Komisi V Tanyakan Kendala BPLS Tangani Lapindo


Bahkan Anggota dari Fraksi PDI Perjuangan Ian Siagian beranggapan, program-program yang telah dijalankan selama ini untuk mengatasi lumpur lapindo terkesan tambal sulam.

Hal itu disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Rabu (3/10) yag dipimpin Wakil Ketua Komisi V H. Mulyadi (F-PD).

Sejak pertama kali terjadinya semburan lumpur itu beberapa tahun lalu, sampai sekarang belum ada solusi yang dapat menghentikan semburan lumpur itu. Padahal, kata Ian, Pemerintah telah mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk mengatasi semburan lumpur itu.

“Berapa besar lagi dana yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya untuk mengatasi lapindo ini, tentunya harus dicarikan solusi yang tepat untuk mengatasinya,” kata Ian.

Tentunya, kata dia, kita semua berharap persoalan ini dapat segera diselesaikan sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih serius lagi. Dan kita juga tidak menginginkan BPLS menjadi suatu badan yang permanen, karena semakin lama badan ini terbentuk, berarti permasalahan lumpur ini masih juga belum dapat diselesaikan.

Hal senada dikatakan anggota F-PPP Norhasanah yang mengatakan, mengingat semburan lumpur ini akan berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, maka perlu dibuat master plan perencanaan penanganan lapindo ke depan.

Menurut dia, master plan ini sangat diperlukan untuk dapat memastikan langkah-langkah apa yang akan diambil selama kurun waktu tersebut. Karena hal ini menyangkut waktu yang panjang dan setiap tahunnya menghabiskan anggaran yang sangat besar untuk mengatasinya.

Menanggapi hal itu, Kepala BPLS Sunarso mengatakan, peristiwa semburan lumpur Sidoarjo sebagai fenomena alam yang memiliki dua daya rusak yaitu di atas permukaan berupa luapan lumpur dan di bawah permukaan berupa deformasi geologi.

Berdasarkan penelitian para ahli geologi, diperkirakan bahwa fenomena semburan lumpur akan berlangsung lebih dari 23 – 35 tahun. Pada perkembangan terkini, fenomena semburan lumpur panas tersebut diyakini sebagai aktivitas pembentukan gunung lumpur (mud volcano).

Luapan lumpur ini telah menenggelamkan lahan seluas 640 Ha berupa sawah dan pemukiman serta infrastruktur vital berupa tol, pipa gas, jaringan SUTT. Apabila tidak dikendalikan, wilayah yang tenggelam akan semakin luas dan akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara yang semakin besar.

Sunarso menambahkan, mengingat semburan lumpur panas merupakan mud volcano yang tidak dapat dihentikan, maka penanganan yang dilakukan BPLS adalah membatasi wilayah genangan dengan membangun tanggul penahan lumpur dan mengalirkannya ke laut melalui Kali Porong dengan sistem mekanisasi, untuk menjaga kolam lumpur tidak melimpas.

“Sepanjang kapasitas mekanisasi dengan volume semburan seimbang, maka dengan sistem ini luapan lumpur dapat dikendalikan,” katanya.

Menurut Sunarso, sistem mekanisasi ini telah diterapkan sejak pertengahan 2008 dan terus dikembangkan serta dilengkapi dengan beberapa peralatan pada tahun 2009 dan 2010 untuk meningkatkan kehandalannya.

Apabila perilaku luapan lumpur tidak memburuk, diharapkan pada akhir tahun 2011 sistem ini sudah dapat berfungsi dengan baik.

Sedang kerusakan deformasi geologi dapat berupa amblesan, pengangkatan, pergeseran, dengan tanda yang mudah dilihat di permukaan berupa rekahan-rekahan dan buble yang mengeluarkan gas yang mudah terbakar, air dan lumpur.

Mengingat deformasi geologi di Porong Sidoarjo merupakan proses bekerjanya gaya-gaya tektonik dan vulkanik di bawah permukaan, maka tidak dapat diprediksi dimana dan kapan akan terjadi, serta besaran pengaruhnya.

Dengan demikian, kata Sunarso, tindakan mitigasi yang dapat dilakukan BPLS hanya apabila indikasi deformasi sudah nampak di permukaan. Dengan gambaran tersebut, maka hingga saat ini penanggulangan lumpur di Sidoarjo belum dapat diperkirakan kapan akan berakhir.

Dalam anggaran Tahun 2009, ada beberapa hal yang berhasil dilakukan BPLS yaitu menanggulangi semburan, dimana telah berhasil mencegah luapan lumpur keluar dari Peta Area terdampak (PAT) dengan mengalirkan luapan lumpur ke kali Porong.

Hal ini dilakukan dengan sistem mekanisasi pengaliran, yaitu menggunakan kapal keruk bekerja sama dengan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan menggunakan pompa booster oleh BPLS sendiri.

Namun dia mengakui ada kegagalan yang dilakukan BPLS yaitu dalam pengaliran lumpur ke Kali Porong, kapasitas pompa dan kapal keruk tidak memadai. Sunarso mengatakan, booster yang dimiliki BPLS hanya tiga unit, sedangkan kapal keruk yang dioperasikan oleh PT MLJ tidak efektif dalam pengerukan karena berbagai kendala teknis.

Tidak efektifnya sistem pengaliran luapan lumpur tersebut menyebabkan melimpahnya luapan lumpur yang menggenangi kolam tampungan yaitu ditandai dengan naiknya muka air dan lumpur yang berada di dalam kolam tampungan. Padahal kapasitas ruang tampungan sangat terbatas. “Kondisi inilah yang sering mengancam kestabilan tanggul,” katanya. (DPR/tt)

(c) Tambangnews.com


Translate »