Lapindo dan Hilangnya Negara


Tapi fakta-fakta tersebut hanya secuil cerita dari kehancuran yang dihasilkan lumpur Lapindo. Karena sesungguhnya yang terjadi di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, dan Jabon) ini adalah absennya negara dari tanggungjawab melindungi masyarakat. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No 14/2007, yang kemudian disusul dengan Peraturan Presiden No 48/2008, justru semakin menunjukkan Negara lepas tangan dari tanggung jawabnya atas ratusan ribu kepala yang sedang menderita.

Perpres, kebijakan terlambat yang tak menyelamatkan

Perpres 14/2007 dan Perpres 48/2008 adalah tindakan terlambat, pun bukan untuk menyelamatkan kehidupan korban lumpur dan sebaliknya lebih untuk menyelamatkan korporasi.

Simak saja dari awal ketika lumpur muncrat. Semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 pertama kali diketahui muncul di areal persawahan Desa Renokenongo, sekitar 100 meter dari tempat pengeboran PT Lapindo Brantas. Lumpur kemudian meluas dan tidak bisa dikendalikan sehingga menenggelamkan ribuan rumah di sekitarnya. Dari sejak lumpur itu mulai meluas, masyarakat seolah tidak memiliki pegangan apapun tentang siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban dari kehancuran yang mereka alami. Hingga April 2007, alias nyaris satu tahun setelah semburan itu, pemerintah menerbitkan Perpres 14/2007. Perpres ini memerintahkan Lapindo membeli (dan artinya masyarakat harus mau menjual) tanah dan bangunan yang telah tenggelam dan hanya dibatasi kepada daerah yang dinyatakan masuk peta area terdampak. Artinya, Lapindo tidak perlu memikirkan lagi bahwa lumpur masih akan meluas, dan akan menenggelamkan desa-desa yang lainnya, karena mereka hanya diberi tanggungjawab untuk membeli tanah dan bangunan di 4 desa didalam peta area terdampak.

Beberapa bulan kemudian, kebutuhan untuk memperluas tanggul semakin mendesak, karena semburan belum berhenti mengeluarkan lumpur panas. Maka, Pemerintah kembali menerbitkan Perpres 48/2008, yang menambahkan 3 desa baru untuk masuk peta area terdampak. Kali ini, bukan Lapindo yang akan mengeluarkan dana untuk pebayaran tanah dan bangunan, namun seluruh masyarakat Indonesia akan dipaksa membayar kebutuhan perluasan tanggul dengan menenggelamkan 3 desa, yakni melalui dana APBN.

Dengan analisa telanjang, kita bisa mengambil kesimpulan, Perpres tidak dibuat untuk menyelamatkan masyarakat tapi lebih untuk mengamankan Lapindo dari kehancuran yang lebih dalam.

Tudingan kelumpuhan Pemerintah seperti yang tertuang dalam Perpres tersebut bukan semata bisa dilihat dari dibatasinya Lapindo hanya membayar 4 desa saja, namun juga dari dibatasinya Lapindo hanya membayar tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam. Sementara aset-aset penting publik lainnya seperti jalan tol, tower listrik, jalan kereta api, saluran irigasi dan lainnya sama sekali tidak dibebankan kepada Lapindo untuk penggantiannya.

Semua kebutuhan infrastruktur yang ikut hancur akibat lumpur kembali dibebankan kepada APBN untuk pemulihannya, dan sekali lagi seluruh masyarakat Indonesia dipaksa menanggung kehancuran akibat ulah sebuah korporasi.

Kehancuran yang melebihi Perpres

Di luar itu semua, tragedi ini bukan hanya kisah pilu hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur. Ini juga kisah hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Mari kita runut kehancuran yang tidak bisa dilihat oleh Presiden, kehancuran yang melebihi Perpres.

Di sektor ekonomi dan tenaga kerja sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166 ribu orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak. Menurut data Greenomic perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

Bagi korban Lapindo, selain kehilangan rumah dan tanah, mereka juga terancam kesehatannya karena lingkungan yang tidak sehat. Penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.

Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Dalam catatan Puskesmas Jabon pasca semburan lumpur juga tercatat dua kasus gangguan jiwa serius.

Di sektor pendidikan, tercatat 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

Potensi kerusakan sosial yang diakibatkan oleh semburan lumpur panas juga telah begitu kuat. Masyarakat yang dulunya terkumpul di desanya, harus terpencar ke berbagai wilayah. Solidaritas sosial yang dulu terbangun semakin memudar. Kasus yang sering terjadi adalah perebutan status lahan atau tanah. Posisi masyarakat yang dibuat Lapindo sebagai mitra jual-beli tanah membuat banyak keluarga yang harus berkonflik karena pembagian uang hasil pembayaran tanah dan rumah. Selain itu keselamatan warga yang tidak terjamin dengan berdirinya tanggul-tanggul penahan lumpur menjadikan warga antar desa sering berkonflik untuk saling menyelamatkan desanya. Setiap warga ingin desanya selamat tetapi tidak ada jaminan baik dari pemerintah ataupun Lapindo tentang hal itu sehingga mereka memilih jalan sendiri dengan misalnya mengalirkan lumpur menjauhi desanya yang dampaknya mengalir ke desa lain yang juga tidak mau tenggelam.

Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Berapa kita menilai kerugian sosial budaya begini dalam satuan mata uang mana pun?

Fungsi negara untuk memberi kesejahteraan, menjaga keamanan dan ketertiban, telah hilang dalam kasus semburan lumpur Lapindo, masyarakat ada posisi yang langsung berhadap-hadapan dengan korporasi sebagai mitra jual-beli tanah. Negara tidak berperan sama sekali, bahkan ketika Lapindo memutuskan untuk menyicil pembayaran ganti rugi hingga 15 juta rupiah/bulan, yang pada kenyataan lapangan tidak dijalankan Lapindo, dan masyarakat kembali gigit jari.

Terlebih, untuk memenuhi hak-hak warga negara, Komnas HAM mencatat ada 18 pelanggaran HAM yang terjadi pada kasus ini. Dan negara? Lagi-lagi absen untuk penyelesaiannya. Tidak ada usaha pemulihan kesehatan, pendidikan, sosioekonomi, dan hak-hak lain yang telah hancur bersama dengan terus meluapnya lumpur mengancam desa-desa di sekeliling tanggul penahan. Setelah tiga tahun, tidak ada peran negara di sebuah wilayah yang hanya berjarak 1 jam perjalanan melalui udara dari pusat pemerintahan. Tidak ada peran negara bahkan di sebuah wilayah yang masih berada di Pulau Jawa.

Jika demikian, jika di suatu sudut negara ini yang bahkan tidak jauh dari pandangan mereka, ada sebentuk kehidupan yang dibiarkan saja sekarat menunggu ajal, bagaimana kita membayangkan negara akan melindungi seluruh tanah air dan tumpah darah ini, dengan ratusan juta masyarakat yang sedang menumpuk harap akan cita-cita kesejahteraan nasional?

Kita mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana mugkin itu terjadi, karena selanjutnya cerita-cerita mengalir tentang Freeport, tentang Newmont, tentang INCO, dan tentang konflik masyarakat dan korporasi terus mengalir tak berhenti. Kisah-kisah sunyi tentang kehancuran yang tak pernah kembali, tentang menghilangnya negara di ketiak korporasi. Entahlah, bagaimana kita masih akan mengharap negara dalam kenyataan sistem hari ini….


Translate »