Hentikan Semburan Lumpur


SIDOARJO – Pemerintah tidak boleh meninggalkan upaya menghentikan semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Ada teknologi dan peluang untuk menghentikan hal itu. Biaya untuk upaya itu juga bisa dijangkau.

Kalangan masyarakat yang ditemui Kompas pekan lalu umumnya berpendapat, tidak adanya upaya penutupan semburan saat ini menunjukkan pemerintah tidak serius menangani semburan lumpur.

”Pemerintah juga tidak peduli dengan nasib korban lumpur yang makin terpuruk,” kata M Mirdasy, mantan Sekretaris Panitia Khusus Lumpur Sidoarjo DPRD Jatim.

Dr Rudi Rubiandini, mantan Ketua Tim Penghentian Semburan Lumpur di Sidoarjo, mengatakan, semburan lumpur bukan yang pertama kali terjadi di dunia maupun di Indonesia. Ia yakin, hal itu bisa dihentikan. ”Persoalannya, siapa yang menginginkan itu terhenti? Tidak ada itikad serius dari pemerintah untuk menghentikan semburan,” kata Rudi yang juga Kepala Laboratorium Teknik Pengeboran pada Institut Teknologi Bandung.

Rudi pernah menerapkan metode relief well saat terjadi semburan lumpur di Lengowangi, Gresik, 26 Desember 2008, yang identik dengan semburan lumpur Sidoarjo. Dalam empat hari, pusat semburan bisa dimatikan. Tiga bulan kemudian tujuh titik yang mengelilingi pusat semburan juga mati total.

Mei 2009, metode serupa juga berhasil menghentikan semburan lumpur dan gas di lapangan Merbau Pertamina Prabumulih, Sumatera Selatan. Pada empat bulan pertama, pusat semburan bisa dimatikan. Sebulan kemudian lima titik lain mati total.

Rudi berpendapat, metode relief well adalah pilihan terbaik untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo. Metode ini sebenarnya sudah pernah dicoba ketika semburan masih menjadi kewajiban Lapindo. Namun baru mencapai 20 persen hal itu dihentikan oleh Lapindo dengan alasan kekurangan dana.

Menurut Rudi, rencana pembuatan tiga relief well saat itu menelan biaya sekitar 120 juta dollar AS (Rp 1,2 triliun) atau sama dengan anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) setahun.

”Yang dilakukan pemerintah saat ini, menumpuk tanah di tepi kolam lumpur, tidak bisa disebut penanganan karena tidak langsung ke sumber semburan. Cara itu hanya membuang-buang waktu dan biaya,” kata Rudi.

Pernyataan serupa diutarakan pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Djaja Laksana. Djaja yakin, metode yang ia usung, yakni tabung Bernoulli, bisa menghentikan semburan lumpur. Namun, permohonan untuk melaksanakan penelitian awal belum mendapat izin dari BPLS.

”Saya yakin 99,99 persen cara ini berhasil menyumbat semburan lumpur. Namun, sepertinya BPLS tidak mau mendengar metode ini dan terlalu berprasangka negatif,” kata Djaja.

Sejak penanganan semburan dialihkan dari PT Lapindo Brantas kepada BPLS berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009, sama sekali belum pernah dilakukan upaya menghentikan semburan lumpur.

Menurut Djaja, pemerintah tak bisa bersikap menunggu lumpur berhenti dengan sendirinya karena belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa memastikan kapan semburan berhenti. Kalau itu fenomena gunung lumpur, diperkirakan butuh waktu puluhan atau bahkan lebih dari 100 tahun untuk lumpur bisa berhenti sendiri. Yang jelas, semakin lama semburan dibiarkan, sedangkan pembuangan ke Sungai Porong tidak jalan, akan semakin luas dan berat dampak sistemik yang multidimensional.

Rugi Rp 50 miliar

Sekarang, menurut pakar statistik ITS, Kresnayana Yahya, perekonomian Jatim rugi sedikitnya Rp 50 miliar per hari akibat semburan lumpur Sidoarjo. Kerugian terutama dari hilangnya kesempatan mendapatkan untung dan adanya tambahan biaya transportasi.

Jatim juga kehilangan 10 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) setiap tahun. PDRB Jatim rata-rata Rp 600 triliun per tahun. ”Potensi pertumbuhan ekonomi juga berkurang rata-rata 1 persen setiap tahun. Pertumbuhan ekonomi 1 persen berarti penambahan ribuan kesempatan kerja. Pengurangan potensi pertumbuhan berarti sebaliknya,” ujarnya.

Kementerian Pekerjaan Umum mencatat, dulu Jalan Raya Porong rata-rata dilalui 40.000 kendaraan setiap hari. Sejak semburan terjadi, jalan itu paling banyak dilalui 20.000 kendaraan per hari. ”Nilai ekonomi dari 40.000 kendaraan itu kurang lebih Rp 100 miliar. Separuhnya hilang sejak Jalan Raya Porong macet sejak semburan,” kata Kresnayana.

Salah satu dampak tidak adanya ikhtiar penghentian semburan adalah masyarakat Sidoarjo menjadi tidak tenang. Di samping bau menyengat dari semburan juga karena ancaman luberan lumpur. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di seputar tanggul kolam lumpur, tetapi juga warga yang tinggal dalam radius beberapa kilometer. Apalagi ada ramalan bahwa lumpur akan sampai ke wilayah Surabaya.

Yang paling gelisah adalah penduduk yang tinggal di sisi barat dan utara semburan, seperti warga Kecamatan Tanggulangin, Porong, Candi, dan Kota Sidoarjo, karena saat ini lumpur mengarah ke barat dan utara, akibat penurunan tanah di sisi itu.

Hal lain, investor nyaris tidak berani masuk ke Sidoarjo. Tahun 2007, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) minus 26 persen dan penanaman modal asing (PMA) minus 96 persen. Penurunan investasi juga dialami daerah yang harus melalui Porong (Sidoarjo), seperti Pasuruan, Malang, dan Probolinggo.

Kalangan pengusaha properti juga ragu-ragu mengembangkan usahanya ke Sidoarjo karena minat masyarakat tinggal di Sidoarjo menurun. Bahkan, harga rumah kini merosot atau tidak laku. Padahal, semula Sidoarjo merupakan daerah penyangga Surabaya yang paling diminati pengusaha perumahan daripada Gresik, Bangkalan, maupun Mojokerto. (RAZ/APO/ANO)

(c) kompas.com


Translate »