Pusaran Bisnis di Balik Sirtu


Di siang yang terik itu, beberapa bulldozer dan excavator tampak rajin bergerak. Menimbun, memadatkan dan meratakan sirtu yang tengah menumpuk di tanggul lumpur bagian Ketapang yang telah menjulang setinggi 15 meter. Sebuah rutinitas yang sudah berlangsung selama nyaris empat tahun terakhir di seputaran tanggul lumpur akibat kejahatan korporasi.

Pada badan bulldozer dan excavator terpampang besar sebuah nama: PT. Adhi Karya. “PT. Adhi Karya merupakan salah satu kontraktor yang bertugas untuk mendirikan tanggul-tanggul lumpur, di samping dua kontraktor lainnya, yakni PT Abhipraya Brantas dan PT Wijaya Karya,” ungkap Ahmad Zulkarnaen, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Ketiga kontraktor tersebut sudah beroperasi cukup lama. Bahkan sebelum BPLS dibentuk. Dan, kami hanya meneruskan pengerjaan tanggul berdasarkan apa yang sudah diwariskan kepada kami oleh Tim Nasional beserta PT Lapindo Brantas.”

PT Adhi Karya merupakan salah satu BUMN yang di sini diberi peran mengamankan Porong melalui pembangunan infrastruktur. Perusahaan yang merupakan hasil dari nasionalisasi perusahaan Belanda ini, telah beroperasi selama nyaris empat tahun bersama-sama dengan dua BUMN serupa, PT Wijaya Karya dan PT Brantas Abipraya. Jangan tanya urusan lain. Apapun pertanyaannya, BUMN itu hanya akan menjawab “cuma menjalankan tugas”: mendirikan dan meninggikan tanggul.

Ketiga kontraktor itu pun akan berbangga diri dengan berbagai pengakuan dan penghargaan yang mereka terima. PT Brantas Abipraya, misalnya, menerima sertifikat jaminan mutu ISO 9001:2000 sejak 22 Januari 1998 dari Lloyd’s Register Quality Assurance. Atau, PT Wijaya Karya akan bercerita mengenai beberapa proyek pembangunan mercusuar yang mereka garap. Jembatan Suramadu yang menggelantung di Selat Madura merupakan salah satu garapan PT Wijaya Karya. Demikian pula dengan PT Adhi Karya. Perusahaan ini menerima GCG Award 2007, kategori Perusahaan Terpercaya dengan skor 81,79 dan kategori Perusahaan Publik Terbaik berdasarkan bidang usaha utama dalam sektor properti dan real estate dari The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG).

Soal tanggung jawab lingkungan, seperti halnya BPLS yang menyerahkan urusan pada kontraktor-kontraktor, ketiga kontraktor itu juga akan melimpahkan ke subkontraktor penyedia sirtu. Untuk pendirian tanggul di atas, ketiga kontraktor ini mendatangkan sirtu yang dipasok dari beberapa konsesi penambangan sirtu di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto. Sampai saat ini, tidak banyak diketahui tentang subkontraktor yang terlibat secara khusus dengan pendirian tanggul selain CV. Wahyu. Banyak perusahaan penambang sirtu berkelit bahwasanya penambangan yang mereka lakukan tidak terkait secara langsung dengan proyek pendirian tanggul.

“Kami hanya menyediakan sirtu. Mengenai pembelinya, kami tidak tahu-menahu tentang itu. Entah digunakan untuk pengerjaan tanggul lumpur di Porong, atau untuk kepentingan lainnya, kami tidak tahu!” tegas salah pimpinan perusahaan PT Agung Satrya Abadi, salah satu perusahaan penambang sirtu, saat dihubungi Kanal.

Keberadaan CV. Wahyu sebagai pihak yang menjalin hubungan khusus dengan para kontraktor pembangunan tanggul di Porong meledak menjadi sebuah persoalan sosial yang sangat mengerikan. Dengan berkaca pada kejadian yang terjadi pada awal tahun 2007 di Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Pasuruan, terlihat secara jelas keberpihakan Pemerintah terhadap korporasi penggalian sirtu. Meskipun dengan dalih kemanusiaan, kegiatan pengamanan yang dilakukan oleh TNI AU dalam menjaga konsesi penambangan dari protes warga setempat merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah. Padahal, dalam kasus sirtu di Pandean, penggalian telah melanggar aturan-aturan yang disepakati, bahkan merusak makam yang dikeramatkan oleh warga setempat.

Sementara itu, di Kecamatan Ngoro, Mojokerto, konsesi penambangan sirtu dipegang oleh PT Karya Mitra Sejati dengan area konsesi seluas 445,135 hektare, meliputi Desa Manduro, Wonosari, Wotanmas Jedong, Kunjorowesi, dan Ngoro. Juga, PT Geolava Manunggal Teknik yang wilayah konsesi penambangannya mencapai 219,52 hektare, meliputi Desa Wotanmas Jedong, Srigading, dan Kutogirang. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Kanal, para pemegang hak konsesi penambangan sirtu ini bertanggung jawab memasok kebutuhan sirtu tanggul-tanggul lumpur di Porong. Terlihat dari truk-truk pengangkut sirtu yang hilir mudik Ngoro-Porong.

Rantai tanggung jawab terhadap dampak lingkungan mungkin sengaja dibikin rumit, demi menyelubungi rantai rupiah yang bernilai sangat tidak sedikit. Bayangkan, untuk setiap meter kubiknya, merujuk pada harga pasaran, sirtu dihargai Rp 24.800,-. Satu truk sirtu dengan kapasitas yang dipaksakan—22 meter kubik per truk, pada taraf yang ideal adalah 20 meter kubik per truk—harganya mencapai Rp 496.000,-. Belum termasuk di dalamnya, bea driver dan segala macam bea pengangkutan yang meliputi: bea makan, bea bahan bakar dan bea lain-lain. Sehingga jika diakumulasikan, untuk jarak antar 20 kilometer dari area konsesi penggalian sirtu, harganya bisa mencapai Rp 858.100,- per sekali antar berikut sirtunya.

Jika menilik pada tanggul, dibutuhkan sirtu sebanyak 34.100 meter kubik per harinya. Jumlah yang sedemikian besar setara dengan 1.550 damtruk berkapasitas 22 meter kubik. Bila diakumulasikan hingga hari ini, jumlah sirtu telah mencapai lebih dari 40 juta meter kubik. Dan untuk itu, setidaknya biaya yang harus dikeluarkan lebih dari Rp 900 miliar. Bea ini hanya digunakan untuk pembelian sirtu saja. Belum termasuk dengan bea pangangkutan yang memakan biaya lebih dari Rp 300 miliar. Bila dijumlahkan dengan bea sirtu maka total pembelian sirtu mencapai Rp 1,2 triliun selama empat tahun. Belum termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pekerjaan para kontraktor dalam mendirikan dan memadatkan tanggul.

Biaya yang sedemikian besar, pada awalnya berdasarkan pada Perpres Nomor 14 Tahun 2007 pasal 15 ayat 5, dibagi dua antara Lapindo Brantas Inc. dan APBN. Dalam hal ini, pembiayaan pada tanggul-tanggul seputar pusat semburan dibiayai oleh Lapindo, dan untuk tanggul-tanggul terluar dibiayai APBN. Namun, semenjak berlakunya Perpres Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007, pembiayaan dibebankan sepenuhnya pada APBN.

Dengan biaya raksasa tersebut, tidak salah jika tanggul menjadi lahan perputaran uang tersendiri. Bagi pihak-pihak yang terlibat, kontraktor-kontraktor sirtu berikut subkontraktornya, tanggul adalah kegemilangan. Biaya sebesar itu merupakan prospek bagi kelancaran bisnis. Selain karena nilainya yang tinggi, lumpur panas Lapindo, yang tidak bisa diperkirakan hingga kapan berlangsungnya, menjadi sinyal bagi kebutuhan sirtu yang terus menerus dan dalam skala yang besar. Dan ini adalah bisnis, dimana kontinuitas harus tetap dipertahankan bagi kelangsungan usaha para kontraktor dan subkontraktornya.

Ada yang melihat, ada ‘berkah’ di balik ‘bisnis’ sirtu itu. Berkat sirtu, pendapatan daerah naik. Dalam Keputusan Menteri Sumber Daya Energi dan Mineral Nomor 2498.K/84/MEM/2008 tertanggal 30 Oktober 2008,  jumlah perkiraan penerimaan untuk sektor pertambangan umum untuk Kabupaten Pasuruan pada tahun 2008 sebesar Rp 173.119.000,- yang didapatkan dari landrent sebesar Rp 36.619.000,-  dan pembayaran royalti senilai 136.500.000,-. Dan sebagian besar di antaranya merupakan pendapatan yang diperoleh dari penggalian sirtu. Angka perkiraan ini berkembang drastis bila dibandingkan dengan perkiraan di tahun 2007 yang berjumlah Rp 82.123.550,-.

Salah seorang sumber dalam Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Pasuruan menyebutkan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perluasan dan penambahan penggalian sirtu, tapi menolak kalau dinilai menambah kerusakan lingkungan. “Memang ada hubungan yang cukup signifikan antara pembangunan tanggul-tanggul lumpur di Porong dengan pembukaan dan perluasan area konsesi penambangan sirtu. Namun, itu semua dilakukan demi kepentingan kemanusiaan di Kabupaten Sidoarjo. Untuk di Pasuruan sendiri, konsesi-konsesi penambangan yang ada telah diteliti dengan bijak oleh ahli-ahli yang ada. Semisalnya, untuk kelayakan tambangnya atau uji AMDAL-nya. Sehingga masalah-masalah lingkungan ataupun kemanusiaan di area konsesi penambangan dapat diminimalisir.”

Fakta di lapangan berkata lain. Kasus penambangan sirtu di Pandean dan Gempol menjadi bukti tersendiri tentang rendahnya pengawasan pemerintah terhadap perilaku korporasi penambangan sirtu. Pertanyaan kemudian berlanjut, apakah fenomena ini sengaja dibiarkan oleh permerintah atau ada makna lain di balik semua ini? Seperti yang pernah terjadi di Desa Pandean, dimana TNI AU menjaga lokasi penggalian sirtu atas instruksi dari Mabes Kodam V Brawijaya.

Namun, seorang sumber lain mengatakan, “Hal itu lumrah terjadi demi urusan bisnis. Biasanya korporasi-korporasi tertentu akan bertingkah demikian demi tercapainya keamanan usahanya!” Apa boleh buat, dorongan bisnis agaknya lebih kuat ketimbang penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan. (prima)

Tulisan ini merupakan bagian dari Laporan Khusus ‘Kanal’ dengan topik ‘Tanggul di Sini, Jurang di Sana’

(c) Kanal News Room

 


Translate »