Menyeriusi Semburan Lapindo


Si kawan melanjutkan. “Masih ingat pemeo Henry Ford II yang bicara kepada para direkturnya,“You can choose any color as long as it is black.” Kalau shareholder sudah mengatakan black, maka seluruh jajaran manajemen (termasuk direktur dan komisaris) harus tunduk.”

Penanganan semburan lumpur Lapindo makin hari bukan menunjukkan kemajuan baik, tapi malah ada saja masalah timbul. Mulai dari pemberesan pembayaran jual-beli tanah korban dalam peta tanggung jawab Lapindo menurut Pasal 15 Perpres No 14 Tahun 2007 yang masih jauh dari beres, hingga persoalan penanganan semburan lumpur Lapindo.

Itupun belum menyentuh fokusitas soal rehabilitasi atau pengalihan infrastruktur, pemulihan kehidupan sosial korban, kesehatan masyarakat korban, penanganan masyarakat di luar peta tanggung jawab Lapindo yang hidup dalam konsentrasi gas hidrokarbon 55.000 ppm. Hasil penelitian Tim Ahli Pemprov Jatim, sedangkan ambang batas normal cuma 0,24 ppm.

Dalam kasus Lapindo, terdapat keanehan cara menerapkan manajemen penanganan. Pertama, penghentian semburan lumpur Lapindo hanya didasarkan pada opini tunggal yang berasumsi bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah gempa Jogja. Upaya teknis penghentian semburan lumpur Lapindo diyakini takkan pernah berhasil.

Kedua, penanganan masalah sosialnya ada yang diserahkan kepada Lapindo selaku pihak yang menjadi “tersangka”. Pemerintah tidak menghiraukan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang pernah melakukan audit kinerja dan tujuan tertentu, di antaranya menyarankan agar pemerintah mengambil-alih penanganan semburan lumpur itu.

Di tingkat internasional, kasus semburan lumpur Lapindo menjadi perhatian masyarakat intelektual. Seringkali para peneliti, jurnalis, mahasiswa serta aktivis dari luar negeri datang ke lokasi. Di antara mereka ada yang pernah diskusi dengan saya.

Dalam konferensi di Cape Town Afrika Selatan 2008, para ahli pengeboran dan geologi internasional menyatakan, semburan lumpur Lapindo disebabkan kesalahan pengeboran. Beberapa ahli menyatakan ada faktor gabungan antara pengeboran dan gempa Jogja. Tiga ahli dari Lapindo menyatakan penyebabnya gempa Jogja. Mereka membahas data dari ahli Lapindo sendiri dalam forum itu.

Para ahli pengeboran permigasan terkemuka Indonesia yang tergabung dalam Drilling Engineer Club (DEC) sebenarnya siap menghentikan semburan lumpur Lapindo. Dalam kasus serupa di Aceh, di Sumur Porong 1, di Subang Jawa Barat dan terakhir di Sumur Lengowangi 2 Gresik, semuanya dapat dihentikan karena peralatan tersedia lengkap.

Namun pemerintah tidak menggubris kesediaan para ahli yang tentunya membutuhkan keputusan pemerintah dan pendanaan. Lalu, bukankah sudah pernah dilakukan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo sebelumnya dan tidak berhasil?

BPK melaporkan hasil audit 29 Mei 2007. Isinya, operasi snubbing dan relief well tak mencapai sasaran yang diharapkan karena terkendala faktor-faktor nonteknis, seperti peralatan tidak tersedia di lapangan pada saat dibutuhkan, peralatan tak memenuhi syarat, luapan lumpur tidak terkendali sehingga menggenangi lokasi rig dan keterbatasan dana operasional.

Jadi, kegagalan penghentian semburan lumpur Lapindo bukan teknis, tapi nonteknis (baca: “ketidakseriusan”). Laporan BPK itu persis dengan informasi DR Rudi Rubiandini, yang dulu ditugasi pemerintah memimpin upaya penghentian semburan lumpur Lapindo.

Banyak pendapat, termasuk pakar pengeboran di EDC yang menyarankan agar pemerintahlah mengambilalih secara keseluruhan. Mengapa? Menugasi Lapindo selaku “tersangka” dalam kasus itu sungguh tidak masuk akal, karena dapat terjadi konflik kepentingan, menyangkut upaya Lapindo untuk membuktikan dirinya tidak bersalah yang berkorelasi dengan kepentingan ekonominya.

Dalam bahasa lugas, anggota DEC yang merupakan ahli pengeboran ingin mengatakan,“Suruh pergi Lapindo dari lokasi, agar tidak merecoki upaya penghentian semburan lumpur Lapindo itu!”

Tapi mengapa pemerintah menutup mata dan telinga, tidak mau mendengar second opinion ini? DR Rudi Rubiandini membalas email saya. “Prestasi anak-anak bangsa yang berjasa, tidak pernah dihargai. Kita berhasil menghentikan semburan lumpur di Sumur Lengowangi 2 milik Pertamina-Petrochina tahun 2008, yang luasnya sempat mencapai lapangan basket!”

Bukan gila penghargaan, tapi maksudnya, mengapa keahlian para putera terbaik Indonesia dianggap sepi dan bodoh? Mengapa kegagalan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo diekspos sebagai kegagalan teknis, padahal karena ketidakseriusan pemerintah dan Lapindo sendiri.

Belajar dari ruwetnya masalah semburan Lapindo dengan segala akibatnya, negara ini belum sepenuhnya menempatkan rakyat sebagai shareholder negara. Pemerintah dikendalikan shareholder tertentu, yang entah dia sedang duduk dalam menajemen pemerintahan atau berada di luar pemerintah.

Shareholder negara Indonesia yang ngendhih posisi rakyat itu dengan gagahnya berkata seperti Henry Ford II. “You can choose any color as long as it is black.” Dia mengatakan,”Siapapun boleh berkata bahwa semburan lumpur Lapindo itu dapat dihentikan. Tapi aku berkata “tidak” berdasarkan referensiku. Jadi, abaikan yang lain!”

Kalau sudah begitu, demokrasi macam apa yang sedang hiruk-pikuk, ramai dan menggembosi keuangan negara itu? Berapa lagi, uang negara yang akan dipakai untuk bersedekah kepada Lapindo?

Subagyo, anggota Dewan Pakar Walhi Jawa Timur
Artikel ini dimuat Surya, 17 April 2009


Translate »