Di warung es sederhana itu, beberapa orang tampak gusar. Mereka seolah lelah menunggu sang penjual kembali dari dalam rumah. Tak lama, Budi, sang penjual itu, hadir dengan wajah murung. Melihat pembeli yang tengah gusar dan mangkuk es yang belum terbungkus, Budi sumringah, teringat sesuatu. Bergegaslah ia masuk ke rumah menuju dapur dan mengambil sejumput karet ikat.
“Ibu bertingkah demikian semenjak bubbles Siring Barat membesar,” tutur Ony, anak Budi Rahayu. Tidak hanya bubbles ternyata yang mengoyak hidup Budi Rahayu. Rumah di Siring Barat, Kecamatan Porong, Sidoarjo, yang mereka tinggali itu selalu kebanjiran walaupun tidak hujan, retakan merata di lantai dan dinding sebagai akibat land subsidence (amblesan tanah), air tercemar, dan udara pun busuk dengan tingkat kandungan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) yang membahayakan. Kesemuanya berpadu mengisi kehidupan harian keluarga Budi Rahayu.
Sementara itu, satu persatu karib menghilang; mencoba mencari penghidupan yang lebih layak. Dan sampai saat ini, hanya segelintir yang tersisa. Bertahan dari bertubi-tubi ancaman yang menerpa setiap saat.
Siring Barat sendiri merupakan salah satu daerah yang telah dinyatakan berbahaya dan tidak layak huni oleh pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)–selain Mindi dan Jatirejo Barat–melalui Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2009. Dan semenjak Perpres yang terbit September 2009 tersebut diberlakukan, ketiga wilayah ini harus sesegera mungkin dikosongkan. Untuk itu pemerintah telah memberikan bantuan berupa uang kontrak selama dua tahun sebesar Rp 2.500.000, biaya evakuasi Rp 500.000 dan jaminan hidup Rp 300.000 setiap bulan per kepala selama 6 bulan.
Budi Rahayu tak menduga kehidupannya berubah. “Sebagian besar warga telah mengungsi. Mereka tidak tahan dengan kondisi buruk ini. Demikian juga saya. Hasil tabungan dari hasil penjualan es campur selama dua puluh tahun telah saya belikan sebuah rumah di Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA), Kecamatan Candi, Sidoarjo,” tuturnya. “Namun, rumah ini telah memberikan kesan kepada saya dan keluarga: warung yang menafkahi keluarga, kerabat yang selama ini menghiasi hidup saya, dan tanah peninggalan orangtua. Rasanya berat untuk meninggalkan semua itu!“
Dalam usaha mempertahankan rumah, pengorbanan tak terhindarkan. Namun tetap saja semua sia-sia. Rupanya semburan lumpur lebih ganas dari upaya Budi Rahayu. Ia sulit meninggalkan rumah, tanah, dan sejarahnya, maka ia tetap nekat untuk tinggal dan berjualan di Siring Barat.
Tak aneh jika kondisi hidup yang mengguncang itu kemudian menggangu perasaan dan pikiran. Anthony Liliefna, seorang dokter pada Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Radjiman Wediodiningrat, menuturkan tentang dampak traumatis terhadap kesehatan jiwa. Baginya, peristiwa sedahsyat lumpur panas Lapindo musti memberikan tekanan terhadap mental (stress) warga. Kondisi ini tidak hanya menimpa korban langsung, namun juga seluruh warga di tiga kecamatan seputaran tanggul lumpur: Jabon, Porong dan Tanggulangin. Gangguan ini berpengaruh secara simultan terhadap kualitas hidup. Jika dibiarkan secara terus menerus dapat berubah menjadi psikotik. “Itu sangat tergantung dari seberapa besar tekanan juga ketahanan mental si penderita,” tambahnya.
Sementara itu, dinas-dinas terkait seperti Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan cenderung mengatakan tidak ditemukannya permasalahan yang cukup berarti. “Tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah semburan lumpur,” tutur Jauhari, Kabid Yankes Dinas Kesehatan Sidoarjo, dingin.
Masih menurut Jauhari, “Stres merupakan peristiwa yang lumrah terjadi. Untuk masalah seperti semburan lumpur Lapindo tekanan pasti muncul. Hanya saja hal ini bukanlah persoalan yang cukup serius. Terkait lumpur Lapindo, masih banyak masalah kesehatan yang lebih diprioritaskan, seumpamanya tentang meningkatnya Infeksi Saluran Nafas Atas (ISPA) secara drastis. Selain itu, permasalahan kesehatan jiwa sangat kompleks, sakit maag, pusing dan denyut tidak teratur bukanlah indikasi utama dari gangguan kesehatan jiwa!”
Kesehatan jiwa warga pun seakan menjadi angin lalu; ia bukanlah penyakit yang tampak kasat mata, dan oleh karena itu keberadaannya dinomorduakan. Namun, untuk itu, Jauhari berkilah, “Bukannya mengabaikan kesehatan jiwa warga. Sebenarnya kami telah menurunkan tim untuk mengatasi gangguan kesehatan jiwa pada masyarakat korban. Namun, tim yang kami turunkan tidak menemukan adanya permasalahan jiwa pada masyarakat korban.”
Agaknya yang dialami warga korban berbeda dari temuan tim Jauhari. Suatu ketika, seorang warga pernah bercerita tentang nasib buruk yang menimpa ayahnya di Ketapang, Kecamatan Tanggulangin. Dalam sesegukan kesedihan ia bercerita tentang rumah orangtuanya yang ditelan lumpur dan tentang perubahan perilaku yang terjadi pada ayahnya. “Saat itu, bapak tidak mau makan. Setiap hari hanya melamun, memandangi tanggul lumpur setinggi rumah berlantai tiga itu. Hingga pada suatu ketika, bapak jatuh sakit dan tak lama meninggal.”
Pihak Lapindo maupun negara barangkali tak mendegar kisah ini. Mereka lebih sibuk mendengar cerita tentang Tuhan sebagai sebagai penanggung jawab utama tragedi ini. (fam/cen)