Lebaran Tanpa Sangu, Tanpa Tamu


SIDOARJO — Gema takbir berkumandang, menandai masuknya Idul Fitri. Semua umat Islam merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Gebyar kembang api tampak susul menyusul di kompleks Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II, Sidoarjo. Semua seolah bergembira. Tapi tidak dengan Sunaryo, warga korban Lapindo asal Desa Jatirejo yang tinggal di perumahan ini dengan status ngontrak.

Dengan hati yang gundah, Sunaryo merasakan datangnya lebaran. Tidak seperti warga Perumtas lainnya, Cak Sun justru menutup rumahnya rapat-rapat, bahkan hingga lebaran hari kedua. Cak Sun tidak menerima tamu. Ia dan istrinya, Isnaini, merasa malu tidak mampu menyajikan kue-kue lebaran untuk tamu.

Kedua anak Cak Sun pun tidak bisa memakai baju baru seperti anak-anak lainnya. Cak Sun tak punya uang untuk membelikannya. Pria 38 tahun ini sudah lama mengganggur sejak lumpur panas Lapindo menenggelamkan Jalan Renokenongo, desa sebelah yang menjadi rute Cak Sun mengojek ketika itu.

Cak Sun harusnya menerima cicilan pembayaran aset rumah dan tanahnya sebesar Rp 15 juta per bulan dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tapi seperti sebelumnya ketika pembayaran 80 persen yang harusnya lunas pada 2008 tapi kemudian molor hingga akhirnya dibayar secara cicilan, PT MLJ kembali ingkar. Sejak Mei 2010, Cak Sun tak menerima lagi cicilan itu. PT MLJ tidak membayar cicilan hingga empat bulan.

Baru pada 3 September 2010, Cak Sun mendapat informasi bahwa PT MLJ kembali membayar angsuran. Cak Sun langsung menancap gas motornya ke Tanggulangin. Bersama istrinya, ia mendatangi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Cak Sun hendak mengecek dan mengambil uang yang, menurut informasi yang dia terima, telah ditransfer PT MLJ ke rekeningnya. Saat mengantri di teller bank, Cak Sun sudah membayangkan akan membelanjakan uang itu untuk membayar tunggakan rumah yang sudah dibelinya di Perumtas II, tak jauh dari rumah yang dikontraknya sekarang. Ia sudah telah bayar tiga bulan. Cak Sun juga ingin membelikan baju baru buat anak-anaknya.

Begitu giliran Cak Sun tiba, bayangannya pun buyar. “Kok iso ditransfer cuma limo juta, Mbak? (Kok bisa ditransfer lima juta, Mbak?),” tanya Cak Sun dengan nada jengkel ke petugas bank. Jelas, petugas bank tidak bisa menjawab apa-apa. Untuk pembayaran yang tertunda empat bulan, PT MLJ harusnya membayar Rp 60 juta. Namun, PT MLJ ternyata hanya membayar Rp 5 juta. Artinya, pembayaran cicilan sebulan sekalipun tidak genap. Cak Sun pun tak bisa berbuat apa-apa. Masih dengan hati gondok, ia menarik semua uang di rekeningnya.

Setiba di rumah, kelima adik Isnaini, istri Cak Sun, sudah menunggu. Mereka akan menerima bagian dari uang cicilan yang Rp 5 juta itu. Maklum, aset Isnaini dan saudaranya masih tercatat dalam satu dokumen, sehingga setiap bulan uang cicilan harus dibagi rata menjadi enam bagian. Cak Sun dan Isnaini menceritakan ke saudara-saudaranya bagaimana uang yang masuk ke rekening mereka cuma Rp 5 juta. “Rekening awakdewe cuma ditransfer limo juta, dan kudu dibagi enem. Dadi sak wonge cuman oleh Rp 830 ewu (Rekening kita hanya ditransfer lima juta, dan harus dibagi enam. Jadi per orang, kita masing-masing dapat Rp 830 ribu),” kisah Cak Sun pada saya.

Dengan uang sejumlah itu, Cak Sun tak bisa membelikan kue lebaran dan baju baru buat anak-anaknya, dan apalagi ia harus membayar utangnya di toko bangunan. Cak Sun sempat mengutang ke satu toko bangunan untuk merenovasi rumah yang dibelinya secara mengangsur Rp 3,5 juta per bulan yang berlokasi di Blok Q. Bulan ini pun ia tak bisa membayar cicilan rumah itu. Sebesar Rp 700 ribu harus ia bayarkan ke toko bangunan, yang juga sudah telat sebulan. Jadi, Cak Sun hanya punya sisa uang Rp 130 ribu.

“Utangku neng galangan gedene Rp 700 ewu. Sampek malem takbiran sisa duitku kari 130. Dadi anak-anakku gak tak tukokno kelambi. Soale duwet Rp 130 ewu rencanae digawe transport keliling njaluk sepuro neng dulur-dulur (Utang saya ke toko bangunan sebesar Rp 700 ribu. Sampai malam takbiran, sisa uang saya tinggal Rp 130 ribu. Jadi terpaksa anak-anak saya tidak saya belikan baju baru. Karena uang Rp 130 ribu rencananya saya gunakan transport bersilaturahmi ke saudara-saudara saya).”

Sunaryo tidak mampu memeriahkan lebaran seperti keluarga lainnya. Setelah berkeliling ke saudara-saudaranya, Cak Sun mengunci rumah. Isnaini, sang istri, merasa malu tidak bisa menyajikan kue lebaran buat tamu-tamu. Banyak saudara dan tetangga sekeliling mengira Cak Sun dan keluarga sedang keluar bepergian, dan mereka pun batal berkunjung setelah melihat rumah tertutup rapat. Mereka tak tahu kalau sang sahibul bait sedang di dalam rumah meredam gundah.

***

Tak berbeda dari Sunaryo, warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo yang kini tinggal di Perumahan Reno Joyo, Dusun Kedungkampil, Kedungsolo, Porong, pun menjalani Idul Fitri tanpa keriangan. Misti, misalnya, harus menelan kekecewaan saat mengetahui PT MLJ mentransfer hanya Rp 5 juta ke rekeningnya. Perempuan 63 tahun yang tinggal bersama cucunya ini harus mengubur dalam-dalam angan-angan merayakan lebaran. Setelah melunasi hutang-hutangnya ke tetangga-tetangga dan saudara-saudaranya, Misti hanya memegang sisa uang Rp 50 ribu, padahal waktu itu lebaran tinggal satu hari lagi.

Sebelum tinggal di Kedungkampil ini, Misti dulu ikut bertahan di pengungsian Pasar Baru Porong selama hampir tiga tahun. Misti dan warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo lainnya menolak skema pembayaran 20-80 persen. Mereka menuntut 100 persen langsung tunai. Akan tetapi, setelah menjalani berbagai perjuangan, dan tuntutan pun tak kunjung terpenuhi, warga Renokenongo yang ketika itu terorganisir dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak) menerima pola 20-80 persen.

Kemudian, beberapa bulan setelah menerima 20 persen, warga harus hengkang dari pengungsian Pasar Baru, sekitar Mei 2009. Mereka lalu menempati tanah kosong bekas lahan tebu di Dusun Kedungkampil yang telah dibeli secara kolektif. Ada pihak pengembang yang bekerjasama dengan Bank Jatim menawarkan pembangunan rumah bagi warga. Pengembang mengatakan, warga bisa membayar rumah secara mengangsur lewat Bank Jatim. Banyak yang akhirnya menerima tawaran itu, meski sebagian warga menolak dan lebih memilih membangun rumah sendiri.

Dan untuk membayar cicilan ke Bank Jatim, warga menggantungkan cicilan pembayaran aset mereka dari pihak PT MLJ yang masih tersisa 80 persen. Sialnya, PT MLJ lagi-lagi ingkar janji, bahkan tidak membayarkan cicilan sejak Mei 2010. Warga Kedungkampil pun bingung. Bank Jatim, yang telah bekerjasama dengan pihak pengembang, terus menagih uang cicilan rumah.

Hingga September tiba, dan Idul Fitri menjelang, PT MLJ hanya mentransfer Rp 5 juta ke rekening warga. Padahal, selain untuk membayar utang ke Bank Jatim, warga berharap bisa merayakan lebaran secara layak. Tapi harapan itu pupus.

“Tanggal 3 September wingi Lapindo cuma membayar Rp 5 juta. Duwit sakmono langsung entek digawe nyaur utang (Tanggal 3 September kemarin Lapindo hanya membayar cicilan sebesar Rp 5 juta. Uang segitu langsung habis dibuat membayar hutang),” cerita Misti.

Misti dan suaminya Saderi, yang tinggal berlima bersama keluarga cucunya Sunarti, kecewa berat. Rp 50 ribu yang tersisa jelas tidak bisa buat beli sajian lebaran. Bahkan, Misti pun harus menggantungkan pemberian zakat dari tetangganya untuk makan.

Misti juga tidak mungkin bisa membayar cicilan ke Bank Jatim. Untuk rumah yang ditinggali Misti dan keluarganya sekarang, setiap bulan ia harus membayar ke Bank Jatim sebesar Rp 3,8 juta. Ia sudah membayar cicilan rumah total sebesar Rp 15 juta, dan sisa yang masih harus dibayarnya sebesar Rp 60 juta. Sedangkan tak satu pun anggota keluarganya yang bekerja. Praktis untuk membayar rumahnya Misti mengandalkan cicilan dari Lapindo.

“Suami saya dulu kerja menambal ban di Jalan Raya Watukosek, Mojokerto. Tapi sekarang tidak bekerja lagi, modalnya selalu habis dibuat makan,” cerita Sunarti, cucu Misti.

Lapindo tidak saja menelantarkan ribuan keluarga seperti Misti dan Cak Sun yang tinggal di rumah mereka yang belum lunas dibayar. Puluhan warga yang bertahan menginap di depan gedung DPRD Sidoarjo pun tak digubris Lapindo. Bukan saja warga tidak bisa merayakan lebaran secara layak, mereka bahkan tidak berhari raya di rumah, melainkan di emperan gedung dewan Sidoarjo. PT MLJ tetap tidak mau membayar 80 persen aset tanah dan bangunan yang dituntut warga agar dibayar tunai. Ah, Lapindo barangkali memang lebih terbiasa Idul Fitri dengan ingkar janji. (Ahmad Novik)

(c) Kanal Newsroo


Translate »