Pontang-Panting Tercerai di Pungging


MOJOKERTO—Lumpur panas Lapindo yang menenggelamkan sejumlah wilayah di tiga kecamatan di Sidoarjo, yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon, telah mengusir penduduk dari kampung tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Akibatnya, ribuan jiwa tak jelas nasib dan kehidupan ke depannya. Mereka, korban Lapindo, tersebar di banyak kota di Jawa Timur antara lain Pasuruan dan Mojokerto.

Salah satu keluarga yang pindah jauh dari desa asalnya adalah keluarga Muhammad Kusman. Keluarga dari pria 46 tahun itu kini tinggal di Desa Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Sang kepala keluarga mengajak istrinya, Asriati (45) dan keenam anaknya tinggal di Desa Curahmojo pada 2007 lalu. Bukan pilihan keluarga asal Desa Jatirejo, Porong, itu menetapkan Mojokerto sebagai tempat tinggal baru, melainkan sebuah keterpaksaan, karena 20 persen uang ganti rugi pun belum diterima keluarga ini.

Ya, Kusman memilih menolak Perpres 14/2007 yang hanya menganggap permasalahan lumpur Lapindo sebagai jual beli aset tanah dan bangunan warga yang tenggelam. Terlebih rumah di Desa Curahmojo itu memang rumah warisan dari orang tua Kusman yang diperuntukkan bagi Kusman dan saudara-saudaranya.

Pontang-panting menata kembali hidup, Kusman dan Asriati tak kunjung mempunyai penghasilan tetap, bahkan hingga setahun berselang. Sewaktu di kampung asalnya, mereka bekerja di pabrik dan sebagai sampingannya mereka juga berternak kambing. Anak-anaknya yang masih kecil dan remaja mulai tak kerasan di sana dengan berbagai alasan. Anak pertamanya, Muhammad Prayitno (23), lebih memilih tinggal di rumah mertuanya di Prigen, Pasuruan. Anak kedua, Hari Mulyanto (19), memilih tetap tinggal di Sidoarjo tanpa kepastian.

Hari Mulyanto tinggal dari rumah teman ke teman yang lain, dari rumah saudara yang satu ke saudara yang lain tanpa kegiatan berarti. Puncaknya, Hari yang waktu itu berusia 17 tahun terlibat kasus kecelakaan lalu lintas yang membuatnya mendekam di penjara selama enam bulan. Kini Hari bekerja serabutan di Kota Denpasar, Bali.

Sementara anak ketiga, Muhammad Subkhan (17), tidak mau melanjutkan sekolah ketika waktu itu ia hendak masuk SMA. Seperti kedua kakaknya, Subkhan lebih memilih meninggalkan keluarganya di Desa Curahmojo dengan alasan yang sama: tak kerasan.

***

Subkhan memulai pengembaraannya, yang waktu itu usianya baru menginjak 16 tahun. Subkhan bekerja serabutan, penghasilannya tidak cukup untuk makan dia seorang. Tak tega dengan keadaan Subkhan, pamannya yang juga korban Lapindo yang mengontrak rumah di Perumtas 2 Tanggulangin, Sidoarjo, pun mencarikan pekerjaan untuk Subkhan. Kondisi keluarga ini sungguh tercerai-berai.

Akhirnya Subkhan menerima tawaran pamannya untuk berkerja sebagai penjual serabi di Gading Fajar, Sidoarjo. Usianya yang masih sangat muda kala itu memang labil. Subkhan mudah bosan karena merasa dikucilkan oleh teman kerjanya yang kebanyakan berusia 20 tahun ke atas. Hanya enam bulan ia bertahan sebagai penjual serabi.

Sebulan Subkhan menganggur, ia kembali ditawari kenalannya untuk bekerja. Kali ini sebagai penjual es oyen di pusat kota Sidoarjo. Pengasilan dari berjualan es oyen bisa menghidupi ia seorang diri walau hanya cukup untuk makan. Penghasilan yang demikian pun tak membuat Subkhan bertahan lama. Ia mengatakan, suasana kerja yang membosankan menjadi alasannya utama kenapa ia meninggalkan pekerjaan itu. Ia bertahan hampir setahun sebagai penjual es oyen dan akhirnya kembali menganggur dan makan dari pamannya.

Muhammad Subkhan merupakan tipikal anak korban Lapindo yang memilih tak melanjutkan sekolah karena tak tega melihat perekonomian keluarganya. Pemuda yang seharusnya kelas 3 SMA itu menjadi potret buruknya penanganan pendidikan oleh pemerintah untuk anak-anak korban yang orang tuanya berjibaku mencari uang di tempat tinggal mereka kini. Muhammad Subkhan tak seharusnya menelan pil pahit ini jika pemerintah melakukan tugasnya sebagai penyelenggara negara dengan baik. Di saat anak seusianya menikmati pendidikan dan mencari jati diri, Subkhan malah bersusah payah membanting tulang hanya untuk mencari sesuap nasi.

Tinggal di rumah pamannya tanpa kegiatan yang berarti membuatnya juga tak betah. Keadaan yang memaksanya harus segera mencari pekerjaan pengganti. Tepatnya awal tahun 2009, seorang teman memberinya pinjaman DVD dokumentasi lumpur Lapindo untuk dijajakan ke tanggul penahan lumpur. Lokasi tanggul yang berada tepat di sebelah Jalan Raya Porong membuat pengguna jalan penasaran ingin melihat pusat semburan lumpur Lapindo.

Ya, di situlah Muhammad Subkhan mengais rupiah sekarang. Penghasilan pun tak jauh beda dngan pekerjaan Subkhan dulu, tapi Subkhan merasa betah di sana walau hawa panas dan udara beracun menemaninya sehari-hari. Ia merasa dihargai oleh rekan sesama korban Lapindo yang kebanyakan berusia jauh di atas Muhammad Subkhan. Suasana kekeluargaan yang akrab antar korban juga membuat Subkhan kerasan.

***

Saat saya menemui Subkhan di tanggul lumpur di Desa Ketapang, Tanggulangin, ia bersaing dengan puluhan orang yang berprofesi sama dengannya yang juga menjual DVD Lapindo. Ada yang jadi tukan ojek keliling tanggul juga. Di hari lebaran, ia lebih memilih untuk tetap berjualan DVD daripada menemui orang tua dan adik-adiknya di Desa Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Subkhan mengatakan, hanya di hari inilah banyak pengguna Jalan Raya Porong yang berhenti dan naik ke tanggul untuk melihat lumpur Lapindo dan akhirnya membeli DVD.

“Banyak orang rekreasi setelah lebaran dan mampir ke tanggul,” kata Subkhan. Subkhan menambahkan, sebelum dan setelah lebaran ia bisa mengantongi 50 ribu sampai 70 ribu rupiah perhari. Tapi dihari biasa, lanjut Subkhan, ia hanya mendapat 15 ribu rupiah. “Tak dapat sepeser pun sering,” ungkapnya.

Hari Senin (12/9/2010), atau tiga hari setelah lebaran Subkhan mengajak saya untuk ikut ke rumah orang tuanya di Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Tak ada oleh-oleh khusus untuk keluarga di sana. Subkhan hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam bertuliskan “kelelawar malam” di dada serta bersendal jepit. Bahkan ia tak memakai helm. “Bapak ambek ibuk pasti eroh nek keadaanku selama nang Porong yo susah (Bapak dan ibu pasti tahu kalau keadaanku selama di Porong juga susah),” katanya sebelum berangkat. Keadaan tersebut dibenarkan olehnya untuk tak membawa sesuatu untuk keluarganya.

Perjalanan pun kami mulai tanpa persiapan berarti menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, Subkhan tak hentinya menghisap rokok. Dalam perjalanan ini, kami disuguhi pemandangan hijau persawahan yang jarang kami lihat apalagi persawahan di Porong, Tanggulangin dan Jabon telah lama tenggelam oleh lumpur Lapindo.

Subkhan tak henti memandu saya menunjukkan jalan mana yang harus kami lewati. Ingatan Subkhan sangat tajam, walau banyak kelokan di kampung-kampung dan sawah-sawah menuju Desa Curahmojo, tak sekali pun kami salah mengambil tikungan. Subkhan mengaku kalau lebaran tahun kemarin ia tak pulang menemui keluarganya.

Sekitar 45 menit perjalanan kami tempuh, kami tiba di sebuah desa yang cukup sunyi senyap. Jarak rumah satu dan rumah lainnya cukup jauh. Banyak hewan ternak yang juga lalu-lalang di jalan desa itu. Terlihat di kejauhan sebuah bangunan yang cukup mencolok, itu satu-satunya bangunan berpagar di kampung itu. Setelah dekat, pagar di bangunan itu bertuliskan “Balai Desa Curahmojo Kec. Pungging Mojokerto.”

Saya pun berspekulasi kalau rumah keluarga Subkhan sudah dekat. Tapi saya salah, kami masih harus melewati persawahan lagi dan kebun-kebun warga.

“Oma werno puteh ngadep ngalor iku langsung mlebu ae (Rumah warna putih menghadap utara itu langsung masuk saja),” kata Subkhan yang menjadi tanda untuk mengakhiri perjalanan ini. Ketika mendengar suara sepeda motor, penghuni dalam rumah sangat sederhana itu keluar. Tiga adik perempuan Subkhan keluar menyambut kami. Subkhan pun mempersilahkan saya masuk. Saya duduk di ruang tamu di rumah berukuran 3×6 meter itu.

Di hari ketiga setelah lebaran, suasana lebaran tak terasa di situ. Tak ada kue lebaran di meja ruang tamu. Yang ada hanya ayam peliharaan keluarga ini yang keluar masuk rumah. Di dalam rumah pun becek, karena turun hujan semalam. Ya, rumah itu berlantaikan tanah. Perbincangan terjadi antara Subkhan dan adik perempuannya di dalam. Saya tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, saya pun tak bertanya. “Ibuku sek nang sawah (ibuku masih di sawah),” kata Subkhan sambil mendatangi saya.

Lama berselang, Asriati, ibu Subkhan datang. Kakinya kotor penuh tanah liat dan menunjukkan kalau ia habis dari sawah. Tubuhnya terlihat cukup kurus jika dibandingkan terakhir saya ketemu dengannya sekitar empat tahun lalu. Suasana lebaran baru terasa kala Subkhan menjabat tangan ibunya dan menciumnya. Asriati tampak senang dengan kedatangan Subkhan. Asriati ijin kepada saya dan Subkhan untuk membersihkan kakinya sebentar.

Tak lama, ia kembali dengan membawa dua gelas teh hangat untuk kami. “Yo iki omae Subkhan (Inilah rumahnya Subkhan),” kata Asriati sambil tersenyum. Seperti lebaran-lebaran terdahulu, di lebaran kali ini pun tak ada tetangga dari Desa Jatirejo di mana keluarga ini berasal yang datang untuk bersilaturrahmi.

“Sepi, ga onok tonggo Jatirejo seng mrene (Sepi, tak ada tetangga dari Jatirejo yang ke sini),” kata Asriati. Pantas saja, karena tak banyak yang tahu di mana keluarga ini sekarang tinggal. Asriati mengatakan, ia sering menangis ketika ia ingat rumahnya di Jatirejo yang baru keluarga ini tempati selama dua bulan. Saya pun ingat bagaimana jerih payah keluarga ini untuk mendirikan sebuah rumah. Secara fisik rumahnya dulu sudah layak huni dan telah ditempati selama dua bulan sebelum akhirnya terendam bersama ribuan rumah lainnya oleh lumpur.

Romantisme Idul Fitri yang diidamkan setiap umat Islam tak saya temui di keluarga ini. Tak hanya terpisah dari tetangga dan saudara, tetapi Asriati juga tercerai dari anak-anaknya. Hanya anak pertama yaitu Muhammad Prayitno yang tamat SMA. Karena saat Prayitno sekolah, keluarga ini masih tinggal di Desa Jatirejo, Porong. Sementara Hari Mulyanto dan Muhammad Subkhan putus sekolah karena perekonomian keluarga berantakan pasca rumah mereka tenggelam lumpur Lapindo. Masih ada tiga anak lagi di keluarga ini yang masih sekolah. Akankah mereka bernasib sama seperti Hari dan Subkhan dan terpaksa bekerja untuk membantu keluarga, atau setidaknya untuk makan mereka sendiri? (fahmi)

(c) Kanal Newsroom


Translate »