Menyoal Gagasan Wisata Lumpur Lapindo


Firdaus Cahyadi – Menjelang empat tahun usia semburan lumpur Lapindo, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluangkan waktunya untuk mengunjungi kawasan Porong, Sidoarjo, yang telah hancur lebur akibat semburan lumpur. Kunjungan Presiden SBY tentu saja pantas diapresiasi karena selama ini timbul kesan bahwa negara telah meninggalkan korban lumpur.

Namun, sayang, apresiasi terhadap kunjungan Presiden SBY ke Porong tiba-tiba sirna dengan munculnya gagasan Presiden untuk menjadikan kawasan lumpur Lapindo sebagai sebuah obyek wisata geologis. Gagasan tersebut pantas mendapat tentangan dari masyarakat. Pasalnya, kawasan itu sebenarnya dapat dikategorikan kawasan beracun yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Seperti ditulis dalam buku Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Hunian, yang diterbitkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), peneliti dari Institut Pertanian Bogor, Dr Dwi Andreas Santosa, menemukan kandungan logam berat berupa cadmium (Cd), chromium (Cr), arsen, dan merkuri serta kandungan bakteri patogen (pembawa bibit penyakit), seperti coliform, salmonella, dan stapylococcus aureus, dalam lumpur Lapindo di atas ambang batas yang disyaratkan.

Bukan hanya air dan lumpur yang mengandung racun, lumpur Lapindo juga dinilai telah menyebabkan polusi udara di kawasan Porong dan sekitarnya. Bahkan, dalam kaitan dengan semburan lumpur Lapindo, dalam rekomendasinya, Gubernur Jawa Timur pada Maret 2008 telah menyebutkan bahwa kandungan hidrokarbon di udara telah mencapai 55 ribu ppm. Padahal ambang batas normalnya hanya 0,24 ppm.

Hal itu kemudian diperkuat oleh temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur pada Oktober 2008, yang menemukan adanya peningkatan jumlah orang yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Porong. Pada 2006, saat munculnya semburan Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, tapi pada 2008 meningkat menjadi 46 ribu orang.

Tak hanya sampai di situ, tanah di sekitar kawasan semburan lumpur Lapindo juga berpotensi mengalami penurunan (subsident). Bahkan penurunan tanah di Porong, Sidoarjo, juga terjadi di luar wilayah pusat semburan lumpur di sumur Banjar Panji-1. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pun tidak berani menjamin area relokasi tol Porong aman dari semburan lumpur maupun subsident. Nah, alangkah berbahayanya jika kemudian kawasan itu dijadikan obyek wisata geologis.

Selain kondisi ekologis yang tidak memungkinkan, gagasan untuk menjadikan kawasan semburan lumpur menjadi obyek wisata geologis berpotensi menghapus jejak berbagai pelanggaran yang telah terjadi pada kasus semburan lumpur di Sidoarjo.

Serangkaian pelanggaran itu antara lain dihilangkannya hak atas informasi publik berkaitan dengan risiko eksplorasi pertambangan di kawasan padat huni, seperti di Porong, Sidoarjo. Padahal penentuan lokasi sumur migas Lapindo di kawasan Porong tidak sesuai dengan ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia.

Ketentuan Standar Nasional Nomor 13-6910-2002 itu menyebutkan bahwa sumur pengeboran migas harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan, atau tempat-tempat lain yang berpotensi menimbulkan sumber nyala api. Sementara itu , sumur Banjar Panji-1 hanya berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana publik, dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Jika serangkaian jejak dari pelanggaran hak atas informasi publik tersebut dihilangkan, itu sebuah preseden buruk bagi pengelolaan industri tambang di negeri ini ke depan.

Di luar persoalan di atas, gagasan untuk menjadikan kawasan semburan lumpur sebagai obyek wisata geologis juga mengundang pertanyaan, siapa sebenarnya yang akan diuntungkan jika kawasan itu telah menjadi obyek wisata geologis? Masyarakat sekitar semburan atau justru Grup Bakrie?

Sebagaimana diketahui, sebagian besar tanah di kawasan Porong kini telah dibeli oleh pihak Lapindo atau Grup Bakrie. Pembelokan persoalan ganti rugi menjadi sekadar jual-beli aset korban lumpur ternyata membawa berkah tersendiri bagi Grup Bakrie. Kini Grup Bakrie telah “memiliki” tanah yang begitu luas di Porong, Sidoarjo. Jika kemudian kawasan semburan lumpur dijadikan obyek wisata, dapat dipastikan grup korporasi tersebut yang akan paling diuntungkan, bukan masyarakat sekitar.

Sebagai kepala negara Republik Indonesia, seharusnya pada kunjungan itu Presiden SBY mengeluarkan terobosan gagasan yang dapat menjamin hak-hak korban lumpur tidak terus-menerus dilanggar dan memastikan bahwa kejadian semburan lumpur seperti di Porong tidak akan pernah terjadi di kawasan pertambangan migas lainnya di Indonesia. Bukan justru mengeluarkan gagasan yang berpotensi menjadi preseden buruk pengelolaan industri tambang di Tanah Air dan menguntungkan korporasi yang telah menguasai tanah di Porong, Sidoarjo.

artikel ini pernah dimuat di (c) korantempo.com


Translate »