Lumpur Bisa Distop, Pelaku Bisa Diadili


Dia adalah Josef Tupamahu, konsultan pengeboran minyak yang sudah malang melintang di dunia eksplorasi migas. Ide-idenya diungkapkan dalam diskusi terbatas di Kampus ITS, Kamis (5/3).

Diskusi itu dihadiri sejumlah pakar geologi, fluida, dan pimpinan LPPM ITS seperti Prof Sutantra, Prof Djoni, Ir Djaja Laksana, dan juga beberapa wartawan.

Dalam diskusi, Josef menyatakan setiap kegiatan pengeboran berisiko, termasuk semburan (blow-out) gas/minyak atau air/lumpur. Seperti yang sering dialaminya saat mengebor di Sumatera Selatan, Bojonegoro, Madura, dan juga luar negeri.

Tetapi, begitu ada semburan, ia langsung menutupnya. Blow-out, katanya, adalah mengalirnya minyak, gas, atau cairan, dari sumur minyak/gas ke permukaan atau di bawah tanah yang tak terkontrol.

Semburan terjadi tatkala tekanan hidrostatis lumpur pengeboran lebih kecil dibanding tekanan formasi. Mencegah ini, dipakailah alat pencegah sembur liar (blow-out preventer).

Saat terjadi semburan lumpur, Josef mengaku telah menyarankan agar pihak Lapindo segera menyuntikkan semen ke dalam lubang semburan. “Tetapi sayang, mereka tidak melakukannya,” tegasnya.

Meski sudah sangat terlambat, tutur Josef, semburan masih bisa diatasi. Tentu saja dengan biaya mahal. “Ini hanya dry hole (lubang kering), not gas and not oil,” tuturnya. Kalau pun ada H2S atau Co2, kadarnya sangat kecil dan tidak berbahaya.

Josef membantah klaim bahwa semburan itu adalah mudvulcano, yakni air bercampur lumpur seperti lava. Yang ada hanyalah air terpisah dari lumpur. Hanya saja saat keluar dari perut bumi membawa serta lumpur. Pria fasih berbahasa Inggris dan Prancis ini juga menolak asumsi bahwa semburan lumpur terjadi karena gempa bumi di Jogjakarta.

Dari pengamatan di lapangan, Josef Tupamahu sangat yakin luapan lumpur ini bisa diatasi dengan menggunakan Hukum Bernoulli, saran yang selama ini berkali-kali diteriakkan Ir Djaja Laksana.

Lumpur, katanya, bisa dihentikan dengan membuat bendungan berdinding pipa yang dipancangkan sampai kedalaman tertentu.

Kemudian disambung terus ke atas permukaan sampai lumpur berhenti keluar. Setelah itu, dicari koordinat pengeboran untuk mengetahui lubang semburan, dan selanjutnya disuntikan semen khusus ke dalamnya. “Hanya dalam tempo 48 jam semen itu mengering dan semua lubang itu tertutup,” tegas Josef yang sekarang bekerja di pengeboran minyak di China.

Diakui, untuk membuat bendungan dan menyuntik semen ke dalam liang semburan, butuh dana besar. Saat ini, tinggi tanggul di pusat semburan di Panji I sekitar 13 meter. Kondisi air yang keluar dan lumpur itu tidak kencang tetapi landai saja. “Jika tanggul ini ditambah 10 meter lagi, bisa saja lumpur itu berhenti. Inilah hukum Bernoulli,” jelasnya.

Selain mengungkap peluang menghentikan lumpur, Josef juga menyebutkan bahwa PT Lapindo Brantas Tbk yang mengeksplorasi sumur Panji I telah melanggar UU Migas. Sebab, perusahaan itu tidak segera menutup kembali semburan sehingga lumpur menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo dan memorak-porandakan perekonomian Jatim. “Polisi bisa menyeret mereka ke pengadilan,” tegas Josef.

Sementara itu, Prof Sutantra dan Prof Djoni dari LPPM ITS menyambut gembira ide-ide yang terungkap dalam diskusi, karena ada satu langkah maju dalam upaya menghentikan luapan lumpur. “Hasil diskusi ini akan kami bukukan dan laporkan ke Presiden,” ujar Prof Sutantra.
Apalagi, pada 14 atau 16 Maret 2009, Presiden SBY akan berkunjung ke ITS. “Kami juga akan meminta Pak Josef Tupamahu untuk menjadi konsultasn dalam diskusi dan upaya penghentian lumpur,” jelasnya.

Ditegaskan Sutantra, pihak ITS hanya melakukan penemuan ilmiah dan langkah yang dilakukan untuk menghentikan semburan, sedangkan dana dan pelaksanaan di lapangan tergantung pemerintah. jos


Translate »