Metana di Atas, Gerowong di Bawah


LEBIH dari 60 anak harus berbagi bangku dalam satu ruang kelas di Sekolah Dasar Negeri Ketapang, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Anak-anak itu ada yang duduk di kelas II, IV, dan V. Mereka berimpitan bukan karena jumlah ruang kelas yang terbatas, melainkan akibat munculnya lumpur cair dan gas metana di beberapa titik kompleks sekolah, sejak tiga pekan lalu. Memang harus ada murid yang diungsikan karena gas metana, selain beracun, mudah terbakar.

Tentu tidak hanya di sekolah itu. Di sejumlah tempat dalam radius sekitar satu kilometer dari pusat semburan lumpur, gelembung gas ini sudah mulai keluar tiga tahun silam. Sejak semburan pertama muncul di area sumur eksplorasi minyak dan gas Banjar Panji 1, milik Lapindo Brantas Inc., Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006, sekarang sudah muncul lebih dari 170 titik yang mengeluarkan gas. Jumlahnya akan terus bertambah.

Yang juga memprihatinkan, semburan gas metana itu keluar di setidaknya empat titik di Jalan Raya Porong, jalur antarkota yang sangat ramai dilalui kendaraan-rata-rata dilewati 167 ribu kendaraan per hari. Permukaan jalan raya yang pejal dan tebal pun akhirnya menyerah dan ditembus gas. “Daya dorong bubble (gelembung) sebenarnya sangat kuat. Kalau kita ingat, dulu bubble juga pernah menjebol tembok bendungan. Tapi mungkin jalan raya memang sangat tebal,” kata Deputi Bidang Operasional Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Sofyan Hadi Djojopranoto.

Gas muncul karena semburan lumpur Lapindo mengakibatkan bagian bawah tanah gerowong. Dari gerowongan itu, air asin dan panas menggerus tanah dan membuat gas metana, yang berasal dari lapisan lebih atas, naik dan menyembur ke permukaan tanah.

Gerowongan bawah tanah ini juga menciptakan ancaman tambahan: tanah ambles. Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyatakan ruas Jalan Raya Porong sepanjang dua kilometer sudah ambles sampai 1,4 meter sejak Desember silam.

Luas daerah yang ambles dan terkena efek semburan gas metana, kata ahli geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien Widodo, diperkirakan bakal mencapai radius tiga kilometer dari pusat semburan. “Fenomena ini akan terus menggejala,” ujarnya.

Ekspansi lumpur yang makin tak terkendali ini adalah gara-gara jebolnya tanggul cincin yang menjadi tanggung jawab Lapindo pada 22 Maret 2009. Tanggul cincin itu ambrol akibat tanah di bawahnya terus tergerus dan gerowong, sehingga permukaan tanah pun turun. Padahal, selama tiga tahun, tanggul itulah yang menggiring lumpur sehingga mengalir hanya ke saluran pembuangan di selatan semburan. Setelah tanggul itu jebol, lumpur pun makin encer dan terus menggedor-gedor tanggul terluar.

Tampaknya, ancaman ambles di Jalan Raya Porong tetap tinggi. Meski ada yang menyarankan jalan tersebut ditutup, Gubernur Jawa Timur Soekarwo memutuskan tetap membuka jalan raya dan rel kereta api di Porong. “Secara akademik bisa dipastikan Porong aman,” katanya setelah bertemu dengan Kepala Tim Kajian Kelayakan Permukiman Profesor Nyoman Sutantra dan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, Sabtu dua pekan lalu.

Agar lebih “aman”, Badan Penanggulangan Lumpur membangun menara pipa pembuang gas metana seperti tampak di samping rel di Porong. Di ujung pipa itu tampak api menyala-nyala. “Ada gas yang disalurkan melalui relief (pipa saluran), tapi di jalan raya kan tidak mungkin dibuat relief,” kata Sofyan Hadi.

“Jaminan” Gubernur Soekarwo tidak menghilangkan kecemasan banyak pihak. Sebab, bila tanah terus ambles, tanggul bisa jebol dan lumpur panas akan menerjang Jalan Raya Porong. Amien Widodo mengusulkan memasang detektor gas metana dan pengukur penurunan permukaan tanah di kawasan itu. Petugas akan menyalakan sirene jika terjadi kondisi bahaya. “Jalan Raya Porong harus segera direlokasi jika jalan arteri selesai dibangun,” kata Amien. Padahal, jika pembangunannya lancar, jalan arteri Porong-Gempol sepanjang 11 kilometer yang disebut sebagai pengganti itu baru akan kelar dibangun pada Maret 2011.

Sampai saat ini, penduduk di sekitar lumpur Lapindo berusaha menyesuaikan diri dengan hadirnya gas-gas berbahaya di sekitar mereka. Seperti yang terjadi di SD Negeri Ketapang. Mereka mengosongkan lima ruang kelas yang sudah diserang semburan gas metana. Selain beracun, gas itu merusak bangunan sekolah. Lantai ruang kelas ambles dan sebagian lagi terangkat. Dindingnya retak-retak.

Para murid pun tampak terbiasa hidup di dekat gas berbahaya itu. Gozhi Dwi Putra, siswa kelas VI, misalnya, pada Selasa siang pekan lalu asyik bermain sepak bola di halaman sekolah bersama teman-temannya. Ia tampak tidak cemas terhadap gas metana di halaman belakang sekolah dan sejumlah ruang kelas. “Sudah biasa,” katanya. (Nur Khoiri, Eko Widianto, Rohman Taufiq, Anwar Siswad)

(c) majalah.tempointeraktif.com


Translate »