Sekolah Yang Berjibaku dengan Lumpur


29 Mei 2006. Di Porong petaka terjadi; muncul lumpur panas yang diiringi oleh bau belerang yang menusuk. Tiga desa tenggelam seketika. Ribuan penduduk mengungsi. Warga teracuni. Parodi kemanusiaan terakbar dan terumit dalam sejarah Indonesia terhelat di Pasar Porong Baru.

Demikian pula dengan MI Ma’arif. Sekolah kebanggaan warga Jatirejo ini turut mengungsikan aktivitasnya di Pasar Porong Baru. Berbaur dengan penggungsi yang lain di tempat yang paling kelam.

“Setelah lumpur menyembur, gedung sekolah terendam sebatas mata kaki. Hanya saja kami memilih untuk pindah ke pengungsian karena kondisi gedung sekolah sudah tidak kondusif lagi untuk digunakan sebagai sarana kegiatan belajar mengajar,” ungkap Muhammad Chisom sengau.

Sementara itu, kondisi pasar yang muram membelengu aktivitas pendidikan. Para guru tidak bergairah untuk mengajar. Anak didik terlena, terbawa suasana pengungsian. Kesemuanya berdampak cukup deras terhadap efektivitas kegiatan belajar mengajar.

“Namun, kondisi pasar sudah sedemikian sesak: warga yang depresi, fasilitas yang minim, suasana belajar menjadi amburadul. Atsmosfer ini tidak baik untuk perkembangan anak didik kami. Oleh karena itu kami mencoba untuk membersihkan gedung sekolah yang lama; berharap mendapatkan keleluasaan dalam kegiatan kami. Ini semua demi prestasi anak didik kami,” tambah Siti Nur Febriani, salah seorang pengajar.

Namun nasib buruk terus membayangi. Debit lumpur meningkat drastis. Tanggul jebol disana-sini. Tak lama, sekolah hanyut. Tertelan oleh lumpur yang mengganas. Sementara kegiatan mengajar tetap harus dijalankan.

“Dikarenakan sekolah tenggelam dilahap lumpur, terpaksa kami memindahkan kegiatan pendidikan, sekali lagi, ke pasar. Di sana kami beraktivitas di Posko Pengungsian Gus Dur,” kenang Muhammad Chisom.

Situasi pasar semakin tidak bersahabat. Terutama setelah timbulnya beberapa fenomena ganjal: ransum yang berulat, pemadaman listrik hingga pada pengusiran pengungsi dari pasar. Mencekam. Dan itu berimbas pada kondisi mental anak-anak. Aktivitas pendidikan pun terbengkalai, terpengaruh suasana pengungsian yang suram.

“Walaupun kami mendapatkan tempat untuk aktivitas kami, pasar rasanya bukan tempat yang baik untuk melakukan aktivitas pengajaran. Untuk itu, saya berusaha mencari tempat yang nyaman: sebuah tempat dimana para anak didik kami bisa belajar dengan leluasa. Ini untuk memacu prestasi mereka. Selain itu, Pemkab Sidoarjo berinisiatif untuk mengosongkan pasar. Seandainya pasar sudah tidak dapat ditempati lagi kami harus kemana?”, ungkap Siti Masruroh, seorang pengajar yang lain.

Kedungboto di kecamatan Porong  menjadi pilihan. Menempati gedung sekolah milik MI Ma’arif Kedungboto, kegiatan belajar dimulai siang hari. Namun, para orangtua murid berkeluh kesah tentang jarak yang jauh. “Jarak rumah saya ke Kedungboto sekitar lima kilometer. Setiap hari saya harus mengantar dan menjemput anak saya dengan sepeda ontel ini,” terang Nur Cholifah, orang tua murid.

Selain itu, sebagian orangtua murid adalah korban lumpur; dan untuk saat itu mereka harus berjibaku dengan waktu. Bergerilya mencari nafkah, setelah semua mata pencahariaan terampas lumpur. “Pada saat itu jumlah murid kami menurun drastis. Dari sekitar 150-an menjadi hanya 36 anak didik,” terang  Muhammad Chisom.

Di tengah kebimbangan tersebut, bantuan datang. MI Ma’arif diberi pinjaman sebuah ruko di Perumahan Sentra Porong untuk jangka waktu dua tahun. Kesempatan dimanfaatkan sambil menunggu bantuan dari pemerintah.

Mengenai permohonan bantuan kepada pemerintah, Siti Nur Febriani menerangkan, “sebenarnya kami telah mengajukan permohonan bantuan kepada Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, namun hingga saat ini tidak ada respon!”

Saat ini, kegiatan belajar mengajar diadakan secara bersahaja. Tanpa bangku, tanpa meja dengan media seadanya. Para murid belajar sambil lesehan, sedangkan para guru mengajar dengan prihatin.“Kami mengerti tentang kondisi orangtua murid yang sebagian besar merupakan korban lumpur. Untuk itu kami berupaya agar aktivitas pendidikan diadakan dengan sesederhana mungkin. Beruntung para orangtua murid makhfum dengan kondisi ini” terang Siti Maslika, staff Tata Usaha MI Ma’arif.

Setelah semua kesesakan dan tekanan yang menimpa MI Ma’arif Jatirejo, kini para pengurus hanya bisa berharap sambil menahan geram dalam batin. “Harapan kami adalah kembali seperti sediakala. Hanya itu!” jawab para guru, tegas dan seksama. (Prim/vik)

(c) Kanal News Room


Translate »