Merebut Kembali Hak atas Informasi Korban Lumpur Lapindo


Begitu bergerak menuju pusat suara, pagi sekira pukul 08.00 itu, Astuti menyaksikan kamar yang biasa ia tinggali bersama suaminya, Sulkan, telah runtuh. Tinggal puing-puing.  Amblesan tanah (land subsidence) sebagai dampak lumpur yang terus meluap dari dalam tanah telah mengakibatkan ambruknya rumah Astuti.

Meski tidak siap atas peristiwa ini, Astuti selamat, persis karena keberuntungan. Ya, keberuntungan. Sebab, bagaimana mungkin siap jika pejabat pemerintahan tak menyediakan sistem peringatan dini, early warning system (EWS), di kawasan berisiko ini? Jika warga tidak diberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang kondisi bahaya di sekitar rumah mereka, bahkan di dalam rumah mereka?

Informasi yang diberikan pihak otoritas setempat pun simpang siur. “Kawasan Siring Barat masih layak ditempati. Munculnya semburan dan bubble dengan kandungan gas belum berbahaya,” kata Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain kepada warga setempat. “Asal warga berhati-hati,” imbuh Zulkarnain.

Sementara, Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham menyatakan, Siring Barat “tidak layak huni”. Analisis Tim Pemantau Gas, Fergaco Indonesia, juga menunjukkan Siring Barat sebagai kawasan berbahaya. “Kadar gas yang mudah terbakar di perumahan warga sudah mencapai 77 persen. Kondisi itu menunjukkan sudah tidak aman,” kata Dodie Ernawan, anggota tim Fergaco Indonesia, kepada Antara.

Toh, pemerintah tetap tak memberikan informasi yang jelas kepada warga. Padahal ini bisa berakibat fatal: warga bisa sewaktu-waktu tewas terkena runtuhan tanah atau terbakar gas berbahaya.

Berbagai Sektor

Penyumbatan akses publik atas informasi dalam Kasus Lumpur Lapindo ini terjadi di berbagai sektor. Tidak saja informasi soal resiko di sekitar tanggul penahan lumpur yang ditutup-tutupi, informasi soal skala dan kuantitas korban semburan pun tidak diketahui secara pasti. Publik tidak diberitahu berapa persisnya jumlah korban kini, berapa keluarga, berapa jiwa, berapa desa, dan seterusnya. BPLS tidak pernah mempublikasikan data tersebut. Bahkan, badan yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur ini tidak memiliki website resmi.

Di sisi lain, pihak PT Lapindo Brantas Inc. senantiasa mendominasi pasokan informasi ke publik. PT Minarak Lapindo Jaya memiliki website yang selalu menampilkan angka korban yang mereka sudah bayarkan ganti rugi. Jelas, informasi ini menguntungkan Lapindo. Dan publik, warga korban sendiri? Tetap tidak tahu angka korban yang sebenarnya.

Di sektor kesehatan, publik maupun warga korban sendiri juga tidak diberikan informasi atas kondisi sesungguhnya. Orang yang hidup di Porong dan sekitarnya sudah tentu merasakan bau menyengat yang luar biasa. Tapi, Pemerintah melalui Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim justru mengatakan kualitas baku mutu udara (KBMU) di sekitar luapan lumpur Lapindo “masih berada di bawah ambang batas”. Menurut pernyataan yang dikutip Antara itu, kesimpulan tersebut diperoleh Bapedal setelah melakukan pengujian pada Mei 2008 di Desa Siring Barat RT 12 RW 2 Porong.

Padahal kenyataannya, orang mudah terkena gangguan pernafasan. Lihat saja, setelah adanya semburan lumpur, penderita gangguan pernafasan meningkat drastis bahkan hingga dua kali lipat. Data Puskesmas Porong menunjukkan, angka pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada 2005-2006 berada pada kisaran 20-25 ribu kasus. Pada 2007, angka itu melonjak hingga 50 ribu kasus!

Lalu, soal ganti rugi, berapa sebenarnya total ganti rugi yang harus dibayar Lapindo? Berapa yang sudah terbayarkan dan berapa yang belum? Di sini publik juga senantiasa disuguhi informasi dari sisi Lapindo saja. Pemerintah? BPLS tidak mempublikasikan informasi yang bisa diakses sewaktu-waktu. Informasi selalu dikendalikan Lapindo, sementara warga korban dibiarkan tanpa “amunisi”. Sehingga wajar jika warga korban mudah diombang-ambingkan, mudah dipaksakan memilih skema ganti rugi yang disodorkan Lapindo.

Jika menengok ke belakang, warga awalnya menuntut pembayaran ganti rugi langsung 100 persen. Tetapi Lapindo menolak. Gubernur Jatim saat itu, Imam Utomo, malah menilai tuntutan ini tidak masuk akal. Ketika ditanya wartawan di Surabaya, Utomo mengatakan, pihaknya telah dihubungi Nirwan Bakrie. “Dia (Nirwan) bilang Lapindo hanya mampu membayar 20 persen di awal, sisanya saat kontrak mau selesai. Siapa yang punya duit sebesar itu?” ujar Utomo.

Di kemudian hari, ketika tiba saatnya untuk melunasi sisa 80 persen, Lapindo berkilah lagi. Kali ini, krisis keuangan global dijadikan alasan. Pada 3 Desember 2008, akhirnya Lapindo mengatakan hanya bisa membayar cicilan per bulan 30 juta. Tapi ini pun tak ditepati, dan Lapindo mengatakan hanya bisa mengangsur 15 juta per bulan. “Saat ini dengan keadaan krisis, maksimal (kemampuan kami) per bulan 40 miliar,” kata General Manager PT Minarak Lapindo Jaya Imam Agustino saat itu.

Padahal, Lapindo sendiri telah mendapat dana dari klaim asuransi, dengan nilai sedikitnya US$ 25 juta. Begitu pula, Lapindo juga memperoleh dana dari Santos. Sampai 2007 saja, Santos dalam laporan akhir tahunnya menyebutkan telah mengucurkan sedikitnya US$ 72 juta khusus untuk penanganan dampak semburan lumpur. Krisis global jelas tidak bisa melepaskan Lapindo dari tanggung jawab melunasi ganti rugi sesuai aturan. Anehnya, tanpa mempublikasikan data posisi keuangan maupun perolehan dana yang diterima dari berbagai pihak, Lapindo memutuskan membayar ganti rugi dengan cara cicilan. Lebih aneh lagi, Pemerintah diam dan bahkan menguatkan pernyataan Lapindo, juga tanpa mengumumkan data keuangan Lapindo yang terlaporkan kepada Pemerintah sendiri.

Dijamin Konstitusi

Fakta-fakta tersebut menunjukkan hak warga atas informasi terang-terangan dilanggar, dan berakibat lenyapnya hak-hak lainnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun mengakui, hak atas informasi merupakan salah satu hak dasar yang paling dilanggar dalam kasus Lapindo ini. Melalui salah satu harian nasional, Syafruddin Ngulma Simeuleu, komisioner yang mengetuai Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo mengatakan, dalam kasus Lumpur Lapindo diduga telah terjadi 18 bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Dan yang paling awal disebut adalah hak atas informasi.

Padahal, hak atas informasi ini dijamin utuh oleh Konstitusi. Pasal 28 F UUD 1945 bilang, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan serupa juga tercantum dalam UU Nomor 39 tentang HAM pasal 14.

Lantas, apa yang bisa dilakukan terhadap berbagai pelanggaran hak atas informasi di atas? Sudah tentu, kita harus merebut kembali hak kita sendiri, hak konstitusional kita.  Kita tidak bisa lagi menerima bahwa informasi mengenai keberlangsungan hidup kita dikuasai hanya oleh pihak yang kuat. Informasi-informasi yang disumbat dan ditutup-tutupi itu harus bisa kita akses.

Dan kita sebenarnya sudah memiliki bekal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).  Undang-Undang ini telah disahkan pada 30 April 2008 dan akan berlaku pada 30 April 2010. Namun karena hak ini dijamin Konstitusi maka publik berhak meminta sejumlah dokumen publik yang ada dalam penguasaan pemerintah, partai politik, lembaga negara, universitas, LSM, organisasi masyarakat, dan lembaga lainnya yang menerima sumbangan masyarakat maupun sumbangan luar negeri yang didefinisikan sebagai badan publik.

Manfaat Informasi

Segera setelah UU KIP disahkan oleh Sidang Paripurna DPR RI, Dewan Pengawas LBH Pers Bayu Wicaksono menurunkan tulisan soal contoh-contoh kerugian tidak diperolehnya informasi dan manfaat hak atas informasi. Dalam artikel yang dipublikasikan Koran Tempo 10 April 2008 itu, Wicaksono mencontohkan kasus terbunuhnya aktivis hak asasi Munir dalam penerbangannya ke Belanda. Pada 6 September 2006, Suciwati, janda almarhum Munir, menggugat PT Garuda Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Gugatan perdata ini dilayangkan karena beberapa informasi yang diminta tidak diberikan oleh PT Garuda Indonesia,” tulis Wicaksono. Perusahaan publik milik negara ini seolah menyembunyikan informasi dengan alasan yang tak jelas.

Ketertutupan informasi itu juga dilakukan secara institusional. Institusi yang tidak memberikan keterangan yang dibutuhkan istri korban adalah Departemen Luar Negeri dan Kepolisian terkait hasil otopsi almarhum Munir. Tapi Suciwati terus mendesak agar informasi diberikan. “Hak-hak saya sebagai istri dan keluarga Munir untuk memperoleh informasi harus dipenuhi,” ujar Suciwati dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo. Akhirnya, dokumen itu diberikan dan kemudian terbukti hasil otopsi menunjukkan korban meninggal karena diracun arsenik.

Wicaksono, masih dalam tulisan yang sama, juga menjelaskan perbedaan Cina dan India dalam hubungannya dengan akses informasi. Kedua negara tersebut memiliki jumlah penduduk besar dengan penghasilan rendah. Di India, sekalipun penghasilan rata-rata penduduknya rendah, tidak pernah terjadi kelaparan massal. Tapi di Cina, kelaparan massal kerap terjadi. Apa yang membuat beda? “India memiliki keterbukaan informasi,” tulis Wicaksono merujuk pemikiran Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1988.

Dengan keterbukaan informasi, bahaya kelaparan dapat menjadi alert dan kemudian bisa dicegah. “Kegagalan panen,” lanjut Wicaksono, “bisa langsung diwartakan sebelum terjadi kematian massal akibat kekurangan makanan di sebuah desa.” Mengacu Sheilla Coronel, dalam jurnal Development Dialogue, Wicaksono juga menunjukkan bagaimana kelaparan yang terjadi di sebuah desa di Cina karena tidak adanya keterbukaan informasi.

Ringkasnya, terpenuhinya hak atas informasi akan memberikan kita pengetahuan apa yang harus kita lakukan untuk memenuhi hak-hak kita lainnya. Tanpa informasi yang cukup, warga tidak dapat berbuat banyak untuk menuntut hak, dan dalam konteks komunitas adanya akses informasi bisa menjadi early warning system terhadap bahaya kelaparan, wabah penyakit, dan berbagai ancaman lainnya.

Informasi Publik

Lantas, informasi apa saja yang menjadi hak kita? Kita sesungguhnya berhak memperoleh setiap informasi publik.

Dalam UU KIP, informasi didefinisikan begini, “Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non elektrik.” Sedangkan, informasi publik adalah, “Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.”

Istilah “badan publik” di situ mencakup lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri.

Dalam kasus lumpur Lapindo, seluruh informasi publik terkait kasus ini adalah hak publik, yang bisa diperoleh warga korban sendiri. Warga bisa meminta informasi atau dokumen mengenai, misalnya:

– Data korban menurut BPLS yang harus diberikan ganti rugi dan juga bantuan sosial dari Lapindo maupun Pemerintah.
– Data hasil pengawasan BPLS mengenai berapa jumlah ganti rugi yang telah diselesaikan oleh Lapindo.
– Dokumen rencana Lapindo menuntaskan hingga 100 persen ganti rugi keseluruhan korban.
– Dokumen mengenai klaim asuransi Lapindo dan dana yang diterimanya.
– Data resmi kondisi kesehatan di wilayah terdampak maupun luar peta terdampak.
– Laporan Pertanggungjawaban Kerja BPLS selama kasus ini berlangsung.
– Dokumen Rencana BPLS untuk menuntaskan penyelesaian kasus lumpur Lapindo, anggaran, dan jenis bantuan atau tindakan yang akan diambil.
– Data resmi skema penyelesaian bantuan pendidikan bagi anak-anak korban lumpur Lapindo.
– Dokumen kontrak karya antara Pemerintah dan Lapindo yang menunjukkan pembagian tanggung jawab antara Pemerintah dan Lapindo.

Daftar ini masih bisa diperpanjang sejauh warga korban maupun publik memerlukan. Informasi tersebut akan menjadi landasan penting bagi korban untuk melakukan tuntutan hak-hak, termasuk bantuan sosial dan penyelesaian ganti rugi. Dalam hal ini, korban berhak meminta tanggapan dari Pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak asasi korban, tak terkecuali hak atas informasi.

Meminta Informasi

UU KIP menandaskan, warga korban maupun publik berhak memperoleh setiap informasi publik dengan cepat dan tepat, biaya ringan dan cara sederhana. Warga korban maupun publik bisa melakukan tahapan-tahapan seperti berikut. Pertama, warga dapat membuat surat permintaan informasi yang berisi permintaan informasi yang disebutkan di atas satu persatu. Setiap surat berisi satu permintaan atas satu dokumen publik. Permintaan informasi juga dapat dilakukan bersama-sama dengan korban yang lain. Namun surat tetap ditulis masing-masing tetapi dokumen yang diminta tetap sama.

Kedua, permintaan tersebut dikirimkan ke BPLS, misalnya, atau dapat diantar langsung. Surat itu ditujukan untuk Pimpinan BPLS atau bagian humasnya. Jangan lupa meminta tanda terima atas surat, dan tanyakan kapan balasan atas surat ini bisa diperoleh, dan kepada siapa meminta balasan surat ini, juga nomor telepon yang bisa dihubungi untuk menanyakan balasan atas permintaan informasi ini. Jika dibutuhkan alasan, maka sebutkan alasannya adalah dokumen publik itu berguna untuk korban meminta hak-haknya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Ketiga, tanyakan sesuai waktu yang dijanjikan oleh mereka. Menurut UU KIP, waktu permintaan maksimal 10 hari dengan perpanjangan 7 hari kerja untuk bisa direspon oleh badan publik. Selama 17 hari mintalah konfirmasi mengenai permintaan informasi anda.

Jika korban membutuhkan bantuan untuk melakukan permintaan informasi, korban bisa meminta bantuan organisasi masyarakat sipil setempat, misalnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim.  Organisasi tersebut dan jaringannya bisa membantu melakukan pembuatan surat maupun proses lanjutan setelah permintaan informasi ditolak, misalnya, dan membantu melakukan analisa informasi yang berhasil diperoleh.

Permintaan Ditolak?

Korban Lapindo sendiri barangkali sudah terlalu sering mengalami penolakan ketika meminta informasi tertentu secara lisan, misalnya soal kapan ganti rugi dicairkan. Jika permintaan informasi di atas juga ditolak, atau tidak ada jawaban dan sudah ditanyakan langsung, upaya hukum bahkan bisa ditempuh. Walhi Jatim dan jaringannya dapat membantu proses hukum ini untuk korban lumpur Lapindo.

Sebagai ilustrasi, upaya hukum soal merek susu tercemar bisa disebutkan di sini. Februari 2008 lalu, para orangtua yang memiliki balita diresahkan oleh hasil penelitian yang mengatakan sejumlah merek susu formula telah terkontaminasi bakteri. Penelitian tersebut dilakukan oleh tim dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Menteri Kesehatan, dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Karena nama-nama susu tercemar itu tidak diumumkan, para orangtua tidak  bisa memilih merek susu apa bagi balita mereka.  “Mungkin keresahan dan kebingungan itu tidak terlalu berlebihan jika pemerintah maupun pihak IPB mengumumkan secara resmi nama-nama susu yang tercemar bakteri,” ujar Ny Wiwin, warga Kota Bogor, kepada Sinar Harapan. Menghadapi situasi ini, David ML Tobing, salah satu orangtua yang mencemaskan kesehatan balitanya,  mengajukan gugatan hukum.

Tobing melayangkan gugatan terhadap tim peneliti dari BPOM, Menteri Kesehatan, dan IPB. Tobing menggugat agar ketiga institusi tersebut mempublikasikan hasil penelitian mereka. Pada 20 Agustus 2008, Ketua Majelis Hakim Reno Listowo mengabulkan gugatan tersebut. Pertimbangannya, perbuatan ketiga institusi tersebut yang tidak mengumumkan merek susu tercemar kepada publik perbuatan melawan hukum seperti didalilkan Pasal 1365 KUH Perdata. “Tindakan menutup-nutupi informasi adalah perbuatan melawan hukum,” ujar Reno Listowo sebagaimana dikutip Kompas.

Tak ayal, dalam kasus Lapindo, sebagaimana diutarakan di awal tulisan ini, tindakan menutup-nutupi informasi telah menciptakan tidak hanya keresahan, melainkan kerugian, di berbagai sektor. Publik dan warga korban bisa melayangkan gugatan terhadap badan-badan publik yang menghalang-halangi akses informasi mengenai kasus yang berlarut-larut hampir tiga tahun ini. *


Translate »