Teatrikal Jelang 4 Tahun Lumpur Lapindo


JAKARTA, – Berbagai pihak terus mengkritik luapan lumpur Lapindo sejak semburan pertama di desa Renokenongo, Porong Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006 hingga saat ini. Kritikan kepada pemerintah serta PT Minarak Lapindo Jaya itu dilakukan dengan berbagai cara.

Kini, menjelang empat tahun lumpur menyembur, sekelompok anak muda kembali mengkritik dan menyatakan prihatin atas tenggelamnya 12 desa sehingga 14.000 keluarga kehilangan tempat tinggal akibat lumpur panas Lapindo.

Kumpulan anak muda tanpa embel-embel identitas kelompok itu menggelar aksi di Taman Ayodya, Barito, Jakarta Selatan. Mereka menaruh berbagai makanan di atas meja dan mempersilahkan siapa saja untuk memakannya. Nasi ditaruh di atas ember hitam, mie goreng, toge, bakwan, serta sayur disuguhkan di wadah seadanya. Di depan meja dipasang spanduk kecil bertuliskan “gratis untuk semua”.

Mita, salah satu peserta aksi, mengatakan, makanan itu sebagai bentuk kritikan bahwa warga Porong butuh makan. “Makan adalah hak manusia tapi Lapindo telah menghilangkan hak makan mereka. Mereka butuh makan, bukan lumpur,” lontar dia, Sabtu (15/5/2010).

Mereka juga memasang spanduk besar di salah satu pohon. Spanduk itu mengkritik salah satu perusahaan yang tergabung dalam Bakrie Group. Spanduk itu bertuliskan “Ngoceh 100 jam non stop. Sampe lupa kalau ada saudara kita yang tenggelam”.

Di puncak aksi, mereka melakukan aksi treatikal yang diperankan oleh empat orang diiringi dentuman drum. Dua orang berpakaian rapih dengan dasi di leher terus menelpon sedangkan dua lagi dengan mengenakan celana sekolah menderita terkena lumpur. “Hilang.. Tenggelam…,” teriak salah satu peserta menutup aksi.

“Pemerintah dan Lapindo hanya bisa ngoceh tanpa ada realisasi. Selalu bilang sudah ditangani, sudah selesai, baik-baik aja. Tapi nyatanya sampe sekarang lumpur masih menyembur,” lontar Mita.

(c) KOMPAS.com


Translate »