Berbuka Puasa Ala Korban Lumpur Lapindo


SIDOARJO – Memasak di rumah untuk buka puasa bagi keluarga adalah hal yang biasa. Tapi memasak di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, untuk buka puasa bagi puluhan korban Lapindo yang sedang berdemo adalah hal yang tidak biasa. Tapi itulah yang dilakukan Siti Ma’inah, korban lumpur dari Desa Kedungbendo. “Tak ada makanan pembuka atau penutup, menunya cuma mie instan sama telor,” katanya sambil menghitung berapa mie yang harus ia masak.

Wanita 59 tahun ini dan korban Lapindo lainnya telah seminggu melakukan aksi di depan gedung DPRD Sidoarjo. Ketidakjelasan ganti rugi aset memaksa korban lumpur dan Ma’inah melakukannya. Di hari kedua bulan puasa ini, Ma’inah dan yang lain masih betahan di gedung dewan terhormat Kabupaten Sidoarjo. Aksi ini pun menyita perhatian para pengguna jalan yang kebetulan lewat.

Di saat yang lain tertidur dan beristirahat, Ma’inah terus memasak dan sesekali mengusap keringat yang membasahi wajahnya. “Kalo tadi siang banyak orang, sekarang jadi sedikit karena banyak yang ingin berbuka puasa di rumahnya masing-masing.” Jawab Ma’inah ketika ditanya masak untuk berapa orang. Nenek enam cucu ini berharap apa yang ia lakukan ini bermanfaat bagi para korban yang sedang melakukan aksi menuntut hak-hak mereka.

Ia, Ma’inah, tidak mungkin bisa tidur di tempat aksi lantaran fisiknya yang tak muda lagi. Selain itu, anaknya juga melarangnya. “Masih banyak yang muda-muda”, katanya dengan tersenyum. Ma’inah mengaku telah mengikuti aksi ini sejak hari pertama (6/8/2010).

Matahari telah terlihat memerah di sebelah barat. Lampu-lampu penerangan jalan mulai mengeluarkan cahayanya yang berwarna-warni. Spanduk-spanduk bernada protes yang mereka pasang di pagar gedung dewan sudah tak bisa terbaca dari kejauhan. Hari sudah gelap. Menu buka puasa untuk 20-an peserta aksi telah matang dan siap dihidangkan. Tapi bedug maghrib yang mereka tunggu belum juga terdengar.

Sambil menunggu maghrib, Ma’inah duduk beristirahat dengan melonjorkan kaki rapuhnya. Tubuh kurusnya terlihat lelah, karena wanita setua itu tak seharusnya melakukan pekerjaan yang tak sesuai dengan usianya. Tapi Ma’inah bangga bisa berbuat sesuatu untuk saudara seperjuangannya. Satu persatu peserta aksi yang tertidur mulai terbangun karena suara kendaraan yang semakin ramai.

“Dug… dug… dug…, “ terdengar suara bedug jelas. Mereka bersiap berbuka. Mereka, para korban Lapindo masing-masing telah menerima jatah berbuka yang dimasak Ma’inah sebelumnya. “Satu orang, satu piring mie dengan telor dadar. Kalo ada yang ingin nambah, biar dia masak sendiri.” Katanya sambil bercanda. Para korban Lapindo memulai berbuka puasa dengan meminum air mineral kemasan terlebih dulu. Tak seperti orang yang sedang menjalankan ibadah puasa kebanyakan, Wajah mereka tak semua ceria mendengar bedug yang disambung adzan maghrib tadi.

Tak seperti yang lain, yang langsung menyantap hidangan, Ma’inah hanya meneguk segelas air mineral kemasan dan langsung bergegas menuju masjid. Tak jauh, ia hanya butuh beberapa langkah ke Masjid Agung Sidoarjo yang terletak tepat di sisi kanan gedung DPRD Sidoarjo. “Saya mau shalat maghrib dulu,” katanya lirih.

Tak lama, Ma’inah kembali. Ia melonjorkan lagi kakinya. Ia juga menyandarkan tubuhnya tepat di pintu gerbang gedung dewan. Ketika menyantap hidangannya yang mulai dingin, obrolan kecil terjadi antara Ma’inah dengan peserta aksi yang lain. Mulai dari kenangan menjalankan ibadah puasa di kampung halaman dulu hingga khayalan kapan aset mereka akan terbayarkan. Dalam hati kecilnya, Ma’inah mengaku ingin memasakkan makanan untuk makan sahur bagi para korban Lapindo yang masih berjuang. “Anak saya yang terakhir melarang saya, ia khawatir dengan kondisi kesehatan saya,” Ujarnya.

Sudah tak terhitung lagi berapa kali korban Lapindo melakukan aksi. Aksi kali ini adalah satu dari ratusan aksi korban sejak sumur banjar banji satu menyemburkan material panas pada 29 Mei 2006 lalu. Kesalahan pengeboran sumur banjar panji satu, di Desa Renokenongo milik PT. Lapindo Brantas telah menenggelamkan kawasan di tiga kecamatan, yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon. Mengakibatkan 19 desa tenggelam dan tak layak huni. Sumur yang terus menyemburkan lumpur panas hingga lebih dari 100.000 meter kubik per hari ini, juga mengusir 14.000 KK di kawasan tersebut termasuk Ma’inah dan keluarga.

Tak seharusnya Ma’inah, dan korban lumpur Lapindo lainnya melakukan aksi-aksi seperti saat ini jika pemerintah berani bersikap tegas terhadap Lapindo dan pemiliknya. Mereka, korban Lapindo, juga pernah melakukan aksi demo dari Sidoarjo hingga ke Jakarta. Dan bertemu petinggi berbagai instansi terkait, dan bahkan tidak sekali bertemu dengan pimpinan tertinggi republik ini di istana negara. Seakan terjadi pembiaran yang dilakukan negara dalam kasus ini, dan terkesan korban harus berhadapan sendiri dengan kekuatan besar itu, Lapindo dan pemiliknya.

Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo berganti menjadi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dari keputusan presiden (kepres) hingga peraturan presiden (perpres) yang berkali-kali direvisi. Tapi nasib ribuan korban Lapindo masih tidak jelas, dan masih terlunta-lunta menuntut hak selama empat tahun lebih.

“Dulu punya rumah, ya saya nuntut agar punya rumah lagi. Dulu bahagia, ya saya kepingin bahagia lagi.” Katanya selesai berbuka.

Sesederhana itulah keinginan Ma’inah, tapi pemerintah yang ia harap bisa membantunya tidak menunjukkan kepedulian terhadapnya. Ma’inah berharap bisa hidup tenang di hari tuanya dan tidak lagi dipusingkan oleh persoalan Lapindo. Mungkinkah Ma’inah dan ribuan korban Lapindo lainnya akan terpenuhi hak-haknya sebagai korban dan tidak akan melakukan aksi demo lagi? (fahmi)

(c) Kanal News Room


Translate »