antara kandungan zat berbahaya dari semburan lumpur  Lapindo dengan penyakit yang diderita Bu Jumik. Padahal pemberitaan dan informasi mengenai hal ini sudah sangat banyak. Untuk senyawa yang tergolong polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang terkandung dalam lumpur Lapindo saja sudah mencapai 2000 kali di atas ambang batas.

Senyawa ini tergolong sangat berbahaya jika terkontaminasi dengan manusia karena bersifat karsinogenik. Senyawa tersebut tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, tetapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker.

Salah seorang adik Bu Jumik hanya berujar penyakit kakaknya disebabkan oleh stres karena memikirkan masalah ganti rugi yang tak kunjung terbayar dan lokasi pengungsian yang tidak layak. ”Sebelum semburan lumpur Lapindo ini terjadi ibu saya sehat-sehat saja. Segar bugar malahan. Dulunya beliau kan menjual bakso sehari-harinya,” tutur Sugiyat.

Bu Jumik adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Dan semua saudaranya yang lain juga menjadi korban lumpur Lapindo. ” Saudaranya ada sembilan orang, Mas. Baru satu itu yang meninggal. Yang lain masih hidup dan juga rumahnya terendam lumpur Lapindo. Sebelum meninggal Bu Jumik berpesan lewat suaminya, ”Jadi anak nggak boleh berani sama orang tua. Dia juga ngomong saya mau ikut siapa kalau dia sudah tidak ada?” tutur Supardi, suami Bu Jumik. ”Sebelum meninggal malamnya itu dia ngomong kayak gitu sambil memeluk saya sekenceng-kencengnya,” kenang Supardi. [mas]


Translate »