Ironi TK Berprestasi di Kolam Lumpur


Aloysius B Kurniawan – Tahun lalu, Siti Fatima, Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Pejarakan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, terpilih sebagai kepala sekolah paling berprestasi se-Jawa Timur. Siti dan TK Dharma Wanita yang diasuhnya sebenarnya berpeluang dipromosikan sebagai TK berprestasi tingkat nasional.

Namun, upayanya gagal karena satu syarat, kondisi gedung sekolah tempat ia bekerja semakin tak layak karena semburan lumpur Lapindo. Empat tahun sudah semburan lumpur Lapindo mengancam TK Dharma Wanita Pejarakan serta SDN Pejarakan yang berada dalam satu kompleks. Jumat (24/9), tiga semburan lumpur bercampur gas dan air muncul di belakang gedung. Karena kuatnya semburan, air bercampur lumpur sempat menggenangi bangunan sekolah hingga setinggi 15 sentimeter.

Tak hanya itu, Rabu (29/9) dini hari semburan lumpur bercampur gas juga muncul di kamar mandi dan toilet SDN Pejarakan yang hanya beberapa jengkal jaraknya dari gedung TK. Karena bau gas yang menyengat dan mudah terbakar, Kepala SDN Pejarakan Mudzakir Fakir terpaksa memindahkan siswa kelas VI ke mushala. Jika kondisi semakin darurat, seluruh siswa akan dipindahkan ke kantor kelurahan setempat.

Jumlah siswa menyusut

Meski dikelilingi semburan lumpur dan gas, Siti dan para guru lainnya tetap setia mendampingi murid-muridnya. Mereka tetap berangkat sekolah seperti hari-hari sebelumnya.

Menurut Siti, setelah lumpur menyembur tahun 2006 lalu, jumlah siswa yang ia asuh langsung menyusut. “Dulu jumlah murid asuh kami 70 anak dan kini tinggal 29 anak. Anak-anak pindah sekolah karena orangtua mereka semakin khawatir dengan kondisi lingkungan di sini,” ucapnya.

Kondisi serupa juga dialami TK Dharma Wanita Besuki. Kepala Sekolah TK Dharma Wanita Besuki Yuliati mengatakan, jumlah siswa menyusut dari 100 anak menjadi 36 anak. “Karena sedikitnya siswa, kami juga kesulitan menggaji dua guru honorer kami. Kas sekolah sampai minus. Guru honorer terpaksa digaji Rp 215.000 hingga Rp 300.000 per bulan,” ujarnya.

Sementara itu, penyusutan jumlah siswa juga dialami SDN Pejarakan. Empat tahun lalu jumlah total murid mencapai 164 siswa dan kini tinggal 114 siswa. Pihak sekolah bahkan sampai menyiapkan blanko pindah sekolah dalam jumlah banyak untuk mengantisipasi para siswa yang pindah sekolah secara mendadak.

Camat Kecamatan Jabon Moch Solichin mengatakan, banyak tanah dan bangunan milik warga di Pejarakan yang telah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Namun, belum ada perhatian bagi fasilitas umum khususnya sekolahan di sekitar kolam lumpur Lapindo. Hingga saat ini, masih ada dua SD dan dua TK di Desa Pejarakan dan Besuki yang belum direlokasi.

“Setiap hari para murid dan guru harus menghirup gas metan dan menghadapi ancaman semburan lumpur yang sewaktu-waktu muncul. Kami berharap ada upaya dari BPLS untuk mengecek kesehatan mereka secara berkala atau mengevakuasi mereka ke tempat yang lebih aman,” kata Solichin.

Dalam Perpres No 48/2008 mengenai Perubahan atas Perpres No 14/2007 tentang BPLS Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring telah dinyatakan tidak layak huni atau area peta terdampak. Namun, hingga saat ini belum ada upaya baik dari BPLS maupun pemerintah pusat untuk merelokasi sekolah yang ada di kawasan itu. Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, BPLS dan Pemkab Sidoarjo akan berkoordinasi untuk memutuskan relokasi sekolah-sekolah di area peta terdampak.

Empat tahun semburan lumpur terus muncul dan makin mengancam para siswa dan guru yang setiap hari beraktivitas di dekat bibir kolam penampungan lumpur. Ironinya, pemerintah tak segera ambil kebijakan untuk segera mencarikan tempat belajar baru bagi para calon penerus bangsa yang beberapa di antaranya mengenyam pendidikan di TK berprestasi se-Jatim itu.

(c) cetak.kompas.com


Translate »