Penggantian Aset Korban Yang Tak Kunjung Beres


Tim 16 Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Tim 16 Perum TAS I), yang 3 Desember 2008 lalu harus menandatangani kesepakatan skema cicilan 30 juta per bulan itu, kecewa. Seribuan massa dari Perumtas I ini mendemo Istana Negara pada 2-3 Desember. Mereka menuntut pembayaran 80 persen sesuai dengan Peraturan Presiden 14/2007, yakni paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah habis. Sementara, masa kontrak rumah mereka sudah habis bahkan lima bulan sebelumnya.

Karena demo ini presiden memanggil Nirwan Bakrie, bos Lapindo Brantas sekaligus adik Menkokesra Abu Rizal Bakrie, dan beberapa menterinya, antara lain Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Pekerjaan Umum-cum- Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Sunarso.

Perwakilan Tim 16 kemudian diminta membuat kesepakatan dengan Lapindo dan Pemerintah. Setelah 4 jam negosiasi, Djoko Kirmanto menyampaikan hasil rapat di muka wartawan. “Pembayaran dilakukan secara bertahap, yaitu Rp 30 juta setiap bulan hingga selesai atau lunas. Bersamaan dengan jatuh tempo pembayaran itu, juga diberi uang sebesar Rp 2,5 juta untuk memperpanjang sewa kontrak rumah,” ujar Djoko dalam jumpa pers seusai negosiasi.

Terhadap kesepakatan baru itu, menurut Djoko, Presiden minta semua pihak taat. Pembayaran tidak boleh terhenti. Bagaimana pelaksanaannya?

Ternyata melenceng dari kesepakatan. Kus Sulaksono dari Tim 16 menyebutkan, dia hanya ditransfer 15 juta sehari setelah kesepakatan dan 15 Desember ditransfer lagi 15 juta. Sementara uang 2,5 juta untuk memperpanjang kontrak tidak diberikan.

“Seharusnya MLJ membayar cicilan pertama kami 32,5 juta dengan rincian 30 juta untuk cicilan pertama dan 2,5 juta untuk tambahan kontrak satu tahun lagi, akan tetapi warga hanya dicicil 15 juta. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan tertanggal 3 Desember kemarin,” kata Kus Sulaksono. “Kami akan menyurati presiden dengan memperlihatkan kenyataan di lapangan,” tambah Sulaksono. Jika surat ini tidak ditanggapi, rencananya, Tim 16 akan berbondong-bondong ke Jakarta dengan massa yang lebih besar.

Kelompok korban lain, Geppres, Gerakan Pendukung Perpres 14/2007, tak kalah terpuruknya dari warga Tim 16 Perumtas 1. Hingga kini mereka belum menerima bayaran 80 persen. Kelompok ini menolak pola cicilan dalam pembayaran 80 persen, karena ini bertentangan dengan Perpres.

Menurut Zaenal Arifin, anggota Geppres dari Renokenongo, pola cicilan ini akan memnyebabkan konflik antar warga, konflik keluarga dan membuat penderitaan baru bagi warga. Arifin mencontohkan, aset tanah yang dimiliki warga rata-rata milik beberapa orang ahli waris. “Coba bayangkan saja jika warga harus dicicil 30 juta dan hak warisnya ada 2 sampai 10 dalam satu keluarga, maka harus dibagi berapa? Dan memerlukan waktu berapa lama?” jelas Arifin.

Dengan kenyataan seperti itu, Suparman, 52 tahun, anggota Geppres dari Jatirejo, khawatir tak bisa lagi mendapat rumah. Pasalnya uang 20 persen yang dia dapatkan telah habis untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Suparman dan keluarganya mempunyai aset tanah seluas 683 meter persegi dan bangunan seluas 427 meter persegi. Dan akan menerima sisa pembayaran 80 persen  sebesar Rp. 1,058,800,000,-.

Masalahnya, tanah harus dibagi 10 hak waris sedangkan bangunan harus dibagi 4 hak waris. Jika skema pembayaran 80 persen dilakukan secara dicicil maka Suparman akan membagi setiap bulan sebesar 3 juta kepada ke-10 anggota keluarganya. Sementara, ini akan memakan waktu tiga tahun lebih untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen milik Suparman dan keluarganya. 

“Kami bingung jika kami harus dicicil 30 juta. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Bayangkan aja dengan uang 3 juta per bulan, bisa dibuat apa,” tegas Suparman. Tentu saja, harapan Suparman untuk punya rumah lagi bisa tinggal mimpi.

Oleh karena itu, Suparman dan kelompok Geppres masih menolak skema pembayaran 80 persen secara dicicil sebesar 30 juta. Mereka tetap akan menuntut penyelesaian sisa pembayaran 80 persen secara tunai.

***

Pagar Rekorlap, Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo, yang dulu bernama Pagar Rekontrak, Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak, tak kurang parah nasibnya. Hingga kini, sebagian besar anggota kelompok ini belum mendapatkan uang 20 persen dari aset mereka. Sudah dua tahun setengah korban dari kelompok ini mengungsi di Pasar Baru Porong.

“Jangankan 80 persen, 20 persennya saja belum dibayar,” tutur Pitanto, salah seorang penggiat Pagar Rekorlap.

Lilik Kamina, penggiat Pagar Rekorlap lainnya, mengatakan, sesuai Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang diterima korban pada 8 September 2008, harusnya Minarak Lapindo Jaya membayar 20 persen 15 hari setelahnya. Seperti biasanya, tanpa rasa bersalah, Minarak mangkir.

“Baru korban yang nilai 20 persennya kurang dari 80 juta yang dibayar. Yang di atas 90 juta, hingga saat ini baru mendapat cicilan 4 kali 15 juta atau baru terima 60 juta,” tutur Lilik Kamina.

Ada 563 kepala keluarga yang tergabung dalam Pagar Rekorlap, kalau ditotal ada 1.921 jiwa. Mereka berasal dari 14 RT Desa Renokenongo. Dari 563 keluarga, ada 465 berkas aset. Nilai 20 persen aset mereka berkisar dari 9 juta rupiah hingga 956 juta rupiah. Lebih dari 130 berkas yang nilai 20 persen di atas 90 juta dan baru mendapat bayaran 15 juta empat kali. Warga terpaksa menerima pola pembayaran semacam ini.

“Kalau diserahkan langsung pasti kami tolak, tapi karena langsung masuk rekening, ya, terpaksa kami terima.”

Selain itu ada 8 warga yang salah ketik nomor rekeningnya. Ini adalah kesalahan teknis yang dilakukan oleh Minarak tapi warga yang harus menanggung resikonya. “Hingga saat ini 8 orang itu belum mendapatkan 20 persen,” tutur Lilik Kamina. Orang-orang Pagar Rekorlap masih akan menempati pengungsian Pasar Baru hingga semua aset dibayar dua puluh persennya.

***

Kelompok Bonek Korban Lumpur, dari warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera yang menerima pola resettlement, juga merasa tertipu. Harusnya pada Oktober 2008 lalu mereka sudah mendapatkan rumah.

Pola resettlement atau biasa disebut warga korban lumpur sebagai “rumah (dan) susuk” adalah pola dimana korban dibikinkan rumah baru di kompleks Kahuripan Nirvana Village (KNV) dan sisanya dibayarkan tunai. Namun hingga saat ini warga belum mendapatkan rumah maupun susuk (kembalian uang).

Sejak awal Desember lalu, 4000-an pendukung Laskar Bonek melakukan aksi menutup pintu masuk KNV. Mereka bikin spanduk bertuliskan sebuah kutipan lagu dangdut yang populer di kalangan warga.

“Kau yang berjanji, kau yang mengingkari
Sungguh terlalu kau Bakri…!!! Kepada kami…”

Dari sekitar 4000an jiwa, rumah yang sudah dibangun di KNV, saat ini, baru 337 unit. Sekitar 218 unit sudah serah terima dan 119 kosong.

Selain itu mereka juga menuntut pembangunan perumahan yang sudah disetujuinya segera diselesaikan dan berstatus SHGB/sertifikat, jaringan listrik segera dimasukkan. Bagi warga yang sudah menerima kunci agar segera dibuatkan akte jual beli, dan uang kembalian agar segera dicairkan.

Aksi ini sengaja dilakukan, karena mereka sudah menuruti apa yang ditawarkan pihak Minarak Lapindo Jaya akan tetapi sampai saat ini pun belum terselesaikan pembengunan rumahnya. “Kami akan betahan disini sampai semua bangunan rumah dan kembalian uang yang sudah kami tandatangani dalam ikatan Jual baeli (PIJB) terselesaikan. Seharusnya bulan Oktober lalu kami sudah menempati dan menerima kembalian uang,” kata Khamim, 35 tahun, koordinator Laskar Bonek.

“Sekaligus aksi kami sengaja membuktikan kepada masyarakat luas, bahwa selama ini pihak Pemerintah dan Minarak mengembor-gemborkan KNV sebagai solusi terbaik bagi korban lumpur, ternyata tidak. Kami sudah capek dengan janji-janji. Segera selesaikan pembangunan rumah dan uang kembaliannya agar kami bisa menata hidup kami,” tandas Khamim. [novik/imam]


Translate »