Ketika Korban Masuk Bursa Caleg


Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu, khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2, yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H. Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya. Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi Ilmiawan, warga Desa Permisan.

Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda. Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di Partai Barisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura. Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi mereka menggandeng “saudara senasib”?

“Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk perjuangan korban Lapindo.

Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalam pergerakan warga korban lumpur guna menuntut tanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia sering terlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini dia ingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui, perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewan legislatif nanti akan bertentangan dengan partainya, Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab, “Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagai anggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan.

Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekati rakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk tim kampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain juga menggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum, Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIP Jabon. Iwan biasanya membentuk forum-forum pertemuan untuk menyampaikan visi-misi dan menangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisa menjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong, Tanggulangin, Jabon, dan Krembung.

Tapi, Iwan mengaku kesulitan menyentuh warga korban Lapindo dari dalam peta terdampak. Selain karena mereka sendiri terpencar dan datanya susah untuk didapat, juga karena, menurut Iwan, warga korban di dalam peta lebih pragmatis dalam merespon sosialisasi caleg. “Kalau korban di pinggiran (sekitar tanggul) lebih enak, lebih antusias. Tapi (korban dari) dalam peta lebih susah. Mungkin harus bawa bantuan dulu untuk bisa masuk ke sana,” tutur Iwan.

Lain lagi dengan Muliana. Perempuan korban Lapindo dari kalangan pengontran Perum TAS 1 ini sadar, anggota dewan sekarang ini tidak bisa berbuat banyak terhadap nasib korban Lapindo. Namun, sebagai caleg dari Partai Hanura, Muli berjanji akan bersikap berbeda dari anggota dewan sekarang. “Saya akan serius membawa agenda kesejahteraan masyarakat korban Lapindo baik dalam peta maupun luar peta,” tegas Muli yang terlahir 31 tahun lalu ini. Muli juga berjanji akan menyuarakan aspirasi semua korban Lapindo, bukan kelompok tertentu saja. “Saya tidak memilih-milih mana yang akan diperjuangkan, semua akan saya aspirasikan,” ujarnya lagi.

Muli tidak saja berjanji akan memperjuangkan nasib korban Lapindo, tapi juga melibatkan mereka dalam proses pencalonan dirinya. “Saya melibatkan beberapa kawan korban Lapindo juga untuk membantu kampanye saya, dan mereka sama sekali tanpa bayaran,” ujarnya. Ini semangat anti politik uang (money politics), menurut Muli. Dan karena tanpa uang, Muli memilih jalur personal. Muli berkunjung dari pintu ke pintu, door to door. “Setiap hari saya meyakinkan mereka, untuk kasus Lapindo ini saya serius,” tuturnya.

Semangat anti politik uang itu akan dia pegang jika nanti duduk sebagai anggota dewan. “Jangan bicara dengan politik uang, tapi dengan hati nurani, karena ini masalah manusia,” sambung Muli. Dengan politik hati nurani, Muli berjanji akan konsisten membela korban Lapindo. “Saya akan konsisten menyuarakan kasus Lapindo ini. Dan tidak ikut dalam konstelasi yang akan memperburuk kondisi korban,” tandasnya.

Agaknya, caleg-caleg dari kalangan korban lumpur ini sepakat untuk memperjuangan secara serius nasib saudara-saudara mereka. Seperti juga Iwan dan Muli, Sapariadi, caleg asal Desa Renokenongo juga berjanji akan menjadikan kasus Lapindo sebagai prioritas. Sapariadi mengaku pernah menjadi Ketua Forum Silaturrahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo, yang memperjuangkan uang kontrak, jatah hidup (jadup), dan uang boyongan rumah. Ia sendiri memutuskan untuk maju sebagai caleg dari Partai Barisan Nasional lantaran adanya dorongan dari sesama korban lumpur. Sama seperti Muli, Sapariadi tidak sepakat dengan pendekatan politik uang untuk meraih suara.

Namun, meskipun caleg-caleg dari korban lumpur menyatakan serius akan memperjuangkan saudara mereka, warga korban lumpur sendiri tak sepenuhnya yakin akan hal itu.  Nur Cholifa, 37 tahun, warga Desa Jatirejo, misalnya. Belum lama ini, Cholifah didatangi salah satu tim sukses caleg DPRD Sidoarjo. Dia diberi wawasan, atau tepatnya diceramahi, soal pentingnya Pemilu 2009. Ia juga diberi sembako, kaos dan stiker bergambar si caleg. Toh, Cholifa pesimis caleg-caleg tersebut bisa meringankan permasalahan korban lumpur.

“Mereka ‘kan mencalonkan sebagai caleg di DPRD Sidoarjo. Tidak mungkin bisa ngomong mampu menyelesaikan persoalan korban lumpur,” ujar Cholifa. Bahkan, Pemilu 2009 ini, bagi Cholifa, tidak akan menciptakan banyak perubahan bagi korban lumpur. “Janji-janji yang ditawarkan para caleg, menurut saya, cuma janji-janji saja. Belum tentu nanti mereka yang sudah jadi akan memperjuangkan nasib korban lumpur,” tegasnya.

Pesimisme Cholifa ini bukan tanpa alasan. Ia punya pengalaman ketika berlangsung pemilihan gubernur (pilgub) Jatim 2008 silam. Saat itu, Cholifa juga didatangi salah satu tim sukses calon gubernur. Ia dijanjikan akan diberi modal usaha jika mau memilih calon yang ditawarkan. Tapi, setelah pilgub usai, bantuan modal belum juga diberikan. “Pada pilgub kemarin, saya disuruh nyoblos salah satu calon gubernur. Dijanjikan akan diberi modal, tapi kenyataannya tidak ada. Apalagi sekarang, banyak caleg yang menawarkan janji-janji perubahan pada korban lumpur. Saya tidak percaya,” tutur Cholifa.

Mulyadi, 28 tahun, juga tidak antusias terhadap Pemilu 2009. Bagi pemuda asal Desa Jatirejo ini, kebanyakan parpol tidak berani berkomitmen untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Mulyadi, yang kini tinggal di rumah istrinya di Desa Tebel, Sidoarjo, pernah ditawari menjadi salah satu tim sukses. Tapi ia menolak. Mulyadi tidak percaya adanya perubahan melalui Pemilu 2009. “Janji-janji yang ditawarkan caleg dan partai politik, untuk menuntaskan masalah korban lumpur, tidak mungkin terwujudkan. Meskipun banyak warga korban yang mencalonkan diri jadi caleg,” ujarnya.

Ketidakpercayaan terhadap caleg dan Pemilu itu tampaknya telah menyebar luas di kalangan korban lumpur. Tapi, Safari, 48 tahun, warga Desa Kedungbendo masih berharap, janji dan komitmen para caleg dan parpol untuk memperjuangkan nasib korban lumpur bisa dibuktikan. Karena itu, Safari yang dulu tinggal di Kawasan Kompleks Angkatan Laut ini mendukung jika ada korban lumpur yang maju sebagai caleg. “Saya sangat mendukung warga korban yang mencalonkan jadi anggota legislatif, yang berani dan berkomitmen menyelesaikan kasus lumpur semuanya,” ujarnya.

Sementara itu, Suharto, 45 tahun, asal Desa Jatirejo, mengakui memang banyak caleg dan parpol memberi janji-janji penyelesaian kasus lumpur. “Itu trik mereka meraup suara korban. Tapi seyogyanya juga bisa berkomitmen memberi penyelesaian kasus lumpur, tanpa pengecualian,” tegasnya. Meski begitu, Suharto juga mengharapkan, warga yang mencalonkan sebagai anggota legislatif itu bisa mengubah situasi korban lumpur Lapindo. Hanya saja, Suharto ragu terhadap kapasitas caleg-caleg tersebut jika akhirnya mereka nanti terpilih. Sehingga, “saya belum tahu, caleg mana yang pantas saya pilih,” ujarnya. (vik/re/ba)


Translate »