Kisahku


Hampir 12 tahun sudah aku duduk di bangku sekolah. Mengenyam pendidikan yang semakin tahun semakin susah untuk didapatkan.

Banyak anak yang putus sekolah. Beralih pada pekerjaan yang menghasilkan uang. Mungkin yang ada di benak mereka adalah “Daripada sekolah menghabiskan uang, lebih baik bekerja menghasilkan uang.” Di perempatan jalan dan lampu merah mereka mencari rezki. Apapun mereka lakukan agar dapat merasakan sesuap nasi. Membersihkan kaca mobil, mengamen bahkan meminta-minta. Mereka semua adalah mereka yang tidak bisa merasakan bangku sekolah. Mereka masih seumuran denganku, bahkan ada yang masih seumuran dengan adikku yang kini kelas 5 SD.

Aku adalah salah satu dari mereka yang beruntung. Aku sangat bersyukur atas semua yang ada padaku. Aku bisa merasakan indahnya bangku sekolah selama hampir 12 tahun. Masa-masa indah yang aku rasakan selama sekolah mungkin tak pernah dirasakan oleh mereka yang putus sekolah. Ya… aku memang beruntung.

Saat lulus SD aku mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN). Dan keberuntungan itu berpihak padaku. Aku diterima di salah satu SMP Negri yaitu Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong.

Setiap manusia tak selamanya memperoleh keberuntungan dalam hidupnya. Begitu pula denganku. Saat aku kelas 2 SMP, sekolah tempat aku menuntut ilmu tenggelam oleh Lumpur Lapindo. Semua pasti tahu apa, siapa dan bagaimana Lumpur lapindo itu. Aku dan seluruh siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong harus berkali-kali berpindah tempat agar kami tetap mendapatkan pelajaran.

Terakhir kalinya kami harus menumpang di Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Porong. Lokasinya sangat jauh dari rumahku. Setiap hari aku harus mengayuh sepedaku sejauh 4 km. Bisa dibayangkan, di siang yang terik saat sebagian orang sedang beristirahat dari segala kativitasnya, aku dan yang lain harus berangkat sekolah. Baru ketika aku kelas 3, hati pihak lapindo tergelitik untuk mengantarkan kami yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah. Mereka mengirimkan beberapa truk polisi untuk mengantar kami.

Saat Ujian Nasional (UNAS) pun lagi-lagi kami harus menumpang. Kali ini kami meumpang di Sekolah Menengah Atas Negri (SMAN) 1 Porong. Dengan segala rintangan yang telah kami hadapi akhirnya kami semua dinyatakan lulus. Kami semua sangat senang. Tapi saat kami semua merayakan kelulusan, teryata Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong sudah tak terlihat dari permukaan. Seolah itu benar-benar telah tenggelam.

Selanjutnya, aku daftar di salah satu SMA Negri. Tapi sayang, keberuntungan memang tak berpihak padaku. Aku dinyatakan gagal. Akhirnya, mau tak mau aku harus menerima itu semua. Kini aku menuntut ilmu di sekolah swasta di seberang desaku.

Malang tak dapat ditolak. Sawah milik ayahku terendam Lumpur Lapindo. Ugh….. aku berteriak sekeras yang aku bisa. Aku ingin berkata “Sampai kapan aku dihantui oleh Lumpur Jahannam itu???????!”

Saat itulah kondisi ekonomi keluargaku mulai memburuk. Areal persawahan kini tak bisa ditanami apapun. Dulu ketika aku masih SMP, pembayaran SPP atau yang lain tak pernah telat. Tapi kini? Hampir beberapa bulan aku tak bisa membayar SPP. Aku selalu telat. Aku malu pada tean-temanku. Tapi aku harus sadar. Dengan apa aku membayar SPP itu? Aku tak boleh kalah dengan malu.

Saat kelas 2 SMA Lumpur Jahannam itu kembali mengusikku. Desa tempat aku tinggal, sebagian tenggelam oleh Lumpur Lapindo karena jebolnya tanggul penahan Lumpur Jahannam itu. Yang lebih parah, hanya sebagian desa saja yang dianggap sebagai korban. Desaku memang terbelah enjadi dua sejak adanya proyek pembangunan jalan tol yang menghubungkan Sidoarjo-Malang.

Wilayah yang dianggap sebagai korban ialah mereka yang berada di sebelah Barat Tol. Sedangkan kami yang berada di wilayah Timur Tol harus menerima ketidakadilan. Padahal pepohonan di wilayah kami telah mati akibat luberan lumpur begitu juga dengan air. Air kami telah tercemar. Contohnya saja diumahku. Semula banyak orang yang mengambil air di sumurku karena airnya sangat jernih dan segar. Tapi sekarang? Air di rumahku sangat keruh dan berasa pahit? Apa itu bukan korban? Coba pikir lagi. Banyak orang mengira aku adalah orang kaya yang telah mendapat ganti rugi. Mereka salah! Mereka tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tak tau ketidakadilan yang terjadi.

Mereka yang dianggap sebagai korban juga mendapatkan perlakuan tidak adil. Semua orang berkata “Ganti Rugi”. Padahal itu bukan ganti rugi. Itu adalah sebuah proses jual beli antara pihak Lapindo dan mereka yang dianggap sebagai korban. Dalam setiap proses jual beli tentu ada kesepakatan antara kedua pihak. Tapi dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan sama sekali. Mereka yang dianggap sebagai koraban harus mau menerima apa yang telah ditetapkan oleh pihak Lapindo. Sungguh tidak adil.

Kami hanya ingin diakui sebagai korban dari koorporasi Mu! Aku tau siapa diriMu! Aku tau siapa namaMu! Aku tau siapa penyebab penderitaan kami semua! Tapi aku tak ingin menyebutkan siapa namaMu! Karena hanya akan membuat sakit hatiku. Kau dalah orang yang serakah!

Aku harus mengikuti program beasiswa yang diperuntukkan bagi keluarga miskin agar aku bisa tetap sekolah. Di kelasku hanya beberapa anak saja yang mengikuti program itu. Malu? Kini tidak ada kata malu dibenakku. Rasa malu itu hilang seiring dengan penderitaan yang aku alami sejak Lumpur Jahannam meluap. Hingga kelas 3 ini aku masih mengikuti program itu.

Ujian Nasional (UNAS) tinggal beberapa bulan. Tapi aku masih belum bisa memenuhi persyaratan administratif. Banyak uang yang harus dikeluarkan diantaranya pembayaran Try Out, Penambahan Intensitas Belajar (PIB), Ujian Semester, Ujian Praktek, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan masih banyak lagi. Aku tak tahu bagaimana memberitahukan pada ayahku. Aku tak boleh patah semangat atas apa yang terjadi. Aku terus belajar agar aku menjadi pintar.

Banyak sekali kampus yang mendatangi sekolahku. Banyak pula yang terpengaruh dengan program yang diberikan setiap kampus. Ada yang memberikan iming-iming siap kerja bagi mereka yang masuk ke kampus itu. Aku sendiri bingung. Tapi untuk apa aku bingung? Toh aku juga nggak aka kuliah?

Teman-temanku telah menetapkan Universitas dan jurusan yang akan diambil. Saat semua sibuk mengutarakan isi hatinya yang ingin segera lulus dan merasakan dunia kuliah, aku hanya bisa mendengar dan tersenyum. Terkadang aku memberi sedikit saran. Dalam hati aku menangis. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin bergabung dengan mereka. Membicarakan dunia perkuliahan, membicarakan jurusan yang dipilih dan membicarakan masa depan.

Aku tak boleh egois. Untuk dapat menuntaskan bangku sekolahku saja, orang tuaku harus banting tulang. Bagaimana jika aku kuliah nanti? Dengan apa mereka harus membiayai semua itu? Daun?

Aku pernah membicarakan masalah ini pada ayahku. Dan, “Ayah tidak punya uang untuk membiayai kamu kuliah.” Aku sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan keluar. Dalam hati aku hanya bisa bicara “Mungkinkan ada Mukjizat pada keluargaku?”

Ternyata Do’a dan usahaku tak sia-sia. Semester ganjil kemarin aku menduduki peringkat ke 4 di kelasku. Aku sangat senang. Aku menganggap itu sebuah mukjizat. Aku segera memberitahukan kabar baik ini pada ayahku. Dan memang benar. Mukjizat itu ada. Tiba-tiba ayah menyuruhku untuk mengikuti PMDK. Aku sangat senang. Aku segera mencari informasi tentang beasiswa pendidikan. Setiap hari aku membuka internet untuk mencari informasi yang aku butuhkan. Ya Tuhan! Terimakasih.

Berbagai saran dan informasi diberikan padaku. Aku segera mencetak formulir Beasiswa Mengikuti Ujian (BMU) bagi siswa berprestasi dari berbagai Universitas Negri. akhirnya ada 4 Univesitas Negri yang aku pilih. Aku juga telah mengirim biodata dan persyaratan yang dibutuhkan. Meskipun persaingan sangat ketat aku tak boleh pesimis. Aku yakin keberuntungan dan mukjizat menyertaiku.

Banyak yang masuk ke Universitas dengan memberikan sejumlah uang. Aku tidak setuju dengan itu. Jika itu masoh berlanjut maka masa depan anak negri akan suram. Mereka yang tidak memiliki uang tapi pintar pasti tidak akan bisa merasakan dunia kuliah. Ujung-ujungnya penganguran merajalela. Aku sangat bersyukur bisa merasakan bangku sekolah dan menuntaskan pendidikanku.

Ada berita bahwa Yayasan Pendidikan Bakrie memberikan bantuan beasiswa kepada dua anak warga korban lumpur melalui Yayasan Peduli Lumpur Sidoarjo (Yaplus). Biaya pendidikan yang diberikan per orang untuk delapan semester itu mencapai Rp 90 sampai Rp 100 juta. Hanya 2 orang? Sedangkan korban dari Lumpur Lapindo sangat banyak. Apa semua itu hanya untuk mencari simpati?

Aku tak akan mengikuti beasiswa itu. aku tak akan menjual ilmu yang selama ini aku dapatkan untuk membuat orang menderita. Anak yang mendapatkan beasiswa itu pasti tidak akan peduli dengan mereka yang sesama korban Lumpur Lapindo. Dia akan terikat dengan berbagai aturan yang ditetapkan oleh pihak tersebut. Dia taidak akann menentang ketidak adilan yang ada demi beasiswa yang dia terima.

Aku berharap agar aku diterima di salah satu Universitas Negri. Akan aku tunjukkan tanpa beasiswa dari seorang yang mengatasnamakan Yaplus, aku bisa kuliah. Aku juga berharap agar mereka semua yang tidak dapat kuliah dengan alasan biaya segera sadar. Banyak car agar tetap melanjutkan pendidikan diantaranya dengan cara mencari beasiswa. Tapi jangan sampai salah mencari beasiswa ya! Kita harus tetap melanjutkan pendidikan kita agar menjadi orang yang berguna bagi semua orang. Kepintaran kita jangan untuk menyengsarakan orang lain.

Daris Ilma

 


Translate »