Hilangnya Hak Publik atas Informasi Lapindo


Celakanya, pemerintah untuk kesekian kalinya percaya begitu saja kepada alasan krisis keuangan yang dikemukakan oleh Lapindo. Padahal selama ini Lapindo belum pernah mempublikasi hasil audit mengenai asset-asetnya ke publik. Pihak Lapindo berkilah bahwa uang yang dimilikinya bukan uang negara, sehingga tidak ada kewajiban untuk mempublikasinya. Mungkin Lapindo lupa bahwa informasi terhadap audit tersebut sangat penting untuk menyelesaikan persoalan dengan korban lumpur secara lebih adil.

Pemerintah, yang memiliki mandat untuk melindungi keselamatan rakyat, wajib memaksa Lapindo mempublikasi hasil audit mengenai aset-asetnya tersebut. Selama hasil audit tersebut belum dipublikasi, terlalu naif rasanya untuk percaya begitu saja bahwa PT MLJ sedang mengalami krisis keuangan. Betapa tidak, seperti ditulis dalam buku berjudul Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni, di luar sumur migas Banjar Panji 1 (BJP-1) yang ditenggelamkan lumpur panas, PT Lapindo ternyata masih menguasai 48 sumur migas (minyak dan gas) di blok Brantas, yang meliputi Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan. Selain itu, Lapindo ternyata juga sudah mendapatkan klaim pembayaran asuransi atas sumur BJP-1 pada 2006. Nah, dari fakta di atas, pertanyaannya kemudian tentu saja adalah mungkinkah aset Lapindo kurang dari Rp 100 miliar.

Hak publik atas informasi yang benar dalam kasus Lapindo ini tampaknya secara sistematis dihilangkan. Bukan hanya mengenai aset Lapindo yang terkait dengan persoalan ganti rugi. Namun, sudah sejak awal eksplorasi di blok Brantas, hak publik atas informasi juga terus-menerus diabaikan.

Pada saat penentuan lokasi eksplorasi, misalnya, publik tidak pernah diberi informasi mengenai risiko kecelakaan industri migas dengan kondisi geologis di wilayah Porong, Sidoarjo. Publik pun tidak pernah diberi informasi bahwa sebenarnya penentuan lokasi sumur migas Lapindo tidak sesuai dengan ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia.

Ketentuan Standar Nasional Nomor 13-6910-2002 itu menyebutkan bahwa sumur pengeboran migas harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan, atau tempat-tempat lain yang berpotensi menimbulkan sumber nyala api. Sementara itu, sumur BJP-1 hanya berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana publik, dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina.

Setelah semburan lumpur panas keluar, hak publik atas informasi semakin diabaikan. Semua informasi yang terkait dengan kandungan racun lumpur Lapindo beserta dampak buruknya seakan hilang ditelan bumi. Namun, yang justru muncul di ruang publik adalah komentar pejabat yang cenderung menyesatkan informasi. Mayjen TNI Syamsul Mapparepa, yang pada saat menjabat menjadi Panglima Kodam Brawijaya, misalnya, pernah mengatakan bahwa lumpur Lapindo yang berwarna kehitam-hitaman tersebut tidak mengandung racun. Bahkan salah seorang pejabat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berani menjamin bahwa lumpur Lapindo tidak berbahaya.

Padahal peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Dwi Andreas Santosa, menemukan kandungan logam berat berupa cadmium (Cd), chromium (Cr), arsen, merkuri, serta kandungan bakteri patogen (pembawa bibit penyakit) seperti Coliform, Salmonella, dan Staphylococcus aureus dalam lumpur Lapindo di atas ambang batas yang dipersyaratkan. Bukan hanya air dan lumpur yang mengandung racun, lumpur Lapindo juga dinilai telah menyebabkan polusi udara di kawasan Porong dan sekitarnya. Bahkan, terkait dengan semburan lumpur Lapindo, dalam rekomendasinya Gubernur Jawa Timur pada Maret 2008 telah menyebutkan bahwa kandungan hidrokarbon di udara telah mencapai 55 ribu ppm. Padahal ambang batas normalnya hanya 0,24 ppm.

Hal itu kemudian diperkuat oleh temuan Walhi Jawa Timur pada Oktober 2008 perihal adanya peningkatan jumlah orang yang menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) di Porong. Pada 2006, saat muncul semburan lumpur Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, namun pada 2008 meningkat menjadi 46 ribu orang. Sayangnya, informasi yang dapat mengancam keselamatan warga itu seperti tidak dinilai penting oleh pemerintah. Hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah atas informasi tersebut. Padahal informasi itu sebenarnya dapat digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan darurat guna menyelamatkan warga.

Disembunyikannya informasi yang berkaitan dengan dampak buruk lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia jelas bukan sebuah kebetulan, melainkan sebuah kesengajaan agar korban lumpur dan warga Porong lainnya tidak menuntut ganti rugi di luar mekanisme jual-beli aset fisik. Dari uraian di atas, sudah mulai terlihat bahwa apa pun mekanisme yang dibuat untuk menyelesaikan kasus Lapindo ini akan selalu jauh dari kata adil bila hak publik atas informasi mengenai kasus ini selalu dihilangkan. Dengan sebuah informasi yang benar mengenai kasus ini, akan diketahui dengan mudah ganti rugi seperti apa yang harusnya diterima oleh korban dan siapa sebenarnya pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya semburan lumpur itu.

*) Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia

Artikel ini pernah dimuat Koran Tempo, 28 Februari 2009


Translate »