Korban Lumpur Masih Terlunta-lunta


 

Proses jual-beli aset mereka, berupa tanah dan bangunan, dengan PT Minarak Lapindo Jaya sejak hampir empat tahun lalu hingga kini belum beres.

Semburan lumpur panas terjadi 29 Mei 2006 di lahan konsesi pertambangan gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, sekitar 12 kilometer dari Kota Sidoarjo, Jawa Timur.

Pasal 15 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan, Lapindo membeli aset tanah dan bangunan warga korban lumpur di wilayah yang ditetapkan sebagai area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

Pembayaran 20 persen di muka dan sisanya (80 persen) dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Nilai aset tanah kering atau pekarangan Rp 1 juta per meter persegi, sawah Rp 120.000 per meter persegi, dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi. Untuk proses jual-beli, Lapindo menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai pelaksana.

Menurut Vice President PT MLJ Andi Darussalam Tabussala, hingga 2 Februari 2010 pihaknya menerima 13.237 berkas kepemilikan aset warga. Sudah 13.042 berkas dibayar uang mukanya. Proses pembayaran sisa 80 persen sedang dilakukan untuk 11.347 berkas. ”Kami sudah melunasi 6.786 berkas. Total kami sudah membayar Rp 2,1 triliun,” katanya.

Dari 13.237 berkas, MLJ masih memverifikasi 217 berkas. Selain itu, ada 114 berkas masih diverifikasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ”Data dari BPLS kami klarifikasi dan cocokkan dengan foto satelit, keterangan saksi, serta berkas lain,” ujarnya.

Penyebabnya, beberapa warga pernah memasukkan data palsu untuk mendapat pembayaran lebih besar. Sebagian sudah dilaporkan ke Polres Sidoarjo. ”Sebagian lagi bersedia menerima hasil klarifikasi,” kata Andi.

Ada yang belum

Andi tidak mengelak bahwa masih ada warga yang belum dibayar sama sekali. Di antara korban itu, ada 19 rumah di Desa Gempolsari yang nilainya sekitar Rp 22 miliar. Padahal, mereka sudah diverifikasi oleh BPLS dan sudah disumpah sebagai persyaratan menerima pembayaran.

Muhammad Saddir, juru bicara 19 warga itu, menduga, aset mereka belum dibayar karena ada perselisihan antara warga dan MLJ mengenai status tanah warga. Berdasarkan bukti kepemilikan tanah berupa Pethok D dan Letter C, tanah warga adalah tegalan atau tanah kering. Adapun versi MLJ, tanah warga berupa tanah basah atau sawah.

Kepala Hubungan Masyarakat BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, aset 19 warga sudah selesai diverifikasi BPLS. ”Tanah itu termasuk tanah kering. Kami sudah mengimbau Minarak agar segera melakukan jual beli, tetapi tidak didengar,” katanya.

Menurut warga, pemotongan menjadi hal lumrah. ”Pemotongan bangunan sudah umum terjadi biarpun berkas kami sudah diverifikasi BPLS maupun disumpah. Kalau tidak mau dipotong, biasanya dipersulit. Saya akhirnya menyerah bangunan saya dipotong 9 meter,” kata Ny Nanik, warga Kedungbendo.

Hal serupa dituturkan Sisno, warga Desa Renokenongo. ”Bangunan saya dikurangi 8 meter. Saya mau saja, yang penting segera dibayar,” katanya.

Dalam perkembangannya, perpres mandul karena Lapindo tak bisa memenuhi. Dengan alasan terkena krisis global, skema pembayaran diubah di Kantor Menteri Pekerjaan Umum 20 Februari 2009. Hasilnya, pembayaran ganti rugi 80 persen dicicil tiap bulan sebesar Rp 15 juta.

Sebagian warga menolak dan sebagian terpaksa menerima perubahan itu karena kondisi ekonomi dan sosialnya sudah di titik nadir keterpurukan.

Hal lain adalah keluhan dari korban lumpur yang menempati perumahan Kahuripan Nirwana Village. Hampir setahun mereka menempati rumah sebagai bentuk pembayaran PT MLJ, tetapi warga belum memperoleh akta jual beli ataupun sertifikat. Padahal, semula dijanjikan akan beres dua bulan setelah menempati perumahan. (ANO/APO/RAZ)

(c) Kompas

 


Translate »