Nasib Pilu Korban Lumpur


Penanggung jawab Grup Bakrie, Nirwan Bakrie, menyatakan formula baru itu tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008. Padahal, menurut aturan, pada Desember 2008 itu pula seharusnya pembayaran cicilan 80 persen telah dilakukan.

Formula itu jelas sebuah kelonggaran waktu lagi bagi Lapindo untuk menyelesaikan kewajibannya dalam kaitan dengan uang jual-beli aset korban lumpur. Pertanyaannya, bagaimana pelaksanaan formula itu di lapangan?

Formula itu ternyata hanya janji belaka. Pada awal 2009 sudah tampak kegagalan Lapindo melaksanakan kesepakatan itu. Hingga pada Februari 2009 muncul kesepakatan baru lagi bahwa Grup Bakrie akan memberikan Rp 15 juta per bulan per berkas kepada korban lumpur Lapindo.

Penanggung jawab Grup Bakrie, Nirwan Bakrie, pun menyatakan pihaknya akan mengisi rekening korban Lapindo tiap bulannya. Pengisian rekening sebanyak Rp 15 juta per bulan itu dimulai pada 23 Februari 2009. Bukan hanya Nirwan Bakrie yang menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan proses jual-beli aset korban lumpur ini. Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pun menyatakan akan memproses secara hukum bila kesepakatan baru itu diingkari.

Namun janji tinggallah janji. Kenyataan di lapangan, korban lumpur masih tetap menderita. Seperti ditulis Koran Tempo (30 Desember 2009), Roikan, warga Kedung Bendo, yang menjadi korban lumpur, mengaku, hingga Desember 2009 belum pernah menerima cicilan ganti rugi Rp 15 juta per bulan seperti yang dijanjikan PT Minarak. Hal itu pulalah yang mendorong Bupati Sidoarjo Win Hendrarso mendesak PT Minarak Lapindo Jaya menepati janjinya membayarkan uang ganti rugi korban lumpur Lapindo yang tersisa.

Parade ingkar janji benar-benar digelar. Pihak kepolisian, yang semula berjanji akan memproses secara hukum bila Lapindo mengingkari kesepakatan, justru dengan tanpa merasa bersalah menghentikan proses pidana Lapindo pada pertengahan 2009.

Alasan penghentian penyidikan pun terasa janggal dan sangat berbau politis. Polisi berdalih tidak memiliki cukup bukti menyeret Lapindo ke ranah pidana. Padahal, pada saat yang sama, telah beredar di publik dokumen rahasia Medco, yang menyatakan bahwa semburan lumpur berkaitan dengan aktivitas pengeboran.

Aroma politis juga terasa menyengat karena penghentian penyidikan kasus pidana Lapindo dilakukan hanya beberapa bulan sebelum mantan petinggi Grup Bakrie, Aburizal Bakrie, maju sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar. Kini Aburizal Bakrie pun telah berhasil merebut pucuk pimpinan partai besar warisan Orde Baru itu.

Dihentikannya proses penyidikan kasus pidana Lapindo oleh polisi itulah yang menyebabkan Lapindo dengan bebas mengingkari kesepakatan yang pernah mereka buat dengan korban lumpur. Setelah proses pidana dihentikan, tidak ada lagi kekuatan yang mampu memaksa Lapindo kembali menepati janjinya.

Melihat kenyataan tersebut di atas, dapat dipastikan bahwa pada 2010, nasib pilu korban lumpur masih akan berlanjut. Penyelesaian jual-beli aset korban lumpur akan terus tersendat. Dan, seperti biasa, negara tidak berdaya membela warganya. Negara akan membiarkan korban lumpur berhadapan sendirian dengan korporasi besar bernama Lapindo.

Sementara persoalan jual-beli aset korban lumpur tersendat, warga Porong, Sidoarjo, harus tetap menghirup udara beracun dan menggunakan air yang telah tercemar akibat dampak semburan lumpur. Tidak ada pemeriksaan dan juga pengobatan gratis, tidak pula penyediaan air bersih bagi warga Porong, yang menderita semenjak muncul semburan lumpur tiga tahun lalu.

Semua kisah pilu korban lumpur akan tetap berlanjut dan akan lebih menyedihkan bila negara tetap tak berdaya berhadapan dengan Lapindo. Ketidakberdayaan itu bersumber dari imajinasi penyelenggara negara yang mengatakan bahwa semburan lumpur adalah bencana alam dan tidak ada kaitannya dengan aktivitas pengeboran.

Imajinasi yang cenderung mengkambinghitamkan Tuhan atas kejadian semburan lumpur itu membuat negara tidak memiliki pilihan selain membiarkan korban lumpur dan juga warga Porong lainnya tetap menderita. Imajinasi liar itu jugalah yang menyebabkan korporasi yang berkaitan dengan semburan lumpur tampak begitu kuat, gagah, dan berwibawa ketika berhadapan dengan negara.

Pada 2010, tampaknya tidak ada pilihan bagi negara selain menyingkirkan imajinasi penyebab semburan lumpur di Sidoarjo itu. Hanya dengan itu, negara akan tampak lebih memiliki wibawa dan kekuatan ketika harus berhadapan dengan Lapindo untuk membela nasib warganya.

 

Dimuat di Koran Tempo, 11 Januari 2010.


Translate »