SOS, Selamatkan Sidoarjo!


Dinamika politik di Sidoarjo semakin mengkuatirkan. Bagaimana tidak, tiga orang yang selama ini dikenal sebagai ‘orang’ Lapindo kini mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo. Setelah berhasil ‘menguasai’ tanah Sidoarjo melalui pembelokan persoalan ganti rugi menjadi sekedar jual beli asset, bukan tidak mungkin sebentar lagi Sidoarjo secara politik jatuh ke tangan Lapindo secara total.

Ketiga petinggi Lapindo yang mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo itu adalah Bambang Prasetyo Widodo, Direktur Operasional PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc. Bakal calon Bupati Sidoarjo berikutanya adalah  Gesang Budiarso, Dewan Komisaris PT Minarak Lapindo Jaya.  Satu orang lainnya adalah Yuniwati Teryana yang tercatat sebagai Vice President External Relation Lapindo Brantas Inc. Akhir Februari lalu, ia juga mendeklarasikan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo.

Mencalonkan diri secara politik menjadi pejabat publik termasuk Bupati Sidoarjo adalah hak setiap warga negara. Namun, untuk pemilihan kepala daerah (pilkada)Sidoarjo agak ganjil bila tiga petinggi kelompok Lapindo secara bersamaan mencalonkan diri menjadi pejabat publik di kawasan itu. Apa kepentingan Lapindo dalam pilkada Sidoarjo?

Seperti diberitakan oleh berbagai media massa nasional, memasuki tahun keempat, semburan lumpur Lapindo ternyata belum terselesaikan secara tuntas dan adil. Bahkan dampak buruk semburan lumpur makin meluas, menembus batas-batas peta area terdampak yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Bukan hanya tanah, rumah dan sawah yang terendam, udara dan air tanah di Porong, Sidoarjo pun kini telah tercemar.

Di pertengahan tahun 2009 lalu misalnya, warga dari kawasan Siring Barat, Jatirejo dan Mindi di Porong, Sidoarjo harus mengungsi dari rumahnya. Pasalnya, Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Timur menyatakan kawasan di tiga desa tersebut tidak layak huni akibat dampak semburan lumpur Lapindo yang makin meluas.

Celakanya, selain dampak buruk semburan lumpur Lapindo makin meluas, proses jual beli asset korban lumpur pun berjalan tersendat. Janji-janji manis yang dilontarkan oleh pihak Lapindo kepada warga dengan mudah diingkari. Begitu pula janji dari pemerintah yang akan mengawal proses jual beli asset korban lumpur ternyata hanya isapan jempol.

Kondisi itulah yang membuat Bupati Sidoarjo Win Hendrarso beberapa kali mendesak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Di penghujung tahun 2009 lalu misalnya, ia kembali mendesak pihak Lapindo untuk menepati janjinya membayar uang jual beli asset  korban lumpur Lapindo yang tersisa.

Keberanian Bupati Win Hendarso yang beberapa kali mendesak pihak Lapindo mungkin akan segera menjadi kenangan bila salah satu dari ketiga pimpinan Lapindo yang menduduki jabatan Bupati Sidoarjo. Keberanian untuk membela korban lumpur akan terhenti begitu yang menjabat Bupati Sidoarjo memiliki konflik kepentingan dengan Lapindo.

Padahal memasuki tahun keempat semburan lumpur, warga Sidoarjo memerlukan seorang bupati yang berani bukan hanya mendampingi warga korban lumpur tapi juga berada di barisan terdepan ketika berhadapan dengan Lapindo dan juga pemerintah pusat dalam memperjuangkan hak-hak korban lumpur. Bukan hanya hak atas tanah yang telah terendam lumpur namun juga hak atas kesehatan, air bersih dan juga penghidupan yang layak.

Aroma untuk memetieskan kasus lumpur Lapindo secara tuntas, melalui pencalonan tiga petinggi Lapindo sebagai Bupati Sidoarjo mulai menyengat. Terlebih sebelumnya, Kepolisan Daerah Jawa Timur telah berhasil memetieskan kasus pidana Lapindo melelui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Setelah secara hukum kasus lumpur Lapindo berhasil dipetieskan, secara politik kasus ini juga mulai ditinggalkan. Partai-partai politik di tingkat nasional lebih asyik mempersoalkan kasus skandal Bank Century dan melupakan penderitaan panjang korban lumpur yang akan memasuki tahun keempat.

Sialnya, meskipun di tingkat nasional persoalan lumpur Lapindo tidak lagi dianggap penting, ternyata tidak menyurutkan perlawanan korban lumpur di Sidoarjo untuk terus menerus menuntut haknya. Hal itu terbukti beberapa kali perlawanan korban lumpur itu mendapat liputan di berbagai media massa nasional. Bahkan di hadapan Menteri Kelautan Fadel Muhammad, kolega Aburizal Bakrie di Partai Golkar, para petani budidaya ikan dan udang di Sidoarjo secara lugas menyampaikan keluhannya terkait dampak buruk lumpur Lapindo terhadap usaha tambaknya.

Suara protes dari Sidoarjo itu jika tidak ditertibkan tentu akan memancing elite politik di tingkat pusat yang semula sudah bungkam untuk kembali bersuara. Dan bila itu terjadi maka upaya untuk memetieskan kasus lumpur Lapindo akan berantakan. Perlawanan warga Sidoarjo harus diredam melalui jalur politik dengan mengabil alih kekuasaan bupati di kawasan itu.

Proyek untuk memetieskan kasus lumpur Lapindo tidak boleh gagal. Jika upaya memetieskan kasus lumpur Lapindo ini gagal maka bukan tidak mungkin akan berkembang seperti kasus pencemaran di Bhopal yang setiap tahun diperingati oleh para penggiat lingkungan hidup di dunia. Dan itu merupakan aib bagi Lapindo dan group perusahaan yang menaunginya.

Selain itu, upaya menguasai Sidoarjo secara politik ini sejatinya menunjukan bahwa sebenarnya semburan lumpur di kawasan itu bukan murni bencana alam. Jika murni bencana alam, tantu para petinggi Lapindo tidak perlu capek-capek untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Sidoarjo.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun secara jelas juga telah menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam tidak terkait dengan pemboran. Lantas apa lagi yang ditakutkan Lapindo?

Tentu ada motif ekonomi selain motif politik untuk membungkam protes korban lumpur dan membersihkan citra para elite politik yang selama ini diindentikan dengan lumpur Lapindo. Kepemilikan lahan setelah proses jual beli aset korban lumpur adalah salah satu yang persoalan yang masih mengganjal. Apakah tanah milik korban lumpur yang telah diperjual belikan selama ini akan menjadi milik negara atau Lapindo? Persoalan kepemilikan lahan yang begitu luas itu adalah asset yang besar bagi sebuah korporasi. Dan itu harus diselamatkan. Salah satu upaya penyelamatannya adalah melalui dukungan politik.

Di antara kepentingan ekonomi-politik pencalonan ketiga petinggi Lapindo itu, dimanakah posisi korban lumpur? Apakah mereka hanya sekedar menjadi tumbal dari kepentingan ekonomi-politik segelintir elite dan korporasi besar yang tengah memperebutkan kawasan Sidoarjo berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya? Lagi-lagi warga Sidoarjo dan juga korban lumpur hanya dinilai sebatas deretan angka-angka yang diperebutkan dalam sebuah kompetisi politik, bukan sebagai warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya. (Firdaus Cahyadi)

(c) Artikel dimuat di Koran TEMPO, 3 Maret 2010


Translate »