Ayu Anita, Potret Anak Korban Lumpur Lapindo


 

Ayu Anita nama gadis itu, orangnya mungil dan cantik, kulitnya putih, tutur katanya pelan. Dia seorang yang pendiam, mungkin ingin menyembunyikan kepedihannya yang kelam.

Saat saya mengunjunginya malam tadi dia sedang menengok orangtuanya yang sudah sakit-sakitan di pengungsian Pasar Baru Porong. Ibunya menemani kami ngobrol, adik-adiknya bermain di sekitar bilik pengungsian yang sempit dan panas.

Dua minggu sekali dia menengok mereka, sekedar membagi sedikit kelebihan rezeki yang dia kumpulkan bersusah-payah.

“Sehari saya dapat sepuluh ribu, sejak dua tahun lalu tak pernah naik,” tutur Ayu.

Ayu bekerja di sebuah warung kopi sederhana di Pasar Wisata Tanggul Angin sejak dua tahun lalu. Keputusan untuk bekerja diambilnya setelah lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya di Renokenongo. Tak hanya menenggelamkan rumah tapi juga merenggut lahan pertanian yang selama ini disewa bapaknya Kayat untuk penyambung hidup. Setelah bencana itu, Mutmainah, ibunya, juga tak lagi bisa bekerja sebagai pedagang kupang, sejenis kerang kecil. Saat itu Ayu masih duduk di bangku kelas I MA Khalid bin Walid.

Setelah lumpur menenggelamkan desa Renokenongo. Pasangan Kayat dan Mutmainah beserta 6 anak-anaknya mengungsi di Pasar Baru Porong bareng ribuan warga korban lumpur lainnya.

Sejak tinggal di pengungsian Ayu tak lagi bisa berangkat sekolah, alasannya, banyak; dia tak punya sepeda untuk ke sekolah yang jaraknya 3 km, orangtuanya tak punya uang untuk membayar sekolah, adik-adiknya perlu makan dan bapak-ibunya tidak lagi bekerja.

Maka seorang kawannya menawari Ayu untuk bekerja di sebuah warung kopi, Ayu tidak dapat menolaknya. Hingga sekarang Ayu masih bercita-cita ingin menyelesaikan sekolahnya tapi keadaan memaksanya untuk tetap bekerja. [mam]


Translate »