Rantai Kemacetan, Rantai Kerugian


“Ini sih sudah biasa, Mas. Semenjak lumpur meluap Porong ya begini ini!” ungkap Indra seorang penjaja makanan yang biasa berjualan di pasar dekat tanggul.

Semenjak lumpur meluap, jalan tol yang menjadi penghubung utama, selain Jalan Raya Porong, antara Surabaya dengan daerah-daerah di sebelah selatan tidak dapat digunakan. Terutama setelah ledakan pipa gas milik Pertamina pada Rabu 22 November 2006. Ruas jalan tol di KM 37 tergenang lumpur.

Sementara itu beberapa pengemudi kendaraan bermotor tampak kesal. Dalam keseharian mereka yang membutuhkan akses mobilitas dari dan menuju Surabaya, Jalan Raya Porong merupakan urat nadi penghidupan mereka.

Pada awal-awal malapetaka lumpur, Jalan Raya Porong sempat diperlebar 7.5 meter, sepanjang 300 meter. Pelebaran ini dilakukan guna memengurangi terjadinya kemacetan lalu lintas di sepanjang jalur Porong akibat tertutupnya jalur tol Gempol-Porong, maupun dari arah sebaliknya. Pelebaran jalan ini dimulai dari depan Masjid Azhar, Jatirejo Utara, hingga tikungan masuk menuju tol Porong. Pelebaran dilakukan di daerah lajur kiri atas Gempol-Porong dan lajur kanan arah Porong-Gempol.

Daniel Stephanus, pengamat ekonomi dari Universitas Ma Chung, Malang, menginformasikan tentang pentingnya akses antara Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya. Menurut ekonom yang rajin mengamati dampak ekonomi lumpur Lapindo ini, jalur distribusi akan terhambat sehingga memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. “ini adalah tragedi multidimensi!” ungkapnya.

Menurut pantauan tim Kanal, kerugian para eksportir, baik yang melewati Jalan Raya Porong dan terjebak kemacetan, serta melalui jalan alternatif Mojosari, Kabupaten Mojokerto, yang jaraknya lebih jauh, tak terelakkan. Jika tetap melewati Jalan Raya Porong, kontainer 20 feet harus mengeluarkan tambahan biaya Rp 150 ribu perhari, sedangkan kontainer 40 feet mengeluarkan tambahan biaya Rp 250 ribu perhari.

Namun, jika lewat jalur alternatif, kontainer 20 feet harus mengeluarkan tambahan biaya Rp 250 ribu per hari, sedangkan kontainer 40 feet mengeluarkan tambahan biaya Rp 350 ribu perhari. Belum lagi pengiriman harus dipercepat sehari dari jadwal, sehingga ada tambahan biaya lembur di gudang eksportir dan di pelabuhan.

Kalau diperkirakan rata-rata dalam sehari terdapat 1.000 kontainer yang melintas, maka terjadi kerugian mencapai Rp 150 juta–250 juta per hari jika lewat Raya Porong. Kerugian akan semakin tinggi jika lewat jalan alternatif Mojosari, antara Rp 250 juta– Rp 350 juta per hari.

Belum lagi biaya tambahan lift on/lift off di depo pelabuhan dengan biaya rata-rata Rp 230 ribu per kontainer; tambahan biaya trucking dari depo ke terminal kontainer Rp 300 ribu per kontainer; warkat dana masuk/keluar pelabuhan Rp 200 ribu/kontainer; tambahan biaya sewa gudang di depo Rp 60 ribu perhari dan denda keterlambatan (closing time) Rp 750 ribu-Rp 1,5 juta per kontainer. Dan fenomena seperti ini telah terjadi nyaris empat tahun.

Sementara itu, proyek relokasi jalan yang telah dicanangkan hingga saat ini belum menampakkan perkembangan yang cukup berarti. Di antara pagak-pagak fly over yang sudah tertancap di sepanjang Gempol hingga Tanggulangin, masih tersisa permasalahan ironis mengenai pembebasan lahan milik warga. Sayang, tim Kanal belum dapat menemui Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk mengorek keterangan tentang bertele-telenya proses pembebasan lahan.

Pada dasarnya, jalan tol Porong-Gempol yang tidak bisa dipergunakan lagi hanya sekitar 5 kilometer, antara KM 37 – 42. Namun, dalam rencana PT Jasa Marga, dipastikan ruas Gempol-Porong akan lebih panjang, karena pembangunan jalan tol baru ini mulai disambung pada KM 34,8 hingga masuk lagi ke KM 42. Itu pun harus mengambil jalan melingkar, sehingga jaraknya diperkirakan mencapai 11 kilometer. Jalan tol yang akan dibangun akan melewati Kecamatan Porong (Desa Wunut, Juwet Kenongo, Kesambi, Gondang, Pamotan, Porong dan Kebon Agung), dan Kecamatan Tanggulangin (Desa Ketapang dan Kali Sampurno).

Jalan merupakan infrastruktur terpenting bagi perkembangan perekonomian suatu wilayah. Terutama untuk Jawa Timur, pasca  putusnya jalan tol pada KM 37 dan rentannya Jalan Raya Porong, perekonomian mengalami hambatan yang cukup signifikan. Bila keadaan seperti ini tetap dibiarkan, tak pelak, keterpurukan ekonomi akan kian parah. (prim)

(c) Kanal News Room


Translate »