Lumpur Juga Rusak Sekolah


Perkawanan mereka retak sejak bencana lumpur Lapindo, dua tahun setengah tahun lalu. Desa mereka terendam lumpur dan mereka ikut orang tua mereka mengungsi di Pasar Baru Porong yang jauhnya 2 kilometer.

“Saat di desa, kita hanya butuh sepuluh menit ke sekolah,” tutur Umi.

Umi Kelas 3 Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid, sedang Ayu yang lebih muda masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). Berangkat sekolah dari pengungsian menjadi masalah yang berat bagi kedua siswa ini. “Yo, jaraknya jauh, naik sepeda pancal,” tutur Umi.

Jarak ini pula yang memicu rusaknya perkawanan Umi dan Ayu. Awalnya, sepeda ontel Umi rusak kemudian dia berangkat sendiri nebeng dengan kawannya. Ayu lantas tak masuk sekolah karena ini. Dia menganggap Umi tak mau lagi berangkat bareng. Selain itu Ayu juga merasa merepotkan.

Ayu dan ibunya marah pada Umi dan sampai berhari-hari setelah itu mereka saling tidak sapa. Setelah itu Ayu tidak mau sekolah lagi dan Umi merasa bersalah. Menurutnya, Ayu berhenti sekolah karena dia meninggalkannya.

Umi lantas menanyakan hal ini pada Ayu. Ayu menjelaskan tak punya sepeda memang jadi persoalan bagi sekolah Ayu, namun masalahnya tak hanya itu: orangtuanya juga sudah tidak mampu lagi mengongkosi sekolah Ayu.

Menurut Ali Mas’ad, Kepala Madrasah Aliyah Khalid bin Walid, biaya bulanan sekolah ini digratiskan. Siswa hanya diharuskan membayar biaya semesteran sebesar Rp. 20.000 dan orangtua Ayu tak mampu membayar biaya ini. Setelah tiga bulan mengungsi di Pasar Baru Porong, Ayu akhirnya memilih untuk berhenti sekolah.

“Ayu pernah bilang pengen menamatkan Tsanawi (setingkat Sekolah Menengah Pertama), tapi mau bagaimana lagi, nggak ada dana,” tutur Umi.

Umi sempat merayu Ayu supaya mau sekolah lagi namun Ayu menolak. Cita-cita yang sederhana ini berat untuk pasangan Kayat dan Mutmainah, ayah dan ibu Ayu. Kayat bekerja sebagai buruh tani dan Mutmainah adalah pedagang kupang, jenis kerang kecil. Ayu adalah salah satu dari delapan anak pasangan ini.

Mereka berdua menjadi pengangguran setelah lumpur Lapindo merendam Desa Renokenongo. Ayu merasa tidak mungkin lagi untuk mewujudkan cita-citanya. Dia lebih memilih untuk bekerja menjadi pelayan warung kopi di kawasan Pasar Wisata, Tanggulangin untuk membantu menghidupi keluarganya.

Ayu keluar sekolah dua tahun lalu dan sekarang kondisinya makin buruk. Gedung sekolah Khalid bin Walid, tempat Ayu sekolah, sejak bulan lalu tak bisa digunakan lagi karena terendam air-lumpur.

“Ini sudah ketigakalinya dan kami menyerah karena Renokenongo sudah ditanggul,” tutur Ali Mas’ad.

Banyak siswa yang keluar sekolah karena bencana lumpur ini karena para siswa ini mengikuti orang mengungsi dari lumpur. Siswa-siswa yang masih bersekolah dipindahkan ke Desa Gelagaharum menempati sebuah gudang toko bangunan UD. Sakinah milik Christina, istri mantan kepala desa Glagaharum.

***

Di sektor pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat setidaknya ada 28 sekolah Taman Kanak-kanak (TK), 33 sekolah non TK, dan dua pondok pesantren rusak akibat lumpur dan hingga saat ini tidak mendapatkan penanganan serius. Sebagian sekolah ini tutup dan sebagian masih aktif dengan nebeng ke gedung sekolah lain.

Kalau mau dicari contoh sekolah yang nebeng ini bisa banyak sekali, sebut saja: TK Ma’arif Jatirejo, Sekolah Dasar Negeri II Jatirejo, MI Ma’arif Jatirejo, MTs dan MA Abil Hasan Asazili Jatirejo, SDN I Kedung Bendo, SDN I, SDN II dan SDN III Kedungbendo serta SMP Negeri II Porong.

SMPN II Porong kini nebeng di gedung SMPN I Porong. “SMP I masuk pagi dan SMP II masuk siang,” tutur Muhammad Nuri, Staf Humas SMP II Porong.

Hampir semua aset milik SMP II hilang terendam lumpur, mulai meja-kursi, laboratorium, lapangan olah raga dan hingga buku-buku pelajaran tak banyak yang bisa diselamatkan.

“Semua sarana laboratorium, ruang guru, kelas, sirna,” tutur Kayis, Kepala Sekolah SMPN II Porong.

Tak hanya sarana yang hilang ditelan lumpur namun SMP II juga banyak kehilangan siswanya.

“Kelas 3 yang lulus (tahun ajaran lalu) hilang satu kelas. Sedang Kelas 3 yang sekarang juga hilang satu kelas,” tutur Diantoro (49 tahun), bagian kesiswaan SMP II. Diantoro menjelaskan masing-masing kelas biasanya diisi 35-40 siswa.

Banyak guru yang mengeluhkan jam pelajaran sore semacam ini karena energi siswa dan pengajar sudah tinggal sisa dan membikin konsentrasi siswa dan gurunya menurun selain itu jam pelajaran juga tidak maksimal.

Waktu masuk pagi para guru mengajar 40 menit per jamnya kini harus disunat 5 menit tiap jamnya biar bisa pulang tepat jam 5 sore.

Perubahan ini banyak mempengaruhi prestasi belajar siswa dan prestasi-prestasi lainnya di bidang olah raga. Selain itu ketiadaan fasilitas semakin memperburuk prestasi belajar siswa. “Dulu Bahasa Inggris bisa praktek di laboratorium, sekarang tidak,” tutur Kayis.

Sekolah-sekolah lain yang terendam lumpur Lapindo nasibnya lebih buruk lagi. SD Kedungbendo I, misalnya, sejak Januari 2007 nebeng di SDN I Ketapang. Jumlah siswa mereka turun drastis dari 571 siswa menjadi 87 siswa, bahkan, Kelas 1 dan Kelas 2 sekarang tidak ada siswanya.

“Kelas 3 ada 28 orang, kelas 4 ada 20 karena ikut orangtuanya yang pada ngungsi, tutur Kholil (56 Tahun), guru SDN I Kedung Bendo, “Kelas 5 ada 18 orang, Kelas 6 ada 21 orang.”

Lapindo sebagai biang bencana ini tidak ada perhatian sama sekali. Apalagi kompensasi. “Sebenarnya beberapa kali sudah ada pembicaraan dengan pihak Lapindo. Tapi urusan ini adalah wewenang kepala sekolah. Tapi mereka, ya, ngomongnya gitu-gitu aja. Tidak ada realisasinya. Kalau mau dihitung kerugian materil dari pihak sekolah sangat banyak. Alat peraga, bangku-bangku sekolah, buku-buku paket program BOS–untuk buku itu saja nilainya sekitar 20 juta lebih. Belum arsip-arsip sekolah yang juga ikut tenggelam. Kami sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi, Mas. Ya sudah biar begini-begini saja,” tutur Kholil.

Akibat luapan lumpur Lapindo SDN Kedungbendo III juga menanggung kerugian yang tak sedikit. Murid mereka yang berjumlah 553 orang sebelum luapan lumpur tersisa cuma 30 orang setelah luapan lumpur.

Karena sekolah mereka terendam kini mereka nebeng di SD Ketapang I awalnya.

“Namun setelah di sana juga kena luberan lumpur, jadinya dipindahkan lagi ke sekolah ini (SDN Kalitengah I). Karena di sini hanya ada 6 kelas, maka siswa dari SD kami harus masuk siang,” tutur Muslimin, salah seorang guru SDN III Kedungbendo. “Kelas 1 sampai Kelas 4 tak ada siswanya. Sementara gurunya dulu 15 orang kini tinggal tiga orang.”

Dinas Pendidikan hanya menyuruh pindah SD Ketapang I tanpa berusaha mengatasi persoalan ini. Sementara Lapindo sama sekali tak menaruh perhatian. “Pembicaraan sebenarnya sudah ada, tapi mau gimana lagi, ya, Mas. Nggak ada realisasinya. Kita sih nggak mengharapkan apa-apa. Kita juga bertahan di sini untuk menghabiskan murid saja,” tandas Muslimin pasrah.

***

Syamsuddin Halim biasa dipanggil Pak Udin adalah guru muda di Madrasah Ibtida’iyyah (MI) Ma’arif Jatirejo dan Madrasah Aliyah (MA) Hasan As-Sadzili Jatirejo. Dia guru swasta di sekolah swasta yang terendam lumpur. 

Honor atau biasa disebut bisyaroh di sekolah swasta tempat Pak Udin mengajar tergantung dengan jumlah siswa yang dia ajar. Di MI Pak Udin mengajar enam jam. Sebelum bencana lumpur dia mendapatkan Rp. 8.000 perjamnya dan kini menjadi Rp. 6.000. Total dia memperoleh 36.000 per bulan.

“Transport dan makan tidak ada,” tutur Pak Udin.

Belum lagi MI yang pindah beberapa kali sejak lumpur menyembur dan mengubur beberapa desa di beberapa kecamatan di Sidoarjo.

“Pindah pengungsian, pindah ke Kedungboto, masuk sore ngontrak 1 tahun, pindah ke Posko Gus Dur (di pengungsian Pasar Baru Porong) Januari 2008 (hingga kini),” tutur Pak Udin.

Tapi Pak Udin masih setia mengajar. Ia menganggap kerja ini sebagai pekerjaan akhirat. (mam/mas)


Translate »