LAPINDO BRANTAS: ANTARA KORBAN LUMPUR DAN OBJEK WISATA


Husni K. Efendi – Hampir 4 tahun lamanya warga di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di desa , Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo dan sekitarnya, terhitung sejak Lumpur panas menyembur sejak tanggal 27 Mei 2006 silam, mereka harus hidup di pengungsian sampai sekarang. Berjibaku dengan masalah hidup yang lebih sulit dari sebelum mereka mengalami masalah ini. Ada banyak warga yang meninggal dunia karena menghirup gas dari semburan lumpur itu, apalagi saat pipa gas milik Pertamina meledak pada tanggal 26 November 2006 yang menewaskan 12 warga.

Fakta yang lebih besar lagi, ada sekitar 3.000 lebih kepala keluarga (KK) dengan 13.000 jiwa lebih yang terpaksa terusir dari kawasan semburan lumpur itu, bahkan dua desa di Porong “hilang” yakni Siring dan Renokenongo. Fakta-fakta ekologis itu memastikan adanya pelanggaran HAM berat sesuai UU Nomor 26 Tahun 2006, bahkan Komnas HAM mencatat 18 jenis pelanggaran HAM yang merujuk fakta-fakta ekologis yang ada.

Bagaimana tidak, rumah dan tanah yang tadinya mereka tinggali tergenang lumpur panas dengan masalah ganti rugi yang tidak jelas, belum lagi masalah kebutuhan hidup sehari-hari dan kesehatan juga pendidikan yang nyaris diacuhkan oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak PT Lapindo Brantas sendiri.

Parahnya mediapun lebih memilih menuliskan “Lumpur Sidoarjo” dibanding dengan “Lumpur Lapindo Brantas.” Tanpa sadar media pun ikut menyetir pola pikir masyarakat, secara tidak langsung mengatakan bahwa itu semua adalah gejala alam dan bukan kesalahan manusia. Dengan asumsi ini adalah gejala alam yang mau tidak mau masyarakat Sidoarjo harus menerimanya. Lantas pertanyaan klasik janji SBY dulu tentang Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007:

Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1). Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

Tidak jelas realisasinya, nyatanya juga janji itu seperti angin lalu, seolah-olah dengan hanya mengeluarkan Peraturan Presiden masalahnya selesai. Kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di lapangan, warga korban Lapindo Brantas terus menuntut hak mereka sampai sekarang. Bagaiamana menceritakan penderitaan yang dialami warga Lapindo kadang kemudian hanya menjadi kisah sinetron yang didramatisir bagi mereka yang berkepentingan (berkampanye dalam pemilu).

Kisah tragis Mbok Jumi korban lumpur Lapindo Brantas misalnya yang mengalami sakit sampai akhir hayatnya menyaksikan tanah, rumah dan kampungnya terendam lumpur juga tidak banyak yang tahu. Ia meninggal dunia dengan tetap menyandang status sebagai korban lumpur Lapindo Brantas.

Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis?!

Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis adalah pemberitaan tentang usulan Presiden SBY dalam detiknews.com edisi 29 Maret 2010. Dia menyebutkan bahwa dengan menjadikan kawasan luapan lumpur Sidoarjo menjadi kawasan objek wisata setidaknya bisa diatur menjadi semacam wisata geologis, sumber perikanan, pertanian, kelautan atau lainnya.

Alih-alih bagaimana SBY mengevaluasi realisasi dari Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, atau memikirkan korban warga lumpur Lapindo Brantas yang masih dalam pengungsian dengan segala permasalahannya. Yang ada malah usulan untuk menjadikan kawasan wisata. Sepertinya tidak tahu lagi apa sebenarnya yang menjadi komitmen Presiden SBY terhadap warga Korban Lumpur Lapindo ini. Tidak masalah mungkin jika langkah ini diambil jika memang masalah sebelumnya juga sudah teratasi.

Begitu banyak masalah yang terjadi dengan luapan lumpur Lapindo Brantas sehingga seolah-olah SBY tidak mau dipusingkan dengan itu, dengan gegabah merencanakan objek wisata di daerah luapan lumpur. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana warga mau mengelola itu setidaknya mendapatkan manfaatnya, jika kebutuhan-kebutuhan mendasarnya pun sampai sekarang tidak terpenuhi (masalah ganti rugi, kesehatan, dampak psikologis). Sepertinya dengan mengatakan ide ini terlalu dangkal untuk kapasitas seorang presiden, kiranya tidak berlebihan.

Tidak lama berselang DPR juga senada dengan “boss”-nya, lewat Marzuki Alie sebagai ketua DPR, menyetujui usulan Presiden SBY dalam rangka menjadikan Lumpur Lapindo menjadi kawasan wisata.

Belum berhenti sampai di sini, kebobrokan birokrasi ini ditandai lagi dengan bagaimana Gubernur Jawa-Timur, Soekarwo memberikan penghargaan Zero Accident Award kepada PT Lapindo Brantas Inc. pada 25 Maret lalu.

Teman saya mengomentari, “Kalau PT Lapindo Brantas mendapatkan Penghargaan Zero Accident, besok mungkin Freeport dapat penghargaan sebagai perusahaan yang paling menghargai HAM, dan Newmont sebagai perusahaan yang paling menghargai Lingkungan.” Sepertinya kelakar teman saya tadi memang nyata.

Alhasil harus kepada siapa lagi korban Lapindo Brantas ini akan mengadu? Dan kita semua perlu waspada, jika masalah ini terus berlarut-larut kita tunggu saja bom waktu ini kapan akan meledak.

Penulis adalah anggota Komunitas Ultimus Bandung , sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

(c) portal Prakarsa Rakyat


Translate »