Stikosa-AWS Gelar Solidaritas Untuk Korban Lapindo


Pria itu dilemparkan dan tenggelam ke dalam kolam, sambil berusaha berenang dia berteriak “Dimanakah keadilan itu ……”, berulang kali dia berusaha keluar dari kolam itu, tapi dia tidak mampu, dia terus berkubang didalamnya. Itulah sebuah fragmen teatrikal berjudul “Tumbal Kekuasaan” yang dibawakan oleh Teater Lingkar dalam kegiatan solidaritas untuk korban lapindo yanng dinamai “Suara Kita Untuk Korban Lumpur lapindo” yang digagas oleh HIMMARFI (Himpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi) dan Teater Lingkar, keduanya adalah Unit aktivitas mahasiswa Stikosa-AWS Surabaya. Kisah yang dibawakan ini seperti menggambarkan bagaimana korban lumpur Lapindo menderita ketika hidup mereka tenggelam dalam genangan lumpur lapindo, dan teriakan dimanakah keadilan yang membelah malam itu serupa dengan pertanyaan usang yang selalu di teriakkan korban lapindo selama 4 tahun kasus semburan lumpur lapindo ini berjalan.

Ketua Panitia kegiatan ini Wefrido Yoga (23 tahun), menyatakan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari usaha mahasiswa Stikosa-AWS turut bersolidaritas terhadap kondisi korban lumpur Lapindo yang belum juga selesai. “Kepedulian ini adalah nilai sosial yang kuat, meskipun kami di Surabaya, kami dan korban Lapindo sama-sama masyarakat Indonesia yang dirugikan akibat lumpur Lapindo ini” tutur Wefrido. Selain itu, kenyataan bahwa kasus semburan lumpur lapindo turut menguras APBN juga menjadi keprihatinan Wefrido juga ” Dalam pendapat saya, ini bentuk ketidakmauan (Aburizal) Bakrie untuk bertanggung jawab, akhirnya uang rakyat juga terpakai, dan dampaknya meluas baik kepada manusia juga lingkungan lebih besar” terang mahasiswa jurusan jurnalis Stikosa-AWS ini.

Sebelumnya, kegiatan ini diawali dengan diskusi dan bedah buku 29 Cerita Menentang Bungkam. Buku yang ditulis sendiri oleh anak-anak muda korban Lapindo ini mendapat tanggapan hangat dari beberapa mahasiswa Stikosa-AWS. Tiga orang penulis buku ini menceritakan tentang pengalaman mereka dan korban-korban Lapindo yang menjadi narasumber penulisan buku tersebut. Setelah diskusi dan bedah buku selesai, anak-anak korban Lapindo asal desa Besuki yang tergabung di sanggar Alfaz menampilkan kreasi kolaborasi musik, tari dan Puisi. Seperti gugatan yang tak putus-putusnya diteriakkan, anak-anakini menceritakan bagaimana hancurnya kehidupan mereka setelah semburan lumpur Lapindo merenggut desa dan sekolah mereka. Bergantian mereka bernyanyi, menari dan membacakan puisi tentang nasib mereka. 

Samsul Huda (18 Tahun) salah satu pendamping Anak sanggar AlFaz mengatakan sangat senang dengan kegiatan ini ” Ini kegiatan yang baik, karena anak-anak bisa lebih mengenal dunia luar dan mencari pengalaman baru.” Samsul berharap pada acara ini mahasiswa stikosa bisa membantu korban lapindo untuk ikut mendesak pemerintah dan lapindo. “Saya harap dalam acara ini teman-teman mahasiswa bisa ikut memperjuangkan penderitaan korban yang selama 4 tahun masih terbengkalai”.katanya.

Kegiatan yang bertema “Mencari Wajah Kemanusiaan” ini berlangsung selama tiga hari, mulai tanggal 14-15 juni 2010 di kampus Stikosa-AWS, dan tanggal 18 Juni 210 yang direncanakan berlangsung di Taman Bungkul Surabaya. Dari acara ini, diharapkan masyarakat luas dapat mengetahui bahwa sampai 4 tahun berjalan, permasalahan semburan lumpur Lapindo masih menyisakan masalah yang belum juga usai. “Saya berharap setelah empat tahun ini, segera bisa diselesaikan permasalahan semburan lumpur Lapindo dengan lebih cepat” tutup Wefrido.


Translate »