Jejak Penyesatan Informasi Kasus Lumpur Lapindo


Firdaus Cahyadi –  Bulan Mei 2006 adalah bulan yang tidak pernah dilupakan oleh warga Porong, Sidoarjo. Bahkan mungkin juga tidak pernah dilupakan oleh kita sebagai warga Indonesia.

***

Bulan Mei 2006 adalah bulan yang tidak pernah dilupakan oleh warga Porong, Sidoarjo. Bahkan mungkin juga tidak pernah dilupakan oleh kita sebagai warga Indonesia. Pasalnya, pada bulan itu lumpur Lapindo untuk pertama kalinya menyembur di Porong, Sidoarjo. Lumpur itu kemudian yang menenggelamkan seluruh tanah, rumah dan harapan warga Porong untuk hidup lebih baik sebagai warga negara.

Potret penderitaan korban lumpur Lapindo yang berlarut-larut hingga empat tahun ini seharusnya tidak perlu terjadi jika sejak awal warga Porong diberikan informasi yang benar. Sebelum pengeboran, saat terjadinya semburan lumpur hingga setelah lumpur menenggelamkan Porong, masyarakat sering menerima penyesatan informasi.

“Dalam kasus Lapindo, hak publik yang pertama kali hilang adalah hak atas informasi,” ujar Anggota Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Syafruddin Ngulma Simeulue dalam diskusi offline di kantor SatuDunia beberapa waktu lalu. ”Harusnya sebelum pengeboran, masyarakat diiformasikan mengenai kemungkinan resiko terjadinya kecelakaan pengeboran”.

Bahkan, lanjut Syafruddin Ngulma Simeulue, sampai kini di dalam dokumen tata ruang Sidoarjo itu tidak dikenal Blok Brantas. “Tragisnya Imam Utomo Gubernur Jawa Timur saat itu pernah menyatakan tidak perlu merubah tata ruang untuk memberikan ijin pengeboran di blok Brantas,” ujarnya. “Padahal dalam setiap pengeboran itu memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan dan resiko itu tidak diinformasikan ke masyarakat”.

Jika sejak awal warga Porong diberikan informasi yang benar, besar kemungkinan tidak pernah muncul semburan lumpur Lapindo karena masyarakat di sekitar sumur Banjar Panji-1 dapat menolak pengeboran jika berpotensi membahayakan kehidupan mereka. “Dalam temuan Tim Investigasi Komnas HAM pun dengan jelas menyebutkan adanya indikasi kuat dugaan pelanggaran hak atas informasi publik dalam kasus Lapindo,” jelasnya.

Tidak adanya informasi yang akurat mengenai risiko terjadinya kecelakaan industri pengeboran dalam kasus Lapindo ini juga diperkuat oleh laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan auditnya, BPK menyebutkan  bahwa berdasarkan hasil penelahaan dokumen usulan dan evaluasi pengeboran diketahui bahwa PT Lapindo Brantas maupun evaluasi BP Migas tidak memasukkan aspek risiko kemungkinan terjadinya mud volcano di wilayah Jawa Timur atau di daerah Sidoarjo.

Setelah terjadinya semburan lumpur panas, Lapindo baru memetakan detail sesar di permukaan Banjar Panji 1(BJP-1) pada bulan Agustus 2006. Interpretasi pemetaan sesar tersebut menunjukkan adanya pola penyebaran daerah bencana yang sirkuler mengelilingi titik semburan.

Adanya potensi risiko pengeboran akan menembus gunung lumpur dan adanya sesar/patahan ternyata tidak dimasukkan dalam prognosa pengeboran maupun evaluasi pengeboran. Berdasarkan dokumen yang ada, prognosa maupun evaluasi pengeboran hanya memasukkan aspek risiko pengeboran dalam bentuk loss, kick, maupun blowout.

Singkat kata, tidak ada informasi yang mencukupi mengenai kondisi geologi yang beresiko menimbulkan bencana ekologi jika dilakukan pengeboran di wilayah Porong. Kondisi geologi mengenai adanya potensi bencana justru baru dipetakan dan kemudian diinformasikan setalah muncul semburan lumpur.

Kini semuanya nampak telah terlambat. Sebagaian wilayah Porong telah terendam lumpur Lapindo. Tanah, rumah, sekolah dan tempat ibadah di sebagian wilayah Porong kini hanya tinggal kenangan. Bukan itu saja, alat-alat produksi dari industri rumah tangga yang dimiliki oleh warga pun juga musnah.

Hilangnya alat-alat produksi industri rumah tangga itu dialami oleh Bapak Hari Suwandi, salah seorang korban Lapindo yang rajin berdemonstrasi menuntut hak-haknya sebagai korban lumpur. Sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan kampungnya, ia hidup makmur menjadi pengerajin di sebuah industri rumah tangga. Namun sekarang hidupnya tidak menentu. Alat-alat produksinya telah musnah oleh lumpur Lapindo “Tenggelamnya alat-alat produksi kami tidak pernah diganti oleh Lapindo,” ungkapnya.

Iklan dan Penyesatan Informasi

Iklan di media massa mungkin adalah cara yang cukup efektif untuk memoles citra diri yang sedang ternoda. Belum lama berselang peringatan dua tahun semburan lumpur panas di Sidoarjo, iklan Lapindo kembali menghiasi berbagai media massa.

Seperti iklan-iklan Lapindo sebelumnya, pesan utama dalam iklan itu adalah meskipun lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo merupakan bencana alam, namun Lapindo tetap memiliki komitmen sosial. Sah-sah saja bila sebuah korporasi yang sedang mengalami krisis menggunakan iklan sebagai bagian dari strategi public relation (PR) untuk menggalang opini publik guna mendongkrak kembali citra korporasi.

Persoalannya kemudian adalah serangkaian argumentasi yang dikutip dalam iklan untuk mendongkrak citra korporasi itu ternyata justru menyesatkan publik dalam memahami kasus ini. Dalam iklannya di sebuah majalah nasional, Lapindo mengutip pernyataan Ketua Panitia Seminar Forum Masyarakat Jawa Timur yang mengatakan bahwa semburan lumpur sebagai underground blow out didasarkan pada data yang tidak faktual dan analisis yang salah. Intinya Lapindo tatap bersikeras bahwa semburan lumpur adalah bencana alam bukan kelalaian dalam operasional pertambangan.

Underground blow out sendiri adalah munculnya aliran minyak, gas dan lumpur yang tidak bisa dikendalikan di dalam pipa pengeboran atau lubang sumur sehingga menimbulkan nyala api di bawah permukaan atau di dalam sumur.

Jika pembaca tidak jeli, maka pembaca akan dengan mudah tergiring untuk mengikuti opini publik yang mamang sudah sejak awal sengaja digalang oleh Lapindo. Untuk menguji kebenaran pernyataan dalam iklan tersebut ada baiknya kita membandingkannya dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya terkait dengan kasus ini.

BPK menemukan dokumen Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di keitar lokasi sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang telah ditandatangani oleh Lapindo dan BP Migas. Dokumen itu menyebutkan bahwa BP Migas maupun Lapindo telah sepakat bahwa semburan tersebut akibat underground blow out.

Beberapa penelitian dan pendapat sebagian besar pakar geologi menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo terkait dengan proses pengeboran. Namun upaya penyesatan informasi yang memposisikan Tuhan sebagai kambing hitam dengan mengatakan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam terus berlanjut.

Celakanya gencarnya penyesatan informasi tersebut mampu mempengaruhi pola berpikir pemerintah dalam menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo. Munculnya Peraturan Presiden (Perpres) 14 Tahun 2007 yang mereduksi persoalan ganti rugi menjadi sekedar persoalan jual beli aset adalah salah satu hasil dari gencarnya penyesatan informasi ke lembaga-lembaga pemerintah bahkan sampai ke lembaga kepresidenan.

Berbohong di atas Penderitaan Korban Lumpur?

Penyesatan informasi ternyata terus berlanjut, tidak hanya terkait dengan penyebab munculnya semburan lumpur, malainkan juga terkait dengan kandungan lumpur itu sendiri.

Setelah semburan lumpur panas keluar, hak publik atas informasi semakin diabaikan. Semua informasi yang terkait dengan kandungan racun lumpur Lapindo beserta dampak buruknya seakan hilang ditelan bumi. Namun, yang justru muncul di ruang publik adalah komentar pejabat yang cenderung menyesatkan informasi.

Mayjen TNI Syamsul Mapparepa, yang pada saat menjabat menjadi Panglima Kodam Brawijaya, seperti yang ditulis dalam buku yang berjudul ‘Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni’, mengatakan bahwa lumpur Lapindo yang berwarna kehitam-hitaman tersebut tidak mengandung racun. Bahkan salah seorang pejabat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berani menjamin bahwa lumpur Lapindo tidak berbahaya.

Padahal peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Dwi Andreas Santosa, menemukan kandungan logam berat berupa cadmium (Cd), chromium (Cr), arsen, merkuri, serta kandungan bakteri patogen (pembawa bibit penyakit) seperti Coliform, Salmonella, dan Staphylococcus aureus dalam lumpur Lapindo di atas ambang batas yang dipersyaratkan.

Bukan hanya air dan lumpur yang mengandung racun, lumpur Lapindo juga dinilai telah menyebabkan polusi udara di kawasan Porong dan sekitarnya. Bahkan, terkait dengan semburan lumpur Lapindo, dalam rekomendasinya Gubernur Jawa Timur pada Maret 2008 telah menyebutkan bahwa kandungan hidrokarbon di udara telah mencapai 55 ribu ppm. Padahal ambang batas normalnya hanya 0,24 ppm.

Hal itu kemudian diperkuat oleh temuan Walhi Jawa Timur pada Oktober 2008 perihal adanya peningkatan jumlah orang yang menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) di Porong. Pada 2006, saat muncul semburan lumpur Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, namun pada 2008 meningkat menjadi 46 ribu orang. Sayangnya, informasi yang dapat mengancam keselamatan warga itu seperti tidak dinilai penting oleh pemerintah. Hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah atas informasi tersebut. Padahal informasi itu sebenarnya dapat digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan darurat guna menyelamatkan warga.

Disembunyikannya informasi yang berkaitan dengan dampak buruk lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia jelas bukan sebuah kebetulan, melainkan sebuah kesengajaan agar korban lumpur dan warga Porong lainnya tidak menuntut ganti rugi di luar mekanisme jual-beli aset fisik.

Dari uraian tersebut, sudah mulai terlihat bahwa apa pun mekanisme yang dibuat untuk menyelesaikan kasus Lapindo ini akan selalu jauh dari kata adil bila hak publik atas informasi mengenai kasus ini selalu dihilangkan. Dengan sebuah informasi yang benar mengenai kasus ini, akan diketahui dengan mudah ganti rugi seperti apa yang harusnya diterima oleh korban dan siapa sebenarnya pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya semburan lumpur Lapindo.

artikel dimuat di (c) satuportal.net