Kepolisian Didesak Segera Cabut SP3 Kasus Lapindo


SIDOARJO – Kepolisian terlihat gencar menumpas teroris pelaku pemboman, tapi tetap diam terhadap pelaku terorisme lingkungan di Sidoarjo. Kepolisian malah enggan mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus ‘terorisme lingkungan’ lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan ribu rumah warga dan mengusir sedikitnya 60 ribu jiwa. Karena itu, menurut advokat publik Subagyo, masyarakat harus mendesak agar kepolisian segera mencabut SP3 tersebut.

Ada banyak bukti, kata Subagyo, jika kepolisian mau meneruskan penyelidikannya. Salah satunya adalah surat otentik berupa hasil audit BPK. BPK adalah auditor negara yang harus dihormati. Hasil auditnya mestinya mempunyai kekuatan hukum yang sempurna dan mengikat. “Dalam kasus Lapindo, audit BPK bukan sekadar audit penggunaan keuangan negara, tapi juga audit kinerja,” tandas Subagyo kepada Kanal pada Sabtu (13/3) kemarin. Dalam audit itu, lanjutnya, dinyatakan bahwa dalam proses pemboran yang dilakukan Lapindo, Santos dan Medco, ada banyak kesalahan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Subagyo lebih bersetuju jika masyarakat tidak terjebak melakukan gugatan praperadilan terhadap dikeluarkannya SP3 tersebut. Sebagai informasi, pada 18 Febuari 2010 lalu, sebanyak 10 advokat dari Lembaga Konsultasi dan Advokasi Kepala Daerah Seluruh Indonesia (LAKSI) mengajukan gugatan praperadilan terhadap dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo. Tidak tanggung- tanggung, gugatan praperadilan diajukan di dua pengadilan sekaligus, yakni Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Pengadilan Negeri Surabaya. Tapi pada 8 Maret 2010, gugatan itu urung dilanjutkan. Ke-10 avokat selaku penggugat itu mencabut gugatan, dengan alasan penggugat akan menyempurnakan bukti lagi, dan nantinya akan diajukan gugatan prapradilan jika bukti-bukti yang dikumpulkan sudah cukup jelas.

Subagyo, yang juga ahli hukum pada Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya, berpendapat, gugatan praperadilan SP3 kasus Lapindo bisa berdampak negatif. Sebab, kalau sampai gugatan kalah maka sama halnya pengadilan mengesahkan bahwa tidak ada tindak pidana dalam kasus Lapindo. “Kesimpulan Kapolda Jatim (dalam SP3) menyatakan dalam kasus Lapindo tidak ada tindak pidana. Jika praperadilan kalah, maka tertutup kemungkinan membawa para tersangka ke pengadilan pidana,” jelas Subagyo.

Subagyo menyarankan, masyarakat tidak perlu mengajukan gugatan praperadilan, akan tapi harus mendesak kepolisian mencabut SP3. Dengan adanya bukti-bukti baru dari Medco dan konklusi para ahli internasional yang kian mengerucut pada indikasi kesalahan pemboran dalam kasus Lapindo, kasus ini harus dibuka kembali. “Seharusnya prapradilan ini tidak perlu. Akan tetapi masyarakat harus mendesak kepolisian membuka kasus, dengan ditemukannya bukti-bukti baru yang kesimpulannya menyebutkan semburan lumpur Lapindo disebabkan adanya kesalahan dalam pemboran,” ujarnya.

Sementara itu, sejumlah warga korban lumpur Lapindo kerap dibenturkan dengan dalih SP3 yang digunakan Lapindo mengelak dari tuntutan. Rudi Farid, salah satu korban Lapindo yang aset tanah bangunannya belum terbayar (baik 20 persen maupun 80 persen), menyatakan kekhawatiranya jika gugatan praperadilan SP3 jadi dilaksanakan. “Saya khawatir jika gugatan praperadilan dilanjutkan, dan gugatan itu kalah, maka keluarnya SP3 menjadi kuat. Dan akan menjadi alasan pihak Lapindo untuk lari dari tanggung jawabnya,” katanya. Beberapa kali Rudi sendiri menghadapi situasi itu. Ketika berhadapan dengan pihak Lapindo untuk mempertanyakan ganti ruginya, Rudi disuguhi ‘mantra SP3’ oleh pihak Lapindo. SP3 rupanya telah menjadi senjata ampuh buat cuci tangan pihak Lapindo. (vik)

(c) Kanal News Room


Translate »