Kesibukan Korban di Tengah Udara Beracun


Di salah satu gubuk, tepatnya di Desa Ketapang, Tanggulangin, keadaan tidak jauh berbeda dengan gubuk lain. Mereka bersiap dengan DVD dokumentasi lumpur Lapindo di tas pinggang untuk dijajakan ke para pengunjung. Tiap hari mereka berjualan DVD, selain itu mereka juga menawarkan jasa ojek keliling tanggul. Mereka dikenal sebagai tukang ojek tanggul.

Dari atas tanggul penahan lumpur yang tingginya belasan meter itu, mereka silih berganti melihat ke bawah mengamati apa ada mobil yang parkir. Yang tampak hanya deretan panjang kendaraan yang terjebak macet. “Suwene kok gak onok montor seng melebu rek. (Kok lama sekali tak ada mobil yang masuk),” pekik satu orang dari mereka dengan lantang.

Yang mereka tunggu-tunggu datang juga. Sebuah mobil SUV berplat AB (Yogyakarta) yang terlihat sesak penumpang masuk dan parkir. Para tukang ojek bergegas menunggu tepat di atas tangga naik. Tidak semua tukang ojek, tapi hanya beberapa. Mereka melakukan sistem bergiliran.

Dari kejauhan, Amir Prianto (25), dengan sepeda motor bebeknya melaju kencang, mendekat. Di depan motor itu bertuliskan “foto dua menit langsung jadi”. Ia memakai kaos oblong, celana pendek dan sandal jepit usang. Tak memakai helm, hanya berkacamata hitam. “Teko endi ae koen jam yaene kaet teko? (Dari mana saja kamu jam segini baru datang?),” tanya seorang teman ke Amir. Tanpa menjawab Amir hanya tersenyum sambil menyiapkan perlengkapan fotonya.

Bapak dari dua anak yang masih balita itu tak bisa mengojek karena fisiknya tak memungkinkan pasca kecelakaan lalulintas setahun lalu. Amir hanya berjualan DVD dan menawarkan jasa foto langsung jadi. Hanya Amir tukang foto di atas tanggul lumpur. Amir tak mau menyerah dengan keadaan. Korban Lapindo dari Desa Jatirejo itu tetap semangat mencari nafkah untuk istri dan dua anaknya.

Tak seperti hari-hari biasanya, pengunjung mulai banyak berdatangan. “Mir, onok seng ate foto (Mir, ada yang ingin berfoto),” sahut rekan Amir dari kejauhan. Segera Amir menyiapkan kamera dan printer-nya. Ternyata benar apa yang ditulis Amir di depan motornya: hanya dua menit dan satu foto selesai dicetak. Amir mematok Rp 20.000 untuk satu lembar foto. Tapi jumlah uang itu bukan sepenuhnya masuk kantong Amir. Ia harus menyetor separuh hasil foto ke pemilik kamera dan printer. Hanya Rp 10.000 dan itu pun masih Amir bagi lagi kepada setiap tukang ojek yang menjadi perantara antara Amir dan pengunjung. Rp 5.000 saja untuk Amir.

Tak terasa matahari sudah di atas kepala. Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan tanggul. Para tukang ojek pun berebut cepat menuju gubuk untuk berteduh. Romantisme sangat terasa ketika beberapa orang dari mereka mengeluarkan nasi bungkus yang mereka bawa dari rumah. Enam nasi bungkus dimakan sebelas orang. Saat makan, banyak obrolan terjadi di gubuk yang hampir roboh itu, mulai pertandingan piala dunia sampai cicilan aset mereka yang tidak dibayar Lapindo hingga empat bulan ini. Di tempat yang sempit itu, mereka berbagi tempat untuk berteduh beristirahat menunggu sore. Ada yang tertidur, ada juga yang menikmati sebatang rokok di tangan.

Debu berterbangan terbawa angin yang mulai berhembus. Tak terasa hari sudah mulai sore. Para tukang ojek termasuk Amir dikejutkan dengan dua bus pariwisata yang masuk dan parkir. Semua berdiri semua bersiap. Selain menyiapkan kamera, Amir juga mengeluarkan beberapa DVD dari tas pinggangnya untuk diperlihatkan ke para pengunjung. Mereka mendekati pengunjung dan mencoba menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.

Amir sangat cekatan, satu DVD-nya laku terjual. Setiap DVD yang terjual, Amir mendapat keuntungan Rp 5.000. Segera, Amir berpindah dari pengunjung satu ke pengunjung lain. “Kaset lumpur, kaset lumpur, foto dua menit jadi, foto dua menit jadi.” Itulah kalimat-kalimat yang digunakan Amir untuk menarik perhatian pengunjung. Amir terus menawarkannya tanpa henti.

Dari dua bus pariwisata tadi, Amir berhasil menjual lima DVD dan juga mencetak dua foto lagi. Ia mengantongi Rp 50.000 setelah dikurangi makan-minum dan rokok. “Sekarang pengunjung cukup ramai karena anak sekolah masih libur,” kata Amir. Mendapat Rp 50.000 adalah hal yang tak biasa bagi Amir dan yang lain. “Tak dapat sepeser pun kami sering,” tambahnya tersenyum.

Menanggapi rencana presiden yang akan menjadikan area lumpur sebagai tujuan wisata, Amir dan yang lain tegas menolaknya. Mereka beranggapan, akan terjadi banyak peraturan yang akan diterapkan di sana dan juga banyak uang dari hasil parkir dan sebagainya bakal masuk ke kas daerah atau negara. Mirip tempat wisata memang. Amir dan yang lain hanya memanfaatkan apa yang mereka anggap akan memberi mereka pundi-pundi rupiah. Tapi apa yang diperoleh Amir di sana tak imbang dengan udara beracun yang dihirup tiap hari.

Para tukang ojek dan Amir adalah contoh rusaknya perekonomian pasca semburan lumpur Lapindo. Mereka tetap bekerja di area berbahaya itu dengan semangat. “Kalau pemerintah menyediakan pekerjaan pengganti, pasti saya meninggalkan pekerjaan ini,” jawab Amir yang telah tiga tahun berjualan DVD. Ia juga tak tahu sampai kapan akan bergelut dengan debu dan udara beracun itu, karena hanya itulah yang bisa ia kerjakan.

Matahari mulai terlihat memerah di sebelah barat. Mobil-mobil tak lagi menepi untuk parkir. Itu pertanda buat Amir dan yang lain mengakhiri aktifitas hari ini. Sambil berkemas, Amir menikmati batang rokok terakhirnya. Ia telah siap pulang, yang lain juga dan berharap hari linur berikutnya segera tiba. Karena di hari liburlah mereka dapat uang yang pantas untuk dibawa ke anak istri mereka. Mesin sepeda motor telah dihidupkan Amir. “Aku balik disek rek (Aku balik duluan teman),” salam Amir ke rekan-rekan senasibnya.

Semoga apa yang Amir bawa pulang akan memberi sedikit kebahagiaan bagi istri dan dua anaknya. Besok, kemacetan dan udara beracun masih menunggu Amir dan tukang ojek tanggul lain. Demi sesuap nasi mereka mengorbankan tubuhnya.(fahmi)

(c) Kanal News Room


Translate »